Di sini, puisi hidup dengan beragam tema. Puisi bisa semacam parodi atau bisa juga ditafsirmaknai sebagai pembalikan mitos. Inilah hebatnya puisi: penyair boleh sesukanya membuat judul, boleh sesukanya pula menyampaikan pesan tematiknya. Tentu saja keserbabolehan itu, kebebasan kreatif itu, tetap berada dalam apa yang disebut konvensi bahasa. Dengan cara itu, pembaca memperoleh kemungkinan untuk melakukan berbagai penafsiran. Selamat Membaca. (Redaksi)

[iklan]

Puisi – Puisi Heryus Saputro Samhudi

Ballada Asmun

Asmun asal Banyumas
kejaring razia
becak miliknya dibawa truk entah ke mana
mungkin ke surga neraka
(di kaki lima Asmun terpana pulang ke rumah
Matanya basah)

Bini tercinta tercenung di pintu pondokan
si sulung anaknya 6 tahun, minta baju seragam sekolah
si bungsu yang cengeng, merajuk minta dibelikan ubi goreng
(di dapur Asmun tersungkur di periuk nasi tak berisi)
Asmun tersenyum. Matanya basah

— Lantas gimana, Kang? – tanya bini
Asmun tersenyum. Matanya basah

Asmun usaha cari kerja seputar kota tak juga ada
tenaga kasar cangkul dan palu tak juga laku
kerja tak ada Asmun melacur jadi penganggur

Bini tercinta main serong sama tetangga
— Anak-anak merengek minta makan
sewa pondok empat bulan belum dibayar –
bini membela diri
(Asmun tersenyum di tepi ranjang matanya nyalang)
harga dirinya meraih parang  menghunus duka tersayang
Asmun tersenyum. Matanya basah.

Asmun tersenyum di balik terali
Asmun tersenyum di tengah jalan
Asmun tersenyum di mana-mana
Asmun tersenyum, tersenyum
basah matanya.

Di Atas Geladag Iloluta

Geladag sepi suara
ombak yang purus datangnya dari kipas angin barat
ditembungnya sajak malam pasang gelombang
dilimburnya gigir laut
menahan laju arungku

Geladag sepi suara
bulan sepotong seperti hilang arti
buat dicinta atau digubah menjadi mimpi
atas rindu pada yang jauh
di batas waktu

Geladag sepi suara
di tiang palka tersirat siar-Mu
Selamat datang kesangsian
ini kusiapkan seadanya
kalau saja memang saatnya
bola-labuh mesti dinaikkan
dan jangkar kulego lagi
di peluk-Mu

Selat Makasar, Januari ‘80

Sajak Musim Tandur
(Baduy, November 1980)

puji syukur bagimu: Pohaci Sang Hyang Asri
yang setia mengasuh tabur-benihku
mengandungnya sepeluk musim
menjaganya dari Kala Durga
sampai panen menyapa

— petik, petiklah fitrahku
putik alam rizki semesta
atur-bagi sebijak-arifmu
sama merata semua sedulur
sama sekata harkat manungsa

(Aku pasti luangkan waktu
hening shamadi di pucuk purnama
jumat, salasa, gulita raya:
“Zamanmu masih harus terus berlanjut
sampai batas niskalaKu”)

puji syukur bagimu: Pohaci Sang Hyang Asri
mitra-sejajar dwipayanaku
srilambangmayapadaku

— duh, sridewi sri nu Pohaci
tabur-urai benih-tandurku
pada gembur pada subur
biar kuncup biar kulub…

Kandang Badak

Kesederhanaan yang pernah kita miliki
selesailah di sini
pesanggrah tak lagi berdiri
telah merapuh dibakar sepi
atap di mana kita pernah berteduh
telah rubuh diterjang waktu
dimakan rayap
sebagian dijadikan kayu bakar
diperkosa api pendaki yang ingkar pada cintaNya

Yang tinggal
pilar-pilar batu bekas tungku perapian dan coreng-moreng
tegak, menyandang kenang
sendiri
meneguk sepi
antara Gede dan Pangrango

3 April 1979

Heryus Saputro Samhudi, Mantan Redaktur Senior majalah Femina yang aktivis Pecinta Alam Indonesia, Komunitas Seni Bulungan, dan Asosiasi Tradisi Lisan. Sejak tahun 1975 banyak menulis esai, cerpen dan puisi di berbagai media cetak surat kabar dan majalah. Pernah mendapat 16 Penghargaan Jurnalistik dari berbagai Lembaga dan Instansi di Indonesia. Dua kumpulan buku kumpulan puisinya adalah Oro-Oro Ombo (2017) dan Tanjakan Seribu Janji (2018).

Sajak Selembar Diploma, memenangkan Juara 3 Lomba Cipta Karya Puisi-Radio ARH dan DKJ (1977), Pada tahun 1980, puisi Geladag Illolutta dan Kandang Badak mendapat penghargaan bulanan lembar sastra majalah Zaman.

Catatan:
Puisi-puisi dinukil dari Antologi Puisi
Lustrum 1 Kelompok Poci Jakarta 1985

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *