Sastra dalam Bayang-bayang Feuilleto
Sastra Siber versus Sastra Koran
Iwan Kurniawan
Redaktur Tempo
Pada mulanya adalah buku. Sejarah sastra modern Indonesia yang kita kenal hingga kini lazimnya diawali dengan penerbitan sejumlah buku sastra (roman) oleh Balai Pustaka, yang isinya diseleksi ketat oleh tim dari orang Belanda dan pribumi. Sebagai bagian dari politik etis colonial Belanda, buku-buku terbitan Balai Pustaka di awal abad ke-20 ini sebetulnya mencerminkan misi dan visi penjajah Belanda ketimbang ekpresi bebas para sastrawan Indonesia. Namun, buku-buku Balai Pustaka setidaknya telah menjadi saluran bagi karya para sastrawan Indonesia.
Namun, sebelum Balai Pustaka, para sastrawan Tionghoa telah lebih dulu menerbitkan sejumlah buku sastra, yang disebut Pramoedya Ananta Toer sebagai ‘sastra assimilatif’, seperti Drama di Boven Digoel oleh Kwee Tek Hoay (1929-32), Darah dan Air Mata di Boven Digoel oleh Oen Bo Tik (1931), Antara Idoep dan Mati Atawa Boeroen di Boven Digoel oleh Wiranta (1931), dan Merah oleh Lim Khing Hoo (1937) (Ji, 1987).
[iklan]
Sastra dan Politik
Bila sastra Tionghoa jadi pemula sejarah sastra modern Indonesia, maka kalimat pembuka artikel ini harus diganti: pada mulanya adalah majalah. Drama di Boven Digoel karya Kwee Tek Hoay dimuat pertama kali dan secara bersambung, sebagai feuilleton di majalah Panorama yang seluruhnya terbit dalam 180 nomor (Ji, 1987). Roman itu disambut hangat pembaca sehingga pada 1938 diterbitkan sebagai empat jilid buku setebal 718 halaman.
Sastra karya peranakan ini kental dengan tema-tema politik. Topik tentang Digoel, misalnya, banyak ditulis dan membuka mata pembaca tentang sepak terjang Hindia Belanda. Ini jleas sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi sastra Balai Pustaka, yang secara capital dan distribusi jauh lebih besar. ‘Perlawanan’ itu juga muncul kemudian dalam majalah-majalah sastra era 1930-an dan setelahnya.
Feuilleton
Jadi, karya sastra modern kita sebenarnya diawali melalui majalah. Di majalah, karya sastra tergolong feuilleton. Menurut kamu Merriam-Webster, feuilleton adalah ‘bagian dari suratkabar atau majalag Eropa yang dinisbahkan untuk materi yang dirancang untuk menghibur pembaca umum’. Contoh isinya adalah novel, karya sastra untuk memenuhi selera umum, cerita pendek yang sering kali bernada akrab.
Sastra di majalah itu menemukan momentum lanjutannya ketika para sastrawan mendirikan majalah yang khusus untuk sastra (dan kebudayaan), seperti Pujangga Baru yang digagas Sutan Takdir Alisyahbana. Tapi, Pujangga Baru sendiri juga politis, hanya menerbitkan karya sastra, kebanyakan puisi, yang segaris dengan pandangan Pujangga Baru, yang terbit antara Juli 1933 hingga Februari 1942.
Pada masa 1940-an ini pula muncul majalah sastra seperti Gelanggang, Zenith, Arena, dan Pantjaraja, yang banyak memuat sajak Chairil Anwar. Pada 1950-an, ada majalah seperti Kisah (1953-1956), Prosa (1955), Cerita (1957-1958), Seni (1955), Siasat (1947-1960), Roman (1954-1958), dan Kontjo (1954-1956) (Zaidan et al, 1998).
Pada decade 1960-an pecah polemic kebudayaan yang dipicu pernyataan Manifes Kebudayaan dan dikritik kubu komunis. Media yang menjadi pusat perhatian saat itu adalah majalah Horison yang dipimpin H.B Jassin dan menjadi ruang ekspresi bagi para sastrawan di kubu Manifes. Ramainya partisipasi di majalah Horison ini membuat Subagio Sastrowardoyo menasbihkan lahirnya ‘Generasi Horison’. (Zaidan et al, 1998).
Adapun para sastrawan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) berekspresi melalui lembar budaya di Harian Rakjat, Bintang Timur, dan Zaman Baru, tiga surat kabar milik Partai Komunis Indonesia. Berbeda dari Horison yang merupakan majalah khusus sastra, tiga media ini hanya menyediakan feuilleton untuk puisi dan cerpen. Media umum lain yang punya feuilleton adalah Mimbar Indonesia dan Konfrontasi.
Untuk Hiburan
Zaidan et al (1998) mencatat bahwa pada masa itu pula muncul majalah-majalah hiburan yang memberi ruang bagi cerpen, seperti Mesra, Birahi, Pacar, dan Roman di Jakarta, Tanah Air di Surabaya, Drama di Solo, Minggu Pagi di Yogyakarta, Riang di Semarang, dan Monalisa di Medan. Menurut Zaidan et al (1998), banyak cerpen-cerpen yang mengandung unsur erotisme muncul di masa ini dengan pengarang seperti W.S. Rendra dan Nugroho Notosusanto.
Fiksi erotis ini kemudian berkembang ke dalam bentuk yang lebih ringkas dan murah: stensilan. Era 1970-an-1990-an adalah masa kejayaan cerita fiksi erotis karya Enny Arrow dan sejenisnya.
Pada masa yang sama, berkembanglah buku-buku novel anak, dewasa, dan remaja dalam berbagai genre, dari percintaan, detektif, hingga horror. Di jalur formal, novel-novel ini banyak diterbitkan oleh antara lain Gramedia, Kartini, dan Femina. Di jalur non-formal, novel-novel seperti karya Abdullah Harahap dan Freddy S diterbitkan oleh penerbit indie berbasis di Pasar Senen, Jakarta.
Di masa itu, dalam tradisi feuilleton, karya sastra, terutama cerita pendek, mendapat ruang di berbagai majalah hiburan, seperti Kartini, Femina, dan Sarinah. Suratkabar umum juga banyak memberi ruang, seperti Kompas dan Media Indonesia.
Yang patut dicermati adalah komodifikasi karya sastra di majalah hiburan wanita seperti Kartini dan Femina. Novel tak semata sebagai suplemen, tapi menjadi sisipan khusus yang bahkan kemudian diterbitkan sebagai buku. Kompas melakukan hal serupa untuk cerita bersambungnya.
Koran dan Sastrawan
Katrin Bandel menggambarkan menurunnya pamor Horison pada tahun 2000-an dan menguatkannya hegemoni ‘sastra koran’. Bandel (2013, hlm. 16) menilai bahwa majalah sastra sebenarnya jauh lebih sesuai bagi media sastra daripada Koran karena:
- Halaman Koran terbatas sehingga selalu ada batasa ketat mengenai panjang tulisan yang bias dimuat.
- Halaman budaya Koran tidak berdiri sendiri tapi ‘numpang gengsi’ pada korannya.
Bandel menilai bahwa terjadi relasi kuasa yang tak seimbang antara pengarang dan media massa dalam hal ini. Relasi itu timpang Karen halaman budaya hanyalah bagian kecil yang tampaknya tak memiliki pengaruh besar terhadap reputasi dan oplah media massa.
Tampaknya, ‘sastra koran’ mulai menghegemoni sejak 1990-an itu terjadi ketika majalah hiburan dan suratkabar umum mulai menggarap karya sastra sebagai komoditas yang dapat diterbitkan kembali dalam bentuk buku untuk memperoleh tambahan laba. Seri buku Cerpen Pilihan Kompas, misalnya dimulai sejak 1992 dan terbit setiap tahun, lalu ditambah dengan seri Cerpen Kompas Pilihan, yang memilihkan sejumlah cerpen dari suatu periode tertentu. Republika juga menerbitkan kumpulan cerpennya, mislanya seperti Pembisik: Kumpulan Cerpen Republika pada tahun 2002. Koran Tempo belakangan mengekor dengan menerbitkan Cerpen Terbaik Tempo: Setan Becak, Ayoveva, hingga Chicago May pada 2017.
Meski ada jurnal semacam Kalam, Puisi, Prosa, dan Majas, namun keberadaan mereka belum bisa menandingi Koran, yang terbit rutin dan disebar secara massif.
Mengapa pengarang berlomba-lomba mengirim karya terbaiknya ke Koran? Bisa saja karena merek ingin dikenal publik lebih luas. Koran, dengan tiras yang besar dan penyebaran yang luas, tentu akan memenuhi keinginan tersebut. Tapi, ini, seperti dinilai Bandel, sebenarnya cuma ‘numpang gengsi’ pada media tersebut.
Motif lain, yang sering saya dengar, adalah honor. Namun, bila honor menjadi motivasi pada sastrawan agar karyanya terbit di media massa, maka media massa sebetulnya juga tak memberi honor yang cukup tinggi. Rata-rata honor cerita pendek yang diberikan hanya sekitar Rp 221 ribu dan puisi Rp 250 ribu (lihat table 1). Kalau motifnya honor, tentu media yang memberi honor terbesar akan diserbu oleh para pengarang.
Jadi, saya menduga bahwa banyak sastrawan mengirim karyanya di media masa lebih karena pertimbangan ‘prestise’. Tapi, prestise ini sebetulnya motif yang menipu karena media massa bagaimanapun tak pernah menjadi jurnal sastra. Sebagian besar redakturnya adalah wartawan di media bersangkutan, meski kadang ada media yang menggaji sastrawan yang dinilai piawai menilai karya sastra untuk menjadi redaktur puisi atau cerpen. Saya katakan ‘menipu’ karena prestise itu bukan lahir dari media tersebut sebagai sebuah media sastra tapi karena popularitas media itu (baca: kapital besar dan distribusi luas). Dengan kata lain, prestise itu melekat pada keterkenalan media tersebut sebagai media massa biasa, karena berita dan tulisan-tulisan lainnya. Atau, dalam bahasa bandel ‘numpang gensi’.
Media massa (cetak) tetaplah media massa dengan kepentingan bisnis dan politiknya. Bila media membuka halaman untuk puisi dan cerpen, tentu itu juga dengan pertimbangan bisnis tertentu, misalnya untuk melayani pembaca yang diasumsikan sedang bersantai sehingga butuh tulisan yang ‘tidak keras’. Itu sebabnya halaman sastra di Koran terbit di akhir pekan.
Perhatikanlah isi umum halaman Koran di akhir pecan (biasanya Sabtu atau Minggu). Selain puisi dan cerpen, ada teka-teki silang, komik, kartun, kolom ringan, resep masakan, tips kecantikan dan kebugaran, konsultasi psikologi, rubric jodoh, cerita perjalanan, dan sejenisnya. Itu semua adalah materi-materi ringan yang dibayangkan redaktur Koran dibutuhkan oleh pembaca saat sedang menikmati akhir pekannya. Meski di hari-hari biasa Koran itu adalah Koran politik dan ekonomi, di akhir pecan dia berubah menjadi Koran hiburan.
Dalam strategi bisnis media, itulah feuilleton. Namun, uniknya di Koran-koran Indonesia, feuilleton berubah menjadi ruang hegemoni sastra Indonesia. “Kalau karyamu belum dimuat di Koran besar, kamu belum menjadi sastrawan sungguhan’, begitu rumor yang beredar. Inilah hegemoni Koran terhadap sastra Indonesia,secara sadar atau tidak.
Strategi feuilleton dahulu memang lazim di media massa Barat tapi tak ada ‘sastra koran’ yang menghegomi sastra, Karya-karya sastra terbaik Amerika Serikat, misalnya, akan ditemukan di media khusus sastra atau budaya, seperti majalah New Yorker, Granata, dan Poetry. Itu yang membuat posisi ‘sastra koran’ di Indonesia menjadi unik.
Namun, hegemoni ‘sastra koran’ jelas tidak sehat karena bagaimana pun sastra di suratkabar hanyalah feuilleton, suplemen. Tak ada Koran yang berisi karya sastra para pengarang tenar sekalipun yang kemudian menjadi Koran sastra atau Koran budaya. Dia tetaplah Koran umum.
Sastra Tanpa Koran
Upaya menerobos hegemoni itu bukannya taka da. Sejak teknik cetak digital popular di tahun 2000-an, biaya penerbitan buku menjadi murah, sehingga siapa pun dengan mudah menerbitkan buku sastra. Jumlah kumpulan cerpen dan puisi sekarang sudah sukar dihitung karena begitu banyaknya. Panitia Sayembara Buku Puisi Yayasan Hari Puisi, yang pertama kali diselenggarakan tahun 2013, misalnya, menerima kiriman 300-400 judul puisi setiap tahun (Pertanggungjawaban Juri, 2019).
Gambaran umum juga dapat dilihat dari penjualan buku fiksi di Toko Buku Gramedia. Pada 2018, Gramedia menjual 3.223.842 eksemplar novel (terjemahan dan local) atau 19, 14% dari total penjualan hingga Oktober 2018. Kalau 10 persen dari penjualan itu adalah novel local, angkanya masih besar: 322.384 eksemplar. (Prinsloo, 2019).
Tapi, bertahun-tahun sebelum itu, di ujung 1990-1n banyak penulis muda yang tidak mengawali karirnya di media cetak tapi di media online. Mereka umumnya asyik menulis di media sosial yang tersedia di masa itu,seperti mailing list (milis), forum, dan blog-blog yang kini sudah tutup atau tak popular lagi, seperti Geocities, Angelfire, WordPress, dan Blogspot. Ini mungkin fenomena yang sama dengan asyiknya anak muda milenial dengan media social semacam Instragram, Twitter, dan Facebook.
Aktivitas main-main atau hobi ini belakang disebuah ‘sastra siber’. Salah satu yang mendefinisikannya adalah Suwardi Endraswara (2013) dalam Metodologi Penelitian: Sastra, Epistemologi, Model, Teori dan Aplikasi. Intinya, cybersastra atau sastra cyber adalah aktivitasnya sastra yang memanfaatkan computer atau Internet (Septriani, 2016).
Menurut Septriani (2016), sastra siber ini dianggap sebagai bentuk ‘perlawanan’ pengarang atau penyair yang merasa ekspresinya dibatasi oleh hegemoni sastra Koran, yang diduga selalu mencantumkan nama besar sastrawan di rubric sastranya. Puncaknya adalah terbitnya buku Graffiti Gratitude, antologi puisi sastra siber yang ditulis oleh sejumlah pengarang muda, seperti Nanang Suryadi, Tulus Widjarnako, Cunong, Sutan Iwan Soekri Munaf, Nunuk Suraja, Iwan Kurniawan, dan Medy Loekito (Yayasan Multimedia Sastra, 2001). Buku ini memicu polemik di media massa maupun online (Situmorang, 2001).
Kini, hampir dua dekade kemudian, sastra siber tidak punah. Yang berbeda barangkali adalah para pemainnya. Banyak penulis muda sekarang aktif menggunakan media sosial yang lebih canggih, media yang dirancang khusus untuk menulis karya sastra dan bahkan dicetak menjadi buku. Media tersebut misalnya adalah Wattpad, FanFiction, dan Storial.co, social storytelling platform pertama di Indonesia. Reza Reinaldo, pengarang yang aktif di Storial.co, misalnya, telah menulis puluhan novel dan mencetak enam di antaranya menjadi buku. Wisnu Suryaning menulis novel Rahasia Salinem pertama kali di Storial.co dan kemudian buku edisi bahasa Inggrisnya diluncurkan di Ubud Writers and Readers Festival 2019.
Di luar platform khusus sastra itu, ada pula situs umum yang berperan seperti majalah sastra online, seperti Litera yang didirikan oleh Ahmadun Yosi Herfanda pada 2016. Situs lain yang sejenis adalah Sastranesia.com, Jendela Sastra, dan Sutera.id.
Namun, sejauh ini, tak tampak bahwa sastra siber melahirkan sebuah genre sastra tertentu. Maka, pertengkaran lama soal ada-tidak adanya ‘sastra siber’ sebetulnya sudah tidak relevan lagi sekarang. Definisi dari Endraswara tak mengandung syarat tertentu sehingga sebuah karya disebut sastra siber atau bukan kecuali bahwa dia menggunakan media online.
Masalahnya, apakah sastra siber masih merupakan ‘perlawanan’ sastra Koran? Sejauh media online menyediakan ruang sebesar-besarnya bagi karya sastra, maka selama itu pula sastra siber masih menjadi ‘tandingan’ sastra Koran, dalam pengertian ruang dan waktu.
Namun, tren media massa sekarang bergerak online. Banyak media pelan-pelan beralih ke platform online, selain sejumlah perusahaan yang langsung membangun situs berita online. Dengan fenomena ini, tak mustahil media massa online akan menggunakan lagi strategi feuilleton. Bila itu terjadi, maka perbedaan sastra siber dan sastra media konvensional akan bahlur dan barangkali sastra siber pun mati.
Kemeja Garis-garis, Ahmadun Y Herfanda (Mantan Redaktur Sastra Republika), Kaos Merah, Fajar Putu Arcana (Redaktur Budaya Kompas), Kaos Biru membelakangi Kamera, Iwan Kurniawan (Redaktur Sastra Tempo).
Daftar Pustaka
Bandel, Katrin (2013). Sastra nasionalisme pascakolonialitas. Yogyakarta: Pustaka Hariara.
Ji, Liang Li (1987). Sastra peranakan Tionghoa dan kehadirannya dan sastra Sunda. Archipel, volume 34, pp. 165-179, DOI: 10.3406/arch.1987.23779
Pertanggungjawaban Juri Sayembara Buku Puisi HPI 2019 (2019). Haripuisi, diakses dari https://www.haripuisi.info/2019/10/pertanggungjawaban-juri-sayembara-nuku.html pada 17 November 2019.
Prinsloo, Laura Bangun (2019). An overview Indonesian publishing industry. Presentasi untuk Indonesia as Market Focus 2018-2020 di The London Book Fair 2019.
Septriani, Hilda (2016). Fenomena sastra cyber: Sebuah kemajuan atau kemunduran? (Phenomenon of cyber literature: A progress or regress?). Makalah Seminar Nasional Sosiologi Sastra di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, pada 10-11 Oktober 2016, diakses dari https://susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/13-Makalah-Hilda-Septriani.pdf
Situmorang, Saut (ed.) (2001). Cyber Graffiti (Kumpulan Esai). Bandung: Penerbit Angkasa Bandung
Yayasan Multimedia Sastra (2001). Graffiti gratitude: Sebuah antologi puisi cyber. Bandung: Penerbit Angkasa
Zaidan, A., Mujiningsih, E., dan Santosa, P. (1998). Unsur erotisme dalam cerpen Indonesia 1950-an. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Makalah ini diambil pada acara anugerah Litera 2019, pada 17 November 2019