Pertemuan denganmu, pasti menjadikan usiaku bertambah.
Tapi mungkin tidak lainnya.
Sungguh aku butuh Engkau dengan segala kelemahan dan dosaku sepanjang hidup ini.
Mohon ampuniku, mohon kasihaniku.
Mohon angkat segala sakit yang saat ini melekat dalam tubuhku.
Mohon dengan segala Kuasa-Mu, Ya Rabb.
Mohon perbaiki diriku dengan segala hidayah dan inayah-Mu.
Mohon Ya Allah. Mohon….
Aamiin yaa Rabbal’aalamiin.

Berulang-ulang kubaca coretan kecil itu, ungkapan hati di hari ulang tahunku bertepatan dengan kondisi tubuhku yang tengah sakit.

Awalnya, keluargaku tak mengetahui kalau aku benar-benar sakit. Mereka mengira aku hanya masuk angin biasa karena kecapaian berdagang sayuran di pasar. Setiap hari, sampai pada kondisi badan yang mulai tak nyaman, aku masih belanja sayuran di pasar induk yang memakan waktu tempuh 75 menit dengan mengendarai motor milik almarhum ayahku.

Pagi hingga sore kondisi tubuhku kuat meski batuk-batuk acap kali mengganggu aktivitasku. Namun, bila malam menjelang waktuku beristirahat, sekujur tubuhku merasa tersiksa oleh sakit yang belum kutahu pasti apa penyebabnya. Setiap malam suhu tubuhku naik hingga 39 derajat. Keluargaku juga tak mengetahui pasti, hanya menduga-duga saja. Mungkin masuk angin, mungkin tifus, ada juga saudara lain bilang bahwa aku terkena batuk tiga bulanan, ya, istilah orangtua zaman dulu jika batuk tak kunjung sembuh, katanya akan berhenti sendiri ketika sudah sampai tiga bulan.

Aku hanya bisa pasrah sembari menuruti semua saran dari para orangtua dan keluarga, mulai dari dikerok, dipijit, minum jamu tradisional, obat-obatan herbal hingga aku diboyong kakakku untuk menjalani terapi herbal sampai kemudian bertemu dokter Lukman di sana, namun sakitku tak kunjung sembuh.

“Sakit apa, Mbak?” tanya dokter Lukman yang wajahnya ditutupi masker hijau, dan kedua tangan yang terbungkus sarung tangan putih.

“Batuk-batuk, Dok,” jawabku singkat.

Aku pun menutupi wajahku dengan masker bermotif bunga dengan telapak tangan dan kaki kedinginan karena AC dalam ruangan. Meski kakiku terbungkus kaos kaki, tetap saja dinginnya mampu menusuk tubuhku.

Antara kami terpisah kaca, mungkin sekarang hal seperti itu sudah menjadi biasa, sebab adanya covid-19. Khusus di ruangan dokter paru yang berhubungan dengan virus yang mudah menular jika terjadi kontak langsung dengan pasien maka harus jaga jarak.

Tapi aku masih bersyukur tidak divonis terkena corona sehingga harus diisolasi dan dijauhkan dari keluarga yang aku cintai. Aku tak bisa membayangkan bagaimana sedihnya berpisah dengan orang-orang yang kusayangi, walaupun itu adalah pilihan paling bijaksana. Tuhan, sungguh aku patut bersyukur atas segala kasih sayang yang sudah Engkau berikan kepadaku selama ini.

“Sudah berapa lama batuk-batuk?” tanyanya lagi.
“Sudah lama, Dok. Hampir dua bulan.”
“Sebelumnya sudah pernah berobat di mana?”
“Sudah Dok, di Puskesmas.”

Lalu, tanpa dokter memeriksakan tubuhku, Dia lanjut bertanya, “Ada keluhan apa saja yang Mbak rasakan?”

“Batuk berdahak nggak sembuh-sembuh, Dok. Selain itu, setiap malam saya banjir keringat. Setiap malam saya pasti ganti pakaian karena basah kuyup, kadang demam dan menggigil, lemas, kepala pusing, dan berat badan saya terus turun, Dok,” terangku panjang lebar.

Berharap ada diagnosa yang tepat dan solusi yang menenangkan hatiku, meskipun aku benar-benar sudah pasrah. Bahkan aku telah berserah diri andai Tuhan sudahi usiaku karena sakit yang kualami.

“Baik. Nanti saya kasih resep obat dan rujukan untuk dilakukan rontgen ya, Mbak. Seminggu lagi Mbak datang sambil bawa hasil rontgen-nya,” kata dokter muda berkulit putih, tinggi dan mata sipit yang didampingi suster muda berkerudung hijau tosca.

Seminggu berlalu, dan aku telah kembali bertemu dokter Lukman untuk menerima diagnosa dan pengobatan lanjutan.

Dua bulan lebih tubuhku tidak stabil. Kadang panas, kadang menggigil kedinginan. Setiap malam tubuhku dibanjiri keringat, setiap malam aku pasti terbangun dengan baju dan celana yang sudah basah kuyup oleh keringat. Mulut hingga tenggorokan acap kali kurasa dehidrasi, sampai-sampai aku terbangun dan langsung minum banyak air.

Pertemuanku dengan dokter Lukman telah seminggu berlalu dan kini aku kembali bertemu dokter Lukman untuk menerima diagnosa dan pengobatan lanjutan.

“Dari hasil rontgen, ada TBC di paru-paru Mbak Nuri. Nanti ada serangkaian pengobatan yang harus dilalui Mbak Nuri selama 6 bulan dan itu jangan sampai terputus, jika terputus maka Mbak harus mengulang lagi prosesnya dari awal. Jadi, tolong obatnya jangan sampai terputus, ya Mbak.”

Aku hanya menunduk lemas.

TBC? Obat rutin setiap hari selama enam bulan? Mampukah aku menjalaninya? minum obat saban hari—selama enam bulan.

TBC atau Tuberculosis adalah penyakit paru-paru akibat kuman Mycobacterium Tuberculosis yang menimbulkan gejala batuk yang berlangsung lama, lebih dari 3 minggu. Selain itu, gejala yang ditimbulkan berupa demam, lemas, berat badan turun, tidak nafsu makan, nyeri dada dan berkeringat di malam hari. Sama persis yang terjadi padaku.

Sampai tiga bulan lebih, batukku tak kunjung hilang. Badan semakin kurus, tulang dada begitu menonjol memperlihatkan bentuk tulang yang amat jelas, dadaku rata, wajah pucat pasi. Meski selera makan tak terganggu, nyatanya berat badanku setiap hari mengalami penurunan.

Tak perlu ditanya bagaimana perasaanku, jelas saja aku hampir putus asa dan menyerah. Sepanjang hari aku hanya bisa meratapi kondisi badanku yang tak karuan. Jangankan untuk bekerja, menggerakkan badan sendiri saja rasanya lemas, pusing dan seluruh otot tubuh terasa sakit. Tapi, kemudian diriku mencoba mencari sesuatu untuk menguatkan hati yang sungguh sangat lemah—merasa sendiri dan tak berdaya.

Entah mengapa, aku seperti tersadar untuk meyakini tentang kekuatan dan kasih sayang Allah. Ya, bahwa Allah tak mengharapkan hamba-Nya putus harapan apalagi menyerah pada kondisi. Ingat janji Allah yang selalu mengingatkan kita untuk kembali dan meminta hanya kepada-Nya dengan segenap hati.

Jika kita meminta kepada-Nya, maka Allah akan berikan.

Itulah yang aku rasakan, ketika kematian seperti membayang jelas dan begitu dekat, disaat itu juga terbesit dalam hatiku akan asa yang membara untuk bisa sembuh atas izin-Nya. Aku teringat ayahku yang telah tiada setahun lalu, tiba-tiba aku sangat rindu ayahku. Mungkin saja bila ayahku masih hidup, beliaulah yang pastinya paling peduli dan akan berupaya keras untuk mengobatiku. Tiba-tiba saja air mata mengalir deras.

“Ya Allah, Engkau Maha berkehendak. Engkau Maha Pengasih dan Penyayang. Maka kasihi dan sayangilah diriku yang lemah tak berdaya ini. Mohon angkat sakitku jika masih ada kehidupan yang baik yang akan aku jalani ke depan. Namun, jika hidupku sudah tak berguna dan hanya menjadi beban orang lain, maka bawalah aku pergi, ya Allah. Mohon jangan pernah meninggalkan aku. Peluk dan dekaplah aku dengan segala kasih sayang-Mu. Sayangi dan kasihanilah aku!”

Lagi-lagi, air mata membanjiri wajah, jatuh sampai ke relung hati yang terdalam. Menyejukkan panas, menentramkan gundah. Sungguh, tak ada yang lain selain Allah yang menjadi sandaranku. Karena aku yakin dan percaya akan janji-Nya: Barang siapa yang datang kepada-Ku dengan berjalan, maka aku akan datang dengan berlari. Ketika kita berusaha mendekati Allah, maka Allah akan lebih mendekati kita.

Sungguh Allah Maha Baik. Yakin, Allah selalu akan melakukan apa pun yang lebih baik dan lebih baik lagi dari apa yang sudah kita lakukan. Bahkan sinar harapan yang kita sampaikan kepada-Nya akan menjadi doa terindah yang pasti Allah kabulkan.

Pil demi pil, tablet demi tablet aku minum setiap hari. Beragam warna, namun rasanya tetap sama—pahit. Aku ingin kepahitan ini cukup di obat saja, tidak pada kehidupanku. Waktu ke waktu, hari ke hari, bulan ke bulan, aku harus mondar-mandir rumah sakit; kontrol dan membeli obat, hingga tes selesai aku jalani. Akhirnya, keputusan hasil tes dahak menunjukkan bahwa aku negatif TBC dan dinyatakan telah sembuh dari sakit.

Sungguh, berkat doa, keyakinan, keteguhan dan sikap optimis dapat mengubah ketakutan dan kecemasan dalam diri menjadi sumber kekuatan luar biasa untuk terus bangkit dan semangat, sehingga harapan menuju sesuatu yang lebih baik semakin bersinar dan indah. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah.

Mae nama pendek dari Maemunah. Lahir di Cirebon, 30 Maret. Ia dikenal sebagai penulis novel. Karya-karyanya seperti Ta’aruf CintaPesan Dalam BisuTakut Kehilangan, Istikharah Cinta dan lain-lain.

 

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *