SEKIAN TERAMPIL : SETARANYA PEREMPUAN DAN LAKI LAKI DALAM BERBAGAI ASPEK YANG TERKADANG DIANGGAP BELUM ADIL DI MASYARAKAT
Oleh : Nabila Niranti
Gender menjadi sebuah hal yang sering dibahas oleh masyarakat umum. Masyarakat umum, banyak beranggapan bahwasanya gender adalah laki-laki dan perempuan. Namun, bukan seperti itu maknanya. Menurut Fakih (2008: 8) mendefinisikan gender sebagai suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural. Istilah gender dibedakan dari istilah seks. Oakley, ahli sosiologi Inggris, merupakan orang yang mula-mula memberikan pembedaan dua istilah itu (Saptari dan Halzner, 1997: 88). Maka pada intinya, gender ialah segala hal yang melekat pada laki laki dan perempuan mulai dari sifat, sikap, maupun hal yang membedakan antara keduanya. Dalam Victoria (ed.), Webster’s New World Dictionary (New York: Webster’s New World Clevenland, 1984), 561, dijelaskan bahwa gender dapat diartikan sebagai perbedaan antara lakilaki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan perilaku. Dalam Women Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Membahas gender, tentunya kita tidak akan bisa lepas dari pembahasan keseteraan gender. Kerap kali masyarakat salah kaprah tentang seperti apa sebenarnya kesetaraan gender ini. Maka dari itu, inilah alasan penulis membahas kesetaraan gender, dikarenakan banyak sekali pendapat yang kontra terhadap kesetaraan gender di Indonesia, terutama bagaimana dengan opini perempuan yang terkadang mendapat hak yang kurang adil daripada laki laki,namun tak lupa pula akan kewajibannya.
Hal-hal kecil yang dikaitkan dengan gender seperti warna misalnya. Perempuan yang biasanya dihubungkan dengan warna cerah seperti pink, kuning, hijau, biru. Sedangkan laki-laki biasanya dikaitkan dengan warna gelap seperti hitam, abu, dan coklat. Sejatinya, tidak ada hal resmi yang menyatakan hal tersebut. Itu hanyalah opini individu yang telah diakui oleh masyarakat umum, yang kemudian menyatakan akan kewajaran hal ini. Lantas, orang lain ikut menyetujui dan hal ini menjadi konstanta yang tak tertulis. Ada lagi hal yang mengaitkan dengan model pakaian. Perempuan yang model pakaiannya bisa dikatakan lebih kalem dibandingkan laki laki. Mungkin ada sebagian yang bertanya apa alasannya model pakaian juga menjadi konstanta? Karena kebiasaan. Awalnya perempuan memakai model pakaian yang diibaratkan model A, laki-laki memakai pakaian model B. Semakin lama, model ini semakin terkenal dan sudah menjadi adat kebiasaan di dalam masyarakat.
Selanjutnya ranah tentang pendidikan. Seringkali terdengar bahwasanya pendidikan sangat dikaitkan dengan laki-laki dan perempuan. Maksudnya bagaimana? Dalam masyarakat laki laki sewajarnya memiliki pendidikan tinggi sebelum pada akhirnya mereka akan bekerja. Dan ketika pendidikannya rendah, akan menjadi sebuah sindiran tersendiri. Namun sebaliknya, perempuan yang dianggap wajar ketika cukup menamatkan pendidikan ditingkat SMA/SMK/MA saja, dan ketika ada yang melanjutkan ke tingkat universitas justru bahkan malah dicibir. Anggapan buruk yang menganggap untuk apa perempuan sekolah tinggi tinggi padahal nanti ujung ujungnya berkutat di dapur. Sebenarnya kedua anggapan ini tak sepenuhnya benar.
Pendidikan adalah hak bagi setiap orang baik itu laki laki ataupun perempuan, kaya atau miskin. Pendidikan yang pada akhirnya juga berhubungan dengan profesi. Misalnya saja setelah lulus sekolah, perempuan yang terkadang diharuskan menjadi ibu rumah tangga dan laki laki yang mencari nafkah. Banyak fakta seperti ini, tapi yang menjadi pertanyaan apakah perempuan benar benar sepenuhnya ingin menjadi ibu rumah tangga seutuhnya? Atau ada keinginan untuk sembari bekerja sesuai dengan cita citanya? Laki laki pun sama. Apakah benar tugasnya hanya melulu tentang bekerja? Kalau ditanya, tentu saja jawabannya tidak. Ketika keduanya ada dalam sebuah rumah tangga, melengkapi adalah yang paling bisa diterima, karena masih banyak yang tidak tahu tugas ibu rumah tangga itu tak kalah berat dari bekerja diluar rumah seperti misalnya memasak, mencuci, membereskan isi rumah, mengurus anak dan tugas lainnya yang masih banyak. Hanya saja terkadang ada hal yang mungkin terkesan aneh dipandangan orang pada umumnya, ketika tugas ini terbalik. Tugas rumah tangga yang dilakukan sang suami, sementara istrinya bekerja diluar. Sudah lumayan banyak bukan hal ini terjadi? Atau bahkan mungkin ada di sekitar kita? Aslinya sih, paling tidak ya sesuai dengan komitmen yang mereka sepakati sebelumnya. Namun perlu diingat, yang digaungkan sekarang oleh perempuan-perempuan itu hanya untuk bagian yang lebih mudah, mereka hanya memperjuangkan kesetaraan pada bidang ataupun hal-hal yang tidak beresiko tinggi. Sedangkan untuk pekerjaan beresiko tinggi, lebih di arahkan kepada laki-laki.
Jika dikorek ulang, perempuan juga bisa memimpin sama halnya laki laki. Hanya saja, masih minimnya perempuan yang pemimpin dalam sebuah jabatan menjadikan salah satu alasan mengapa perempuan masih agak kurang saja menjadi pemimpin. Atau biasa disebut dengan budaya patriarki. Dimana laki-laki memegang kekuasaan utama dalam kepemimpinan sosial maupun politik. Jadi, mungkin karena budaya ini juga yang memperlambat naiknya presentase perempuan untuk menjadi pemimpin.
Data BPS ( Badan Pusat Statistik ) memaparkan, presentase tenaga kerja laki-laki pada tahun 2022 43,97%. Sedangkan untuk tenaga kerja wanita berada di presentase 35,57%. Data ini menjelaskan bahwasanya untuk tenaga kerja formal masih unggul laki-laki di Indonesia, mungkin juga karena masih banyak wanita yang menjadi ibu rumah tangga saja tanpa tambahan bekerja diluar rumah. Namun semuanya kembali lagi ke masing-masing, apakah terpaksa atau tidak dalam menjalani. Data ini juga menunjukkan asumsi masyarakat yang menyatakan bahwa pekerjaan perempuan hanya sekedar tambahan peran dan tambahan penghasilan keluarga juga menjadi salah satu sebab lebih rendahnya tingkat partisipasi tenaga kerja perempuan.
Realitanya, keseteraan gender seperti apa yang diinginkan wanita dan laki-laki? Kemungkinan besar kesetaraan gender yang sangat berbeda jauh. Gender dalam kamus bahasa Indonesia berasal dari bahasa Latin, yaitu “genus” , berarti tipe atau jenis. Gender adalah sifat dan perilaku yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan yang dibentuk secara sosial maupun budaya. Maka dapat diartikan bahwa kesetaraan gender adalah suatu keadaan setara dimana laki-laki dan perempuan bisa memenuhi hak dan kewajiban masing-masing. Gender bukanlah berarti jenis kelamin. Banyak yang memiliki pengartian keliru terkait ini.
Kemudian, sudah jelas gender yang diartikan dengan sikap dan perilakunya. Perempuan yang condong memiliki sikap dan perilaku lemah lembut, sopan, tidak kasar. Laki-laki yang condong memiliki sikap tanggung jawab, bersikap kuat sebagai pelindung perempuan, dan juga tegas. Maka dari sinilah seharusnya laki-laki dan perempuan memiliki akses hak yang sama dimata sosial dan mereka bisa melaksanakan kewajibannya, tanpa harus memikirkan latar belakang yang berbeda dan bagaimana tanggapan masyarakat.
Namun perlu diingat, untuk kesetaraan gender yang digaungkan sekarang oleh perempuan-perempuan itu hanya untuk bagian yang lebih mudah, mereka hanya memperjuangkan kesetaraan pada bidang ataupun hal-hal yang tidak beresiko tinggi. Sedangkan untuk pekerjaan beresiko tinggi, lebih di arahkan kepada laki-laki.
Kesetaraan gender itu tidak akan pernah bisa terwujud dalam posisi sampai benar-benar setara. Seseorang itu sudah diciptakan berbeda, tugas kita juga pastinya berbeda. Laki-laki dengan kodratnya, dan perempuan dengan kodratnya. Perempuan juga diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, dan itulah salah satu alasan mengapa laki-laki juga memiliki tanggung jawab sebagai pelindung perempuan. Dan untuk mencapai kesetaraan gender itu sendiri, masing-masing individu harus memahami apa hak dan kewajiban dari setiap gender serta melaksanakannya. Bukan hanya memahami, penerapan sangat penting untuk mencapai kesetaraan gender pada tingkat yang lebih dari saat ini.
Nabila Niranti. Lahir di Kebumen, 09 November 2004. Saat ini ia sedang menempuh pendidikan di Universitas Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto dengan Program Studi Pendidikan Agama Islam.