
Derek Berkurban Kelinci
Hendy Pratama
MUNGKIN orang beranggapan bahwa Derek sudah gila. Aku, sebagai tetangganya, sering mendapatinya membunuh kelinci. Andai saja ia memiliki usaha rumah makan, tentu aku tidak akan merasa janggal. Pasalnya, tindakan itu ia lakukan tanpa maksud yang jelas. Anehnya, setelah berhasil memutus leher kelinci, Derek seperti kembali menjadi manusia normal. Bagai tidak ada peristiwa yang terjadi.
Ketika matahari belum sepenuhnya tenggelam, kudapati Derek keluar dari pintu belakang. Ia berjalan dengan hati-hati, mengusir derap. Matanya berkelana, melacak tiap penjuru huma. Memastikan tiada mata lain selain sepasang matanya. Setelah memastikan bahwa keadaan aman, ia keluarkan belati di lubang celananya. Lantas, ia penggal leher kelinci bagai membunuh dendam. Kelinci mati dan ia bersuka hati.
Aku mendapatinya membunuh kelinci pada saat yang tak terduga. Anggapan bahwa tiada mata lain selain sepasang mata Derek ialah kekeliruan semata. Nyatanya, ketika aku berniat menyiram pekarangan, aku berhenti di langkah kelima. Jendelaku gelap dan memiliki dua mata. Satu mata bila dilihat dari luar, tak bakal tembus ke dalam. Dan mata jendela yang lain, dapat melihat kondisi luar dari dalam. Tanpa terduga itu, aku melihat bagaimana Derek menghabisi makhluk yang menggemaskan begitu.
[iklan]
Mulanya, kukira bahwa tetanggaku itu sedang marah. Bukankah emosi acap kali mengurung logika? Mungkin, ia memiliki masalah di kantornya. Maka, ia tunaikan api dalam dadanya yang sempat tertahan itu. Sialnya, perkiraanku meleset.
Membunuh kelinci pada penghujung sore kerap kali Derek lakukan. Hal itu telah menjadi kebiasaannya. Aku tidak tahu apakah ia masuk aliran sesat atau tidak. Aku juga tidak mendapati dupa yang tertancap dan membentuk lingkaran. Atau mantra-mantra tertentu yang ia rapalkan. Bahkan, sesaji berupa telur dan nasi pun, tidak. Hanya kelinci dan bilah belati. Itu pun dilakukan dengan sangat cepat. Tanpa ritual khusus. Bukan juga pada malam-malam tertentu semisal malam satu Sura. Oleh sebab itu, tiada hal terbesit dalam kepalaku selain bahwa Derek sudah gila.
Sebenarnya kebiasaan itu lebih baik ketimbang beberapa bulan silam. Pernah kudapati Derek menyembelih anjing. Proses penyembelihannya tidak jauh berbeda dengan kelinci. Bilamana mencari pembedanya, itu hanya terletak pada objeknya. Bulu kudukku lebi ngeri ketika melihatnya memenggal leher anjing. Bayangkan ketika bilah belati bergesekan dengan leher yang tebal. Belum lagi reaksi binatang najis itu setelah benda tajam mengoyak hidupnya. Kudapati si anjing kejang-kejang sebelum menemui ajal. Bagiku itu lebih ngeri daripada melihat Derek membunuh kelinci.
Belum banyak orang tahu. Sebab, sebelum Derek membinasakan anjing, lebih dulu ia ikat moncong binatang pelacak itu pakai kain. Ia juga mengikat empat batang kaki dengan dadung. Sehingga tampak serupa sandera yang tak berdaya.
Bulan-bulan berikutnya, aku tidak mendapati Derek membunuh anjing. Barulah ia beralih ke kelinci. Tidak tahu pasti mengapa begitu. Barangkali, mencari kelinci lebih mudah ketimbang mencari anjing. Begitu dugaanku waktu itu. Namun, apa pun binatang yang dibunuh, bagiku itu tetap tindakan tercela. Dan Derek, benar-benar sudah gila.
***
Sesuatu yang disembunyikan, lambat laun bakal tersingkap. Pada akhirnya orang-orang mengetahui kebiasaan bengis Derek. Aku mendengar perbincangan tentang Derek di warung kopi milik Sanusi. Lubang kupingku menangkap kata-kata mereka. Bagiku, tugas seseorang yang bersebelahan rumah dengan Derek ialah mendengarkan. Aku takut bila berbicara tentang sesuatu yang belum pasti bakal menusuk hati. Maka, aku ingin menjadi tetangga yang baik bagi Derek.
“Kupikir, lelaki itu sudah sinting!” maki Parjo, setelah mengembuskan asap rokok.
“Dari mana ia mendapat kelinci sebanyak itu,” sahut kawan Parjo. “Dan, bagaimana bila anak cucu kita tak dapat melihat binatang menggemaskan itu lagi?”
Parjo membuang puntung rokok dengan menjentikkannya pakai jari. Lepas itu, ia berkata, “Aku tak ingin ketika kukatakan pada cucuku, atau cicitku, bahwa di dunia ini ada binatang dengan telinga panjang dan ia hanya menganggap itu cuma dongeng.”
Kawan Parjo melipat kening. Alisnya hampir bersipaut. Ia menyeruput kopi dalam-dalam. Dan, kemudian membalas, “Bagaimana jika ia tak lagi membunuh kelinci?”
“Maksudmu?” desak Parjo, sepasang alisnya terangkat.
“Boleh jadi, membunuh kelinci hanya latihan semata.” Suara kawan Parjo merendah. “Bisa saja, suatu saat nanti, si Derek bakal membunuh orang juga!”
“N-nah, nah—” Parjo melonjak. Matanya terbelalak, seperti hendak lepas. “Jika itu terjadi, ia tak hanya memusnahkan kelinci, melainkan juga warga sini!”
“Kita harus ambil tindakan!”
“Sepakat,” teriak Parjo. Tangannya mengepal bagai menggenggam angin.
“Aku tidak ingin jadi dongeng!”
Sanusi ikut nimbrung ke perbincangan, “Aku juga tak ingin jadi dongeng. Mmm… maksudku, ketika cucu, atau cicitku memberitahukan ke anaknya bahwa kakeknya pernah punya warung kopi, si anak dari cucu, atau cicitku itu bilang bahwa itu cuma dongeng. Tak bakal. Aku juga ingin dikenal, dikenang.”
“Kita mesti datangi rumah Derek.”
“Sepakat!” teriak kawan Parjo dan Sanusi, hampir bersamaan.
Aku belum memikirkan apakah Derek juga bakal bunuh orang atau tidak. Namun, aku yakin bahwa ia orang baik. Sebagai tetangga, tentu aku lebih mengenalnya daripada Parjo, kawan Parjo, maupun Sanusi. Sebelum sesuatu buruk menimpa tetanggaku, ada baiknya aku mengunjungi huniannya. Paling tidak, mencari tahu, setan apa yang keparat merasuki tubuhnya.
Kubayar secangkir kopi dan sebatang rokok ke Sanusi. Parjo dan kawannya melihat wajahku. Di antara mereka bertiga, cuma Sanusi yang mengenalku. Warung kopi miliknya memang nyaman dan kopinya sedap. Tak khayal bila aku kerap kali singgah di sini. Sedangkan Parjo, aku kenal ia sebagai danton hansip.
***
Aku telah menunggu saat-saat seperti ini. Tubuh langit terbelah dan menampakkan semburat remang warna jingga. Batang-batang kakiku melangkah ke belakang rumah. Mengintip dari badan pintu. Bola mataku bertualang ke pintu belakang rumah Derek. Kupingku sigap menangkap suara derap langkah dari seberang. Dan benar. Semenit berlalu, Derek keluar membawa seekor kelinci lucu.
Kini, jarakku dengan Derek hanya sepeliuk. Ia memandangku asing. Dan, aku memandangnya lebih asing.
“Mau apa kau kemari?” sergahnya, kemudian.
Aku menatap lekat matanya. “Aku ingin tahu, apa yang akan kaulakukan?”
“Kau tak akan mengerti.” Derek melengos, melihat kelinci yang melompat-lompat bertumpu angin. Tangan Derek erat menggenggam sepasang kuping kelinci.
“Aku cuma ingin tahu.”
Derek menoleh padaku. Ia berkata, “Aku akan berkurban.”
“Apa maksudmu dengan ‘berkurban’?”
“Kubilang kau tak akan mengerti.”
Aku menyuruh Derek duduk di tangga pintu. Kubilang bahwa aku hendak bicara baik-baik dengannya. Dan, kusuruh ia supaya mengatakan apa yang sedang terjadi. Maksudku, tentang dirinya dan kebiasaan bengisnya itu. Tanpa kuduga, tetanggaku itu menurut. Sudah kukatakan bahwa ia orang yang baik—hanya terjadi sedikit kendala pada otaknya.
“Isabel menyukai kelinci,” katanya, pelan. “Aku yakin, ia sedang menunggu kelinci kirimanku di surga. Dan, aku tidak suka melihat raut wajahnya ketika menunggu.”
“Maksudmu, kau berkurban kelinci untuk Isabel?”
“Kenapa tidak?”
“Kau gila, Derek!” aku menyeru. “Kau benar-benar sudah gila. Mana mungkin kelinci-kelinci itu sampai ke Isabel?”
Sepasang mata Derek memberi isyarat ancaman. Tangan kanannya—yang memegang belati—mengeras. Belahan dadanya bergetar. Rahangnya keras. Dan, kudengar gigi Derek gemeletukan. Kuterka, ia tidak menyukai kalimatku barusan. Tapi, apalah artinya bila tidak dengan itu, ia dapat kembali normal?
“Apalah gunanya orang-orang mendoakan sanak famili yang mati, bila doa-doa itu tidak sampai ke mereka di akhirat?” sanggah Derek, nadanya meninggi. “Orang Islam berkurban, memberikan biri-biri dan bahkan seekor unta untuk Tuhan. Lalu, apakah mereka juga yakin bahwa binatang itu sampai padaNya?”
Aku diam, mengunyah angin.
“Dengarkan baik-baik, wahai tetangga! Isabel telah mampus. Mati beberapa bulan yang lalu. Dan, aku ingin berkurban. Memberi ia kelinci. Sebab, ia suka daging kelinci. Aku tidak ingin membiarkannya kelaparan di surga,” imbuh Derek.
Seketika aku beranjak, mengangkat tubuh dan rasa kecewa yang tertumpuk. Derek bergeming. Menghiraukanku yang membikin jarak padanya. Kakiku berayun, menuju pintu belakang rumahku. Sebelum masuk ke rumah, kutengok tetanggaku itu. Ia tampak bercakap-cakap dengan kelinci malangnya. Sungguh percakapan yang mengerikan. Seandainya kelinci itu manusia, mungkin ia diminta menyebutkan permintaan terakhir.
Tangan Derek terangkat. Kelinci bernasib sial meronta-ronta. Tangan Derek yang lain mendekat sambil mengarahkan belati ke leher kelinci. Sedetik kemudian, ia koyak leher kelinci sembari menyeringai. Binatang menggemaskan itu menemui ajal. Lehernya sempurna putus dan kepalanya tergelimpang.
Derek tertawa puas. Terpingkal-pingkal.
Aku memegang ganggang pintu. Tidak berselera melihat kelakuannya. Dalam hati, aku berkata, “Ia benar-benar sudah gila!”
Pintu belakang rumah hendak kututup. Tapi, ada sesuatu yang menyusup telingaku. Sesuatu yang membikin tubuhku bergidik.
“Mungkin, sesekali Isabel butuh menyantap manusia,” kata-kata Derek kudengar, sebelum pintu belakang rumah sempurna kututup. ***
Madiun, Agustus—2019
Hendy Pratama, lahir pada 3 November 1995 di Madiun.
Bergiat di komunitas sastra Langit Malam dan FPM IAIN Ponorogo.
Heliofilia adalah buku kumpulan cerpennya yang akan terbit.