Datang Sebelum Pergi
Halimatussa’diyah

SENANDUNG silih berganti. Nyanyian bernada bahagia, kini beralih jadi sendu. Keramaian kota perlahan memudar. Dulu penuh dengan hiruk pikuk, kini bak kota mati. Tidak ada lagi asap kendaraan bermotor yang lalu-lalang. Tidak ada lagi warung-warung yang dipenuhi pelanggan di jam siang. Tidak ada lagi penjual bakso keliling. Sepi.  Bak kota tidak berpenghuni.

Kutatap lamat-lamat keadaan kota lewat jendela kamar. Kapankah kiranya pandemi ini sirna? Tak lelahkah ia telah keliling dunia bertemu banyak manusia? Perlahan air mata jatuh di pipi. Aku sudah tak kuasa lagi menahan tangisan. Usai menyapu air mata dengan punggung tangan. Kututup jendela dan membaringkan diri di atas kasur berwarna merah marun. Sudah jam 14.00 WITA, aku akan tidur sebentar sebelum bersiap untuk salat Asar.

[iklan]

“Assalamualaikum, Ana! Ayo bangun, aku mau ngajak jalan!” ucap sebuah suara yang terdengar samar di telingaku.
“Jalan? Bukannya sekarang masih lockdown?” bisik batinku.
“Ana! Ana Fahrina binti Sulaiman!”
Gleekk …. kutelan ludah kasar.
“Orang ini, kok tahu nama Abi. Jangan-jangan malaikat? Eh, jangan dulu. Amalku masih kurang!” batinku.

Jantungku berirama cepat, sederet pikiran negatif bermunculan. Perlahan kubuka mata. Sontak aku kaget sembari memandang sekeliling.

“Ana bangun!”

Dengan gerakan cepat aku bangun. Kasur tempat aku tidur tadi kini berubah seperti tumpukan daun berwarna hijau, namun rasanya tetap nyaman di punggung.

“Si … si … siapa kamu?” tanyaku pada sesosok makhluk yang sedang tersenyum ke arahku. Dia berbeda, namun tampak indah dipandang mata.
“Perkenalkan, aku Covid-19!” ujarnya sambil mengulurkan tangan.

Dengan gerakan sedikit pelan, kusambut tangannya. Terasa lembut.

“Ana! Ana Fahrina Sulaiman,” ucapku memperkenalkan diri juga.
“Aku sudah tau namamu,” ucapnya dengan menyunggingkan senyum.
“Mau kuajak jalan-jalan sambil menyusuri kota?” sambungnya.

Bibirku kelu, hanya anggukan sekali menjadi jawabannya. Diraihnya tanganku. Ia tampak manis. Mataku tak hentinya menatap ia yang sedang berdiri di samping kanan ragaku.

“Kamu dari mana?” tanyaku memberanikan diri.
“Aku dari tempat yang jauh. Di sini aku hanya berkunjung sebentar, sambil melakukan sedikit tugas,” jelasnya tanpa menoleh ke arahku. Matanya menatap lurus ke depan.
“Berkunjung? Kamu liburan?”

Ia menggeleng, “Mungkin lebih tepatnya bertugas!”

Aku masih mencerna kalimatnya.

“Bertugas? Apa ia seorang intelijen? CIA?” batinku menduga. Pikiranku ke mana-mana. Mungkin ini karena kegemaranku menonton film barat bertema action.
“Aku bukan dari intelijen maupun CIA. Tapi aku dikirim oleh Ia yang Mahatinggi!”

Deg! Dia tahu isi pikiranku.

“Mahatinggi?”
“Lambat-laun kamu akan mengerti. Itu, lihatlah mereka sudah tidak bersentuhan lagi!” ucapnya seraya menunjuk ke arah dua orang yang sedang berbincang.
“Bukankah mereka kemarin begitu dekat hingga tidak ada pembatas di antara mereka?” tambahnya.

Kuanggukkan kepala tanpa menoleh. Pandanganku lurus ke depan. Melihat dua orang temanku, Lisa dan Danu yang kini telah menjaga jarak.

“Kemudian, lihatlah perempuan itu! Kemarin ia dengan santainya mengenakan pakaian terbuka. Sekarang ia menutup dirinya rapat, hingga hanya mata yang terlihat.”

“Benar! Perempuan itu adalah Susi, tetanggaku. Walaupun ia mengenakan celana panjang, namun kali ini dengan jaket yang tampak kedodoran di badannya. Hodienya pun ia tutupkan ke kepala dan dari hidung hingga mulutnya tertutup masker.”

“Sekarang ia lebih cantik dengan pakaian tertutup itu, bukan?” tanyanya.

Aku kembali menggangguk. Andai ia seperti ini sejak dulu, mungkin ia akan lebih terlihat sempurna dengan menutup kulitnya yang putih.

“Kemudian itu, lihatlah jalan raya! Ia tampak bersih, karena kendaraan bermotor sudah sangat jarang berlalu-lalang. Tidak seperti kemarin!”

Aku kembali mengangguk. Kotaku tampak bersih karena polusi telah berkurang.

“Terakhir. Lihatlah sederet toko itu yang kini menyediakan tempat cuci tangan! Bukankah tampak indah ketika mereka tetap memperhatikan kenyamanan pelanggan yang berkunjung dengan menyediakan tempat cuci tangan?”

Aku mengangguk setuju. Benar, kemarin aku kesulitan mencari tampat cuci tangan ketika berada di tempat umum. Kini, semua toko menyediakan tempat cuci tangan lengkap dengan sabunnya.

“Inikah tugas yang tadi kamu katakan padaku?” tanyaku sambil menatapnya nanar. Kini kami sedang duduk di kursi taman sembari beristirahat.

“Benar! Bukankah kotamu terlihat lebih bersih sekarang?”  Aku mengangguk, “Bersih, sangat bersih!”

“Sebentar lagi aku pulang karena tugasku hampir selesai. Aku berharap, walaupun aku telah pergi kalian tetap melakukan apa yang telah aku ajarkan. Jangan bersentuhan dengan lawan jenis yang bukan mahram, menutup aurat, mengurangi polusi, dan tetap menjaga kebersihan walaupun di tempat umum!”

“Kami pasti akan merindukanmu. Bagi kami, kamu adalah pahlawan,” ucapku dengan senyum mengembang.

Ia menggeleng, “Kamu salah! Tidak semua orang akan merindukanku. Tidak semua orang akan menganggapku sebagai pahlawan. Bahkan kebanyakan orang akan menjadikanku momok menakutkan di hidupnya!”

“Mengapa?”

Ia menoleh ke arahku, “Suatu hari kamu akan mengerti. Aku pamit dulu. Jangan lupa sholat Asar! Assalamualaikum.”

“Waalaikummussalam. Hati-hati Covid-19!” jawabku dan ia pelan-pelan meninggalkanku.

Usai menyahut salam, mataku terbuka bersamaan dengan suara notifikasi azan di aplikasi gawaiku.  Bergegas aku bangun, ke kamar mandi untuk membersihkan diri sekaligus berwudu untuk kemudian melaksanakan sholat Asar.

Batulicin, 18 Maret 2020

 

Halimatussa’diyah, alumnus MI Nurul Hidayah (2011), MTs Nurul Hidayah (2014), dan SMAN 1 Simpang Empat (2017). Sekarang sedang melanjutkan studi di Universitas Lambung Mangkurat. Menjadi seorang penulis adalah impiannya sejak kecil dan menerbitkan buku adalah keinginannya. Dapat dihubungi melalui surel: hsadiyah175@gmail.com. Akun Instagram: @halimatussadiyah_02.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *