
Gadis itu terbangun dengan kepala pening di suatu ruang yang gelap. Tak ada seberkas cahaya pun di sana yang dapat digunakan sebagai penerang. Gadis itu bertanya-tanya di mana dia sekarang, atau apa gerangan yang terjadi sehingga membuatnya berada di sana. Setelah cukup sadar dan peningnya sedikit berkurang, dia meraba-raba ke sekitar di dalam ruang gelap itu. Lewat sentuhan tangannya dia dapat merasakan struktur tempat itu. Dingin serta berbatu. Apakah aku berada di dalam gua. Tanyanya sendiri dalam hati.
“Halo, ada seseorang di sini,” ucapnya. Segera suaranya bergema mengisi tempat itu. Dia segera menyadari bahwa kini dia memang benar berada di dalam sebuah gua. Gua yang sangat dalam menurutnya, karena gema suaranya berulang-ulang bertahan lama. “Siapa saja, jika ada seseorang di sini tolong jawab aku.” Ulangnya.
“Ya. Siapa kau?”
“Kenapa aku di sini?”
“Apa yang telah terjadi.”
“Kenapa gelap sekali?”
Segera banyak suara-suara lain mulai terdengar dari dalam ruangan yang lain, menanyakan pertanyaan yang sama: kenapa mereka berada di sana? Sayangnya untuk sekarang tidak ada yang tahu pasti mengapa mereka di sana.
“Syukurlah aku tidak sendirian di sini. Aku Nina, siapa saja di sana?” ucap gadis yang tadi.
“Aku Ratih, apa kau tahu berada di mana kita sekarang Nina?” tanya seseorang di dalam kegelapan.
“Entahlah, aku bahkan tidak dapat mengingat kenapa aku dapat berada di sini,” balas Nina.
“Senang mendengar suara seseorang di dalam sini. Aku Dewi, sepertinya kita berada di dalam suatu penjara di dalam gua, dan ruangan kita bersekat-sekat, aku dapat merasakan pintu kayu di sampingku.”
“Benarkah, apa kau bisa membukanya?” tanya suara lain di kegelapan.
“Tidak, ini terkunci sangat kuat.”
Kemudian yang lainnya mulai bergerak meraba-raba ke arah pintu kayu masing-masing dan berusaha membukanya dengan sekuat tenaga, tapi hasilnya nihil. Pintu itu tidak bergerak seinchi pun. Mereka segera menyadari pasti ada balok kayu penahan di luar pintu. Akibat hal ini, dengan segera mulai bermunculan kembali banyak pertanyaan yang memiliki inti pertanyaan yang sama seperti sebelumnya: kenapa mereka berada di sana dan dalam keadaan terkurung? Hanya saja kini banyak yang bercampur dengan rasa takut dan cemas, yang segera dapat disadari dari nada suara mereka. Dan karena tidak ada yang dapat memberikan jawaban terkait situasi sekarang atau memberikan kalimat penenang, kepanikan dengan cepat terjadi, menyebar mengisi gua yang gelap itu. Seperti magma disembur ke muka bumi.
“Tenanglah semuanya, mari kita berpikir jernih apa yang mungkin terjadi sehingga kita berakhir di sini,” kata Ratih.
“Kau benar, mari semuanya mendekat satu sama lain,” saran Dewi.
Ajakan yang sebenarnya keliru, karena mereka masih terkunci di ruangan masing-masing. Hanya sikap optimisme yang membuat mereka semua lupa.
Orang-orang di dalam ruang gua mulai mendekat ke sumber suara terdekat. Tidak ada yang saling kenal atau dapat melihat wajah satu sama lain, tapi mereka tidak khawatir mengenai hal itu, karena walaupun sekarang mereka bersama dengan orang asing, setidaknya ada seseorang yang lain di mana dapat menjadi tempat berbagi kegelisahan masing-masing.
“Aku tidak dapat mengingat kenapa aku dapat berada di sini. Tapi aku mengingat bahwa aku sedang mencari kayu bakar di hutan bersama kakak laki-lakiku sebelum aku terbangun di sini. Kami masuk ke dalam hutan lebih dalam, untuk memetik beberapa buah rambutan dan mencari jamur untuk dibawah pulang,” selesai cerita Ratih.
“Aku berada di sungai,” Dewi memulai. “Aku bersama gadis-gadis yang lain dari desa tempatku berasal saat itu mencuci pakaian di sungai. Saat itu mulai menjelang siang, kami bercakap-cakap sambil mencuci baju kami, kau tahu, seperti para gadis desa lain sering lakukan. Kemudian kami melihat sebatang kayu hanyut, ada sobekan kain berdarah di kayu itu, karena penasaran, salah satu dari kami mencoba meraih batang kayu tersebut, kemudian…”
“Kemudian?” tanya suara lain dalam kegelapan.
“A… Aa… Aku tidak tidak dapat mengingatnya… yang jelas sama seperti kalian, aku berakhir di sini.”
“Bagaimana dengan teman-temanmu yang lain?”
“Entahlah, sepertinya mereka tidak berada di sini. Aku tidak mendengar suara mereka di ruang manapun di gua ini. Padahal aku sudah memanggil-manggil nama mereka sedari tadi.”
“Aneh sekali, kau terjebak di sini sementara teman-temanmu yang lain tidak.” Ucap Nina.
“Bagaimana denganmu?” ucap suara lainnya.
Agak sulit untuk mengetahui siapa yang bertanya di dalam gua tanpa cahaya itu. mereka hanya dapat menerka-nerka.
“Hal terakhir yang aku ingat adalah aku sedang berjalan untuk mengantarkan makan siang untuk ayahku yang sedang bekerja di ladang,” kini giliran Dewi. “Ladang kami tidak terlalu jauh ataupun terlalu dekat dari rumah, tapi yang jelas saat itu aku memutuskan memotong jalan melalui hutan, aku sebenarnya jarang melakukan hal tersebut, tapi untuk hari itu aku mengambil jalan pintas lewat sana, padahal orang lain sendiri jarang melakukannya, ada banyak ular dan hewan liar macam musang atau monyet yang tiba-tiba dapat kau temui. Tapi untuk hari itu, aku memutuskan melakukannya. Aku percaya diri bahwa kalau aku berhati-hati, aku akan dapat menghindari para hewan liar itu.” Dia berhenti sejenak. “Lalu berakhir di sini, terbangun dalam keadaan sedikit pusing serta tidak tahu bagaimana aku dapat sampai kemari.”
Setelahnya masing-masing dari para perempuan itu mulai bercerita. Mereka terus bercerita dan bercerita. Mengungkapkan tempat, waktu, dan kegiatan apa yang mereka lakukan sebelum mereka terkurung di sana, hingga gadis terakhir selesai bercerita. Total terdapat dua belas cerita berbeda yang tidak memiliki hubungan satu sama lain dari dua belas gadis berbeda yang tidak saling mengenal satu sama lain.
“Ini ternyata lebih aneh dari yang aku duga,” kata Ratih. “Tapi yang jelas semua orang di dalam ruangan ini adalah perempuan.”
“Dan berasal dari tempat yang berbeda,” Dewi menambahkan.
“Juga meskipun ada beberapa orang yang bersama kita saat itu, mereka tidak ikut terjebak bersama kita, padahal ada beberapa gadis juga saat itu bersama salah satu dari kita.” Ucap Nina. “Siapa gerangan atau kenapa mereka melakukan hal seperti mengurung kita di dalam sini?”
“Mereka?” Dewi mengernyit.
“Itu hanya tebakanku. Tidak mungkin hanya satu orang yang bisa melakukan hal ini, bukan!” Duga Ratih.
“Kita tidak tahu apa tujuan mereka, yang jelas tidak ada tujuan baik saat mereka memutuskan mengurung kita di sini.” Ucap Nina.
“Sekarang apa yang mesti kita lakukan?” tanya Dewi cemas.
“Menunggu seorang pengeran menyelamatkan kita,” ucap Nina datar. Dia sudah menyerah untuk berpikir cara lolos dari situasi ini.
Serempak, di dorong oleh naluri, tercipta nyanyian yang bersahut-sahutan.
“Tolong!”
“Tolong selamatkan kami.”
“Seseorang tolong kami. ”
“Siapapun… hiks… hiks… tooo… hiks…. Hiks… tolong…. ”
“Mama!”
“Papa, tolong papa, selamatkan aku.”
Para gadis yang putus asa serta ketakutan, mulai meraung-raung meminta pertolongan. Ruang gelap di dalam gua itu sekarang sungguh berisik dan panas. Apalagi dengan suara-suara tangisan dan teriakan yang berterus bergema berulang-ulang. Mengalahkan paduan suara paling megah.
“Astaga, sekarang aku benar-benar pusing akibat suara tangis cengeng yang lain,” ucap Ratih mengolok, padahal air mata sudah menggenang di sudut kelopak matanya.
Aldi Rijansah. Lahir di Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat. Saat ini sedang berkuliah di Prodi Kehutanan, Universitas Mataram. Bisa diajak berteman melalui Instagram: @aldi_saja04