Pagi menjelang siang di bulan November yang mendung. Aku melangkah keluar dari sebuah gang menuju keramaian kota, lalu berhenti di depan sebuah toko roti. Tiba-tiba saja ponselku bergetar. Kutatap layar ponselku itu. Irada? Ia meneleponku? Segera kuangkat.

”Tolong aku sekarang!” ucapnya. Suaranya terdengar begitu ketakutan.

”Ada apa?”

”Uangku hilang. Dompetku dicopet.”

”Apa? Coopeet?” tanyaku dengan nada suara yang tinggi.

Tak diduga, seorang lelaki yang tengah merokok di hadapanku itu, terperangah mendengar ucapanku. Tak basa-basi, ia pun lekas bertanya.

”Apa, copet? Mana copetnya?” seraya mengepalkan tangan kirinya, seperti hendak membunuh saja. Pada waktu bersamaan, beberapa orang yang melintas pun ikut berhenti dan bertanya.

”Ada apa?”

”Ini. Ada copet.” Ujar lelaki yang tak kutahu siapa namanya itu. Sedangkan ketika itu, di ujung telepon, aku mendengar Irada lagi-lagi mengatakan kata yang sama, yaitu ”copet”, berkali-kali, berulang-ulang.

”Hah… mana copetnya?” tanya yang lain begitu bersemangat.

”Iya, mana copetnya? Cepat katakan pada kami mana copetnya!”

Dari gang lain di depan sana, tampaklah seorang pemuda tengah berlari kecil menyusuri trotoar. Kutaksir usianya duapuluhan. Ia mengenakan kaus olahraga hitam dan bercelana selutut. Seorang bapak berkepala botak yang baru saja bergabung dengan kami, spontan meneriaki pemuda yang tengah berlari itu.

”Itu dia copetnya!”

”Iya! Benar! Itu dia yang sedang lari pasti copet!” timpal yang lain besorak.

”Kalau begitu tunggu apalagi? Cepat kejar!” ucap lelaki berkaus gelap dengan topi dari beludru.

Mereka pun akhirnya mengejar pemuda tersebut. Serta merta, aku pun coba berlari mengejar keramaian itu. Di sana, tentulah Irada sedang kebingungan dengan apa yang tengah terjadi.

”Woi copet! Woi copet!” teriak orang-orang.

Mengetahui ada yang aneh atas dirinya, sekondan-kondan, pemuda itu pun menambah kecepatan larinya. Tak ayal, ia pun menabrak orang-orang yang ada di depannya. Ibu-ibu terpental. Anak-anak tertendang. Tong sampah ia lompati. Ia berlari sekencang mungkin. Sekuat tenaganya. Ia berbelok ke sebuah gang yang sempit. Sedangkan kami terus mengejar.

Baru saja setengah dari jalan gang itu kami lalui, pemuda itu berhasil keluar dan melintasi jalanan umum di depan sana. Lantas kami pun bertambah semangat. Namun gang yang sempit menyulitkan kami untuk bisa berlari cepat. Kami berdesak-desakan. Orang-orang yang tinggal di gang itu pun terlihat terkejut. Mendengar kata-kata ”copet”, tak sedikit dari mereka ikut bergabung. Lalu, kami pun keluar gang lagi. Sungguh, pemuda itu berlari layaknya atlet. Kami terus mengejar. Kami berlari seperti babi.

Tiba-tiba telepon berdering lagi. Seraya terus berlari, aku mendapati Irada kembali menelepon. Ada apa pula?

”Halo..!” ucapku seraya terengah-engah.

”Tolong aku sekarang! Aku kecopetan!”

Belum juga sempat kujawab, lelaki yang berada di belakang, menyandung kakiku. Karenanya kami terjatuh. Ponsel pun terempas dan tercerai berai dengan baterainya. Segera kupunguti dan seketika aku pun bangkit, dan berlari mengejar.

Ternyata pemuda yang tengah kami kejar itu berlari ke arah sungai. Kini jarak kami semakin melebar dengan kota. Kami terus mengejar pemuda berotot baja itu. Namun, satu persatu, orang-orang mulai tumbang. Seorang bapak bercelana pendek warna cokelat akhirnya terduduk juga. Tak lama, seorang pemuda yang berdandan rapi ala kantoran pun menyerah. Sedangkan seorang juru parkir dengan peluit masih tergantung di lehernya, terlihat banjir keringat. Sedangkan di sana, di depan itu, meski tak sekencang sebelumnya, kulihat pemuda tersebut berbelok ke arah jembatan.

Kami yang tersisa, akhirnya mengejar ke arah jembatan. Sedangkan yang lain, lagi-lagi, semakin banyak saja yang bertumbangan. Aku pun seperti tak lagi bisa bernapas. Namun, aku harus terus mengejar mengikuti rombongan yang masih saja berlari itu.

Kini jumlah kami tinggal sekitar duapuluh orang saja, ketika tiba-tiba pemuda di depan sana sudah berada di tengah jembatan. Tak dinyana, dari arah berlawanan, segerombolan orang berlari menghadang pemuda tersebut. Semakin dekat dan semakin dekat. Kini, di antara kami hanya terpaut jarak dua puluh meter saja. Pemuda tersebut tak lagi punya pilihan selain berhenti di antara orang-orang yang mengepungnya.

”Hah! Kena kau sekarang!” ucap orang-orang dari arah berbeda itu.

”Ayo! Langsung saja bunuh copet ini! Kita bakar bila perlu!” sergah yang lain.

”Tunggu!” Potong si pemuda. ”Aku bukan copet!”

”Ah, mana ada pencuri ngaku!” kata yang lain.

”Ayo, sudah, jangan banyak basa-basi. Kita habisi orang ini!”

Sekejap, pemuda itu pun mundur ke sebuah dinding pembatas di jembatan itu. Segera ia menaikinya. Angin membelai tengkuknya yang basah.

”Hei. Jangan terjun!” ucap seseorang.

”Sudah kubilang, aku bukan copet!” sergah pemuda itu lagi-lagi. ”Jangan mendekat! Atau, aku akan benar-benar terjun ke sungai!”

”Tolong jangan terjun! Kami sudah sangat lelah mengejarmu!”

”Iya. Tolong jangan loncat!”

Namun, belum saja mereka berhasil membujuk pemuda tersebut, tiba-tiba saja pemuda itu meloncat ke sungai dan hilang ditelan arus.

”Ah, bagaimana ini? Dia loncat.”

”Ya, bagaimana lagi?” timpal yang lain.

”Hm…sudahlah. Lebih baik kita pulang saja. Pasti dia mati di bawah sana.”

Lantas perlahan orang-orang pun tampak mundur teratur. Berbalik arah untuk kembali pulang. Beberapa dari mereka benar-benar telah melangkah tatkala tiba-tiba seseorang berteriak.

”Hei! Jangan pulang dulu!”

”Ada apa lagi?” tanya yang lain.

”Bisa saja ia lolos dan menepi. Ayo tunggu apa lagi, kita ikut loncat saja! Jangan kita biarkan copet itu hidup! Di negeri ini tak boleh ada orang seperti dia.” Ajaknya dengan sangat berapi-api.

”Benar juga, ya?” jawab yang lain.

Tak lama beberapa orang langsung terjun ke sungai. Yang lain pun menyusul. Aku menatap lekat pada air di bawah sana. Betapa derasnya air sungai itu. Tentu, karena hujan beberapa hari ini turun lebat sekali. Hingga, tinggal aku sajalah yang belum melompat ke sungai itu. Ingin rasanya aku melompat. Namun, aku tak benar-benar bisa berenang.

Karenanya, kuputuskan kembali saja. Sepanjang jalanan pulang, aku pun bertanya pada diri sendiri. Benarkah pemuda itu seorang copet? Ya, mungkin saja benar. Ia seorang copet sekaligus seorang pelari nasional. Bisa jadi juga ia yang telah mencopet dompet Irada. Hm, bisa jadi benar, dia lah orangnya. Gumamku lagi dan lagi.

Sesampainya di rumah, karena letih, aku pun tertidur lelap. Di sore harinya aku terbangun dan mendapati sebuah berita heboh di televisi.

”Diduga belasan orang hilang terseret derasnya arus sungai. Seorang atlet renang berhasil selamat dari insiden tersebut.”

Ah, dasar bodoh, pikirku. Lalu kudapati sebuah pesan di ponselku. Iya. Itu dari Irada.

“Tolong, aku kecopetan!”

Tulisnya, singkat.

Anggi Nugraha. Lahir di Batumarta 2 Kab. OKU, Sum-Sel. Alumnus Sastra Inggris UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Tulisan-tulisannya dimuat di : Pikiran Rakyat, Republika, Media Indonesia, Tribun Sum-Sel, Lampung Post, Malang Post, Padang Ekspres, Palembang Ekspres, Radar Surabaya, Koran Singgalang, Radar Mojokerto, Koran Berita Pagi, Radar Cirebon, Lampung News, Kedaulatan Rakyat, Majalah SUAKA, dll. Kini bekerja di Nurul Fikri Boarding School Lembang. Buku yang sudah terbit “Kunang-kunang Dini Hari” kumpulan cerita pendek, Poiesis; 2021.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *