Kotak Musik Untuk Azalea

Winda Efanur FS

Apa ukuran lama itu? Seabad atau selamanya. Mengapa semenit terasa begitu lama? Aku di hadapannya, menantinya tersenyum. Jeda sepersekian detik, saat kugenggam tangannya. Kutunggu sampai lima menit, dia tidak menghadirkan senyum. Ada apa? Tangan kanan yang kugenggam semakin lama terasa kaku. Sikapnya berubah dingin.

“Eh, maaf?” ucapku sembari menarik tanganku darinya.

“Oke, no problem.” Jawabnya singkat, dia melirik ke arahku sesaat lalu pandangannya kembali ke catatan kecil di atas meja kita.

“Ada apa denganmu, beda dari biasanya?”

“Tidak apa-apa.”

Dia menunduk khusyuk mencoret-coret konsep desain arsitektur dari buku catatannya. Sikapnya yang terlihat sibuk, seolah mengusirku dari situasi itu. Pelayan menghidangkan secangkir teh di atas meja kami.

Di hadapannya aku mengaduk pelan tehku dengan sendok. Dua tangannya begitu terampil memvisualisasikan ide ke bentuk lebih konkret. Kalau ada sedikit garis yang salah, dia menggerutu sebal. Diiringi desisan yang tak mampu kudengar. Sejam berlalu dia masih sibuk dengan tugasnya. Sejam pula, aku dihiraukannya. Tapi entah, aku selalu suka segala hal tentangnya; marahnya, diamnya sebalnya apalagi senyumnya- yang tak pernah kulihat lagi seminggu terakhir.

Aku mengambil buku catatan, kutulis sebuah puisi, puisi ke 7 sebelum kepergianku ke Jakarta. Puisi itu menceritakan secangkir teh yang menjadi jarak sebuah rindu.

“Aku lelah”, ucapnya sembari menutup wajah dengan tangan kanannya.

“Ya, sudah kita pulang saja.”

“Bukan, bukan itu. Aku lelah dengan hubungan kita.”

Denyut jantungku seakan berhenti berdetak, aku terdiam menatap kedua  bola matanya. Dia mengalihkan pandangan ke sisi kanan, ruang diam yang akhirnya meniadakan kita.

Seminggu kemudian

“Harga dari pergerakan adalah ketika gerakan itu mampu membuat perubahan. Perubahan konstruktif!”

Aku menyalakan rokok, mendengarkan Adnan, pimpinan unjuk rasa berorasi. Adnan memberikan intruksi di lobi kampus swasta Jakarta, kepada perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa se-Indonesia. Rencananya unjuk rasa sore nanti di depan gedung DPR dan istana presiden.

Agenda kami, mengevaluasi 100 hari kinerja pemerintah terpilih. Pertemuan BEM se-Indonesia sudah dianggap sebagai upaya makar menggoyang posisi pemerintah saat ini. Padahal murni aksi mahasiswa, kami pun berhati-hati isu digoreng oleh oknum—yang menginginkan Negara ini kacau–. Kemungkinan massa lebih dari 1000 mahasiswa. Kami mengusung tiga isu sensitif; blok pertambangan di wilayah Timur Indonesia, isu kebocoran anggaran investasi perkebunan di Kalimantan dan evaluasi 100 hari kinerja pemerintah secara umum.

Aku pun sadar, banyak intel dan mata-mata di sekitar kami. Mereka aparat atau warga sipil khusus yang dibolehkan membawa senjata tajam.

Aku meninggalkan perkumpulan itu, mencari udara segar. Langit kala itu sangat cerah, kulihat baliho besar dipasang di gedung depan kampus. Baliho itu bertuliskan kilas balik pengunduran diri Soeharto. Seketika aku kaget, bukan tentang idealismeku, tanggal itu..itu 21 Mei tanggal yang bertepatan dengan ulang tahun Azalea. Aku membuang puntung rokok, bergegas mencari warung telekomunikasi.

Di persimpangan jalan, kutemukan toko pengetikan yang membuka jasa wartel. Dalam bilik berukuran 2×1 meter itu. Aku gemetar memencet tombol nomor teleponnya. Gagang telepon menempel di telinga kiriku. Kutunggu suara Azalea menyudahi penantianku.

“Hallo, siapa?”

“Arman.”

“Oh, ada apa?”

“Kok, jawabannya datar banget. Tidak suka, aku telepon ya?”

“Biasa saja sih, ada apa?”

“Lea, telepon dari siapa, lama banget!”

Dari kejauhan kudengar suara lelaki memanggil Azalea.

“Itu, suara siapa, Lea?” tanyaku curiga.

“Eee, bukan-bukan siapa-siapa, buruan kamu mau ngomong apa?”

“Lea!!”

Suara laki-laki itu semakin keras memanggil Azaela.

“Maaf, kalau mengganggu ya, aku hanya mau mengucapkan selamat…”

Tut..tut..tut..

Azalea menutup teleponnya sebelum aku selesai bicara. Aku mengepalkan tangan, menutup kedua mata berusaha menghalau amarahku. Kufokuskan pikiran ke ulang tahun Azalea.

Kudatangi toko peralatan seni. Mataku tertarik pada kotak musik, dengan hiasan patung sepasang kekasih yang berdansa. Kelebihan lain kotak musik itu bisa merekam suara. Di luar jendela, mobil tentara berdatangan, setelah membayar di kasir, aku berlari menuju massa unjuk rasa.

Massa dari berbagai kota sudah berdatangan di depan gedung kepresidenan. Masingmasing dari kami sibuk bersenda gurau. Bobi mahasiswa asal Lampung, sibuk memakai rompi plastik—dia berjaga-jaga ada peluru nyasar—aku pikir tidak akan separah itu. Paling hanya santapan bogem mentah dan gas air mata.

Tak lama Adnan naik ke podium, dia berorasi menyampaikan aspirasi kami. Semua massa tenang, tidak seperti biasanya. Aku menoleh ke samping, depan dan belakang. Ada yang tidak beres. Aku terus berupaya bertepuk tangan menyalakan antusias massa. Sekaligus memberi kode kepada Adnan.

Dalam hitungan detik, kerusuhan terjadi. Ada komplotan penyusup dan penghianat mengganggu aksi kami. Baku hantam, gas air mata, suara peluru saling bersahutan. Kami menyerang, entah kepada lawan atau kawan.

Posisiku terjepit, gas air mata mengenai kedua mataku. Di tengah kebutaanku, seseorang memukulku, dia menyeretku ke dalam sebuah ruangan yang kuyakini mobil pick up. Dia menendang perutku keras, tubuhku terbentur ke dinding mobil.

“Azalea, selamat ulang tahun ya! Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi denganmu? Sampai mati kutakkan melepasmu. Tunggu aku kembali, sepulang dari Jakarta.”

Benturan itu, tanpa sengaja menekan tombol play rekaman kotak musik yang kusimpan dalam tas.

Cilacap, 25 Maret 2019

 

Winda Efanur FS, seorang pendidik di SMP Diponegoro Patimuan. Menulis buku Cogito Love Sum (2018), dan Denting yang Tak Berbunyi (2016). Aktivitas selain mengajar aktif mengelola komunitas Buku untuk Anak Indonesia, Komunitas Rumah Penyu Cilacap dan anggota PPI (Penyair Perempuan Indonesia). IG : winda_efanurfs.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *