Puisi adalah makna-makna indah kehidupan. Dari karya ini siapa pun dapat menikmati makna-makna itu dan merenunginya. Selamat mengambil banyak pelajaran dari buku ini dan selamat menorehkannya dalam kehidupan kita. Sebuah karya yang patut dibaca dan direnungi.

Penulis buku tinggal di Ponpes Kebon Jambu, Bacicir
Hj. Masriyah Amva

Kedua penyair ini telah lama berjuang dengan kata-kata. Maka tak heran, dalam perjalanan keduanya seringkali ditemukan puisi-puisi yang mengejutkan di luar duga’an. Namun berbeda dengan Salman, yang nampaknya masih sibuk dengan pemilihan diksi, Syarif lebih memilih bercengkrama dengan wilayah falsafi. Membaca antologi puisi kedua penyair ini, kita akan merasakan petualangan dalam dunia benak, pikiran dan kenyata’an, seringkali kita diajak berkontemplasi dengan puisi-puisi imaji yang dihadirkan kedua penyair ini.

Baequni MH, penyair

Berjuta kata terucap dalam angan semu, denyut nadi semakin lirih berkecamuk saling berebut untuk terlontarkan, namun itu terlalu panjang hingga sangat membuang energi dan waktu yang percuma tapi ini harus tersampaikan biar mereka tahu dan mengerti! Itu gejolak angan pasti dari sosok Salman Al Farisi dan Enambelas Syarif. Tersirat dalam karya tulisnya sangat imajinatif yang dituangkan lewat denyut nadinya.

Gejolak jiwanya sangat kentara dan kental dengan emosi, ketika keduanya dihadapkan atau sedang berada dalam lingkungan yang kurang ‘humanis’ atau tidak mengenal sama sekali akan keberadaan humanis itu sendiri. Mereka berdua tidak kehilangan akal untuk menggoreskan atau menuangkan kata ke dalam karyanya yang sangat-sangat imajinatif baik itu seruanya atau pun keluhannya yang harus didengar dan harus dicermati

Mecermati karyanya baik dari isi, makna, pesan yang disampaikan walaupun pesan emosionalnya sangatlah kental namun itulah emosional yang bermakna dan berjiwa, sehingga isi dari puisi-puisinya enak untuk dibaca, dihayati, dan patut dijadikan sebuah perhitungan di dalam menjalankan kehidupan di dunia.

Begitu banyak syair-syair pujian yang ditujukan kepada kita dari zamannya penyair-penyair terdahulu hingga penyair-penyair yang kekinian. Namun senandung butiran bait-bait yang ditorehkan oleh mereka berdua merupakan ‘penyampaian’ yang penuh kerinduan kepada sesama maupun kekasih dengan harapan kesembuhan atas penyakit hati yang dideritanya.

Butiran mutiara yang ditorehkan lewat puisi-puisinya begitu indah bagaikan permata yang tak ternilai harganya sesuai dengan nilai-nilai keindahan yang diinginkan-Nya.

Semoga mereka berdua menjadi sastrawan yang bukan abal-abal, hanya bisa menorehkan dengan bahasa bunganya, namun jadilah seorang sastrawan dengan penyampaian syair-syairnya sebagai karya sastra yang mempesona dalam menjunjung nilai-nilai dari sifat dan akhlaq yang berbudi luhur.

Terus, terus torehkan kata-kata mutiaramu untuk anak Bangsa ini, jangan berhenti sampai di sini.

Ending Saepudin, pembina komunitas Tunas, Dukupuntang.

Di Belakang Burung-burung Tuhan

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *