Cerita-cerita di Musim Hujan
M.Z. Billal
- Jas Hujan
Kau sudah tahu, bahkan paham betul bahwa negara kita yang berada di garis khatulistiwa ini hanya mengalami dua musim saja, musim hujan dan kemarau. Silih berganti sesuai periodenya. Tapi kau tidak pernah melakukan persiapan untuk menghadapi kedua musim tersebut. Kau bilang tidak perlu persiapan. Toh, musim kemarau sudah pasti panas dan musim hujan selalu basah. Meski sudah pernah kusanggah bahwa tidak bisa seperti itu, kau tetap saja bersikap masa bodoh. Dan aku memilih tak mau ribut soal musim. Namun pertanyaanku untukmu adalah apa kita benar-benar mampu mengira cuaca seperti apa hari ini? Apa ramalan cuaca selalu bisa dipastikan keakuratannya?
[iklan]
“Matahari bersinar cerah hari ini. Sesuai dengan ramalan cuaca yang kubaca di koran kemarin.” Kau berkata dengan begitu yakin. Aku hanya mengangguk sekadar menyetujui kata-katamu.
“Tapi jangan lupa, kau harus tetap bawa jas hujan. Perjalananmu cukup jauh hari ini.” kataku mengingatkan.
“Hari ini tidak akan turun hujan, Sayang. Tidak ada tanda-tandanya. Jadi aku tak perlu membawa itu.”
“Baiklah, jika itu adalah maumu. Aku hanya mengingatkan bahwa kita sudah menghadapi musim hujan dan kau tahu itu.”
Sekali lagi aku tak mau berdebat panjang padamu soal cuaca. Aku cuma bisa merasa kesal karena kau tak mau menuruti saranku. Padahal apa sih susahnya membawa jas hujan itu. Ia benda mati yang tak mungkin merepotkanmu. Beratnya pun tak sampai sekilo dan tak mesti kautenteng menemui atasanmu.Tapi, sudahlah, aku malas menggerutuimu pagi-pagi begini. Sebab kau akan pergi seminar ke tempat yang lumayan jauh. Maka sebaiknya kuantar kau dengan sebuah senyuman untuk menambah semangatmu bekerja.
Lantas kau pun pergi bersama sepeda motormu. Tersisa aku dan bayi kita yang berusia sepuluh bulan di rumah. Aku tak mau berlama-lama memikirkan perkara cuaca yang membuatku jengkel. Lagi pula sejujurnya aku juga berharap cuaca hari ini cerah, seperti perkiraan cuaca yang kaubaca di koran. Mengingat jumlah tumpukkan baju lembab yang belum kering sempurna di dalam keranjang terus bertambah dan aku harus bolak-balik menjemur lalu memilah mana yang sudah kering dan mana yang masih lembab. Cukup merepotkan. Karena hujan pada akhir tahun seperti ini sulit ditebak. Awan-awan mendung bisa berpesta kapan saja dan muntah begitu ia mulai mabuk berat. Dan akhirnya aku harus siap untuk repot sebagai ibu rumah tangga.
Sama seperti saat ini. Aku baru saja menjemur dua keranjang penuh pakaian basah di halaman belakang sambil mengawasi anak kita yang makin aktif bergerak berpetualang ke segala penjuru halaman belakang. Aku tak mau ia kenapa-kenapa hanya karena aku sibuk dengan pekerjaan rumah. Aku ingat pesanmu, bahwa kebutuhan anak adalah yang terpenting.
Akan tetapi, baru saja aku selesai menjemur seraya duduk di teras belakang, berpikir hendak memasak apa hari ini, tiba-tiba kau meneleponku. Aku tak bisa langsung menjawab teleponmu, aku harus memastikan dulu bahwa anak kita berada dalam jangkauanku. Barulah saat kau menelepon untuk kedua kalinya kujawab panggilanmu.
“Ada apa?”
“Bisakah kau minta tolong seseorang mengantarkan jas hujan untukku?”
“Jas hujan? Untuk apa? Bukankah hari ini cuaca cerah? Aku baru saja selesai menjemur pakaian.”
“Oh, tidak!” Kau berseru. “Kau benar, Sayang. Ramalan cuaca tidak bisa dipercaya. Aku sedang berteduh. Aku butuh jas hujan, agar aku bisa datang tepat waktu. Gerimis di sini semakin deras. Aku berteduh di halte jalan Pahlawan.”
Aku berada diantara rasa kesal dan cemas. Kau tak mendengarkanku, tapi kau membuatku khawatir. Mestinya kau terima saranku daripada menjadi suami yang keras kepala. Kau merepotkanku. Aku mulai menggerutu lagi.
- Pilek
Aku terharu. Sungguh, kali ini aku terharu. Tidak sedang bercanda atau agar aku bisa mendapatkan perhatian lebih darimu. Tapi kali ini aku benar-benar sakit dan tak sanggup melakukan aktivitas harianku sebagai ibu rumah tangga. Jadi aku berharap penuh kau bisa membereskan pekerjaanku sementara waktu hingga aku pulih.
Musim hujan akhir tahun membuat aku pilek hebat. Kepalaku sakit, berdenyut-denyut seperti dipukul palu berkali-kali. Aku bersin puluhan kali dalam sehari hingga rasanya aku ingin memilih pingsan saja daripada merasakan hidungku panas, merah dan mengembang sebesar tomat. Wajahku pun terasa berat dan tebal seperti gong yang dipukul pada seremoni pembukaan sebuah acara. Maka dari itu, agar aku tak menularkan virus menjengkelkan ini kepada seluruh penghuni rumah: kau dan sepasang anak kita, aku memilih menghabiskan waktu sakit ini dengan terus rebahan di ranjang dan tak membiarkan anak kita yang paling bungsu mendekat. Hanya tisu yang kian menggunung dalam keranjang sampah yang sengaja kau dekatkan di sisi tempat aku tidur menemaniku.
Namun, sekali lagi kukatakan aku terharu padamu. Aku senang kau bisa menangani pekerjaan rumah dengan baik. Kau mencuci dan menjemur pakaian. Kau menyapu dan mengepel lantai. Kau memasak untuk anak-anak. Bahkan kau membuat bubur untukku meski rasanya asin dan membuat keningku terpaksa ditahan untuk tidak mengerut. Ya, walaupun aku tidak benar-benar melihat langsung cara kerjamu menangani kesibukkan rumah tangga, hanya terdengar suara berisik barang-barang yang kaubereskan, monologmu atau sesekali kau menegur anak-anak kita, tapi itu sudah bisa dikatakan luar biasa. Aku benar-benar berterima kasih kepadamu.
Hanya saja aku betul-betul bosan bila seperti ini terus. Terlebih saat melihat hujan yang turun membuat jendela kaca di kamar berembun dan hawa dingin menjahiliku lagi. Memperparah pilek yang aku derita. Aku semakin tidak nyaman meski kau segera datang seraya membawa secangkir teh hangat untukku.
Sampai akhirnya aku benar-benar harus beranjak dari kamar ini saat anak pertama kita, tanpa sepengetahuanmu, masuk dan bercerita banyak hal kepadaku pada hari Minggu pagi yang dingin.
“Ma, kapan Mama sembuh, sih?” tanyanya. “Aku bosan dua hari ini makan mi rebus terus. Papa bilang, mi rebus adalah penyelamat buat orang-orang lapar. Jadi sebaiknya kita harus terus bersyukur dan berbahagia. Supaya Mama lekas sembuh.”
Antara lucu dan kasihan aku membelai rambut anak pertama kita. Lalu tanpa perlu menunggu lama sembari menguatkan diri, aku segera beranjak dari tempat tidur. Aku merasa punya alasan kuat untuk melawan pilek yang tak henti-hentinya menyerangku. Dan betapa kagetnya aku saat keluar kamar. Melihat betapa tidak rapinya rumah bila seorang istri yang merangkap ibu jatuh sakit meski baru dua hari saja. Barang-barang diletakkan ke tempat yang tidak semestinya, mainan anak-anak masih tercecer satu-dua di lantai, dan dapur tak mengilap seperti hari-hari biasanya. Aku langsung merasa lelah meski aku belum melakukan apa-apa.
Namun, sekali lagi aku harus berterima kasih padamu walau pekerjaanmu tak sesuai harapanku. Aku merasa ikut bertanggung jawab atas ketidakrapian ini. Setidaknya, aku harus belajar bagaimana seorang istri yang merangkap seorang ibu mampu bertahan menjaga kehangatan rumah meski dirinya sendiri sakit dan lemah.
“Kau sudah sembuh?” tanyamu ketika aku sedang memasak sup ayam.
“Aku rindu memasak sup ayam dan melihat kalian makan bersama,” jawabku seraya tersenyum.
- Payung
Di luar hujan turun deras. Aku mulai cemas. Sudah pukul satu siang. Kucoba meneleponmu untuk keempat kalinya, tapi tak kunjung kau angkat. Sinyal dan jaringan internet pun hilang timbul. Pesan yang kukirim di Whatsapp tak juga ceklis. Ah, aku mulai risau pada anak sulung kita. Ia pasti sudah menunggu lama sekali kedatanganmu. Tapi aku yakin tak mungkin ia bersikap lugu dengan berhujan-hujan ria di samping gerbang sekolah. Ia pasti berteduh agar tidak basah, aku coba berpikir positif. Bila saja ada yang menjaga anak bungsu kita, aku mungkin sudah pergi menjemputnya.
Lalu kau muncul dari pintu depan beberapa saat kemudian sambil melepas jas hujanmu yang berwarna biru terang. Aku buru-buru meletakkan si bungsu di karpet hangat dan bergegas menghampirimu.
“Lho, kau sendiri saja?”
“Iya. Hari ini hujannya deras betul. Jadi aku buru-buru pulang.”
“Terus yang jemput anak kita siapa?” Aku mulai panik sekaligus kesal padamu.
“Astaga! Aku lupa.”
“Ya, ampun! Bagaimana, sih, masa anak sendiri pun lupa.” Aku bersungut-sungut. “Aku sudah meneleponmu berkali-kali, tapi tak kau angkat. Ah, aku benar-benar cemas sekarang.” Aku memandang ke luar melalui pintu yang terbuka. Hujan masih mengguyur lebat.
“Aku tidak dengar dering ponsel. Suara hujan berisik mengguyur helmku. Sudahlah, dia akan baik-baik saja. Aku akan menjemputnya.”
“Cepatlah.”
Aku mendesakmu. Bila perlu kau tak usah pakai jas hujan lagi. Tapi tak kukatakan demikian karena nanti kau pasti akan balik kesal padaku. Jadi kubiarkan kau bersiap dulu.
Namun belum sempat kau mengeluarkan sepeda motormu lagi dan aku perlu mengatakan kau juga harus berhati-hati, tiba-tiba dari luar pagar anak sulung kita sudah berjalan dengan gembira bersama seorang temannya yang juga anak dari tetangga sebelah rumah kita. Mereka tampak riang berjalan di bawah guyuran hujan dinaungi sebuah payung biru bermotif bunga mawar merah. Tak peduli separuh tubuh ke bawah mereka sudah kuyup. Tampaknya yang penting bagi mereka adalah jangan sampai tas sekolah mereka basah.
“Kau sudah pulang,” kataku merasa lega.
“Iya, Ma. Bareng sama Luna. Kebetulan dia bawa payung dan belum dijemput juga. Jadi kami pulang bersama saja.”
“Syukurlah kalian sampai. Terima kasih ya, Luna.”
Aku berterima kasih kepada anak tetangga kita yang sudah mau menyisihkan ruang di bawah payungnya untuk anak kita. Padahal, dia tak akan sebasah itu bila sendirian. Aku akan menelepon ibunya untuk berterima kasih lagi.
“Ayo, lekas masuk!”
“Oh, iya, Ma. Besok belikan aku payung juga ya. Biar kalau hujan bisa tetap pulang walau belum dijemput. Kami tadi janjian.”
Aku berpikir, merasa malu dan mengangguk sebagai persetujuan perkataan anak sulung kita. Benar juga, di rumah ini, kita sama sekali tidak memiliki sebuah payung. Padahal payung adalah benda yang cocok di segala musim.
***
M.Z. Billal, lahir di Lirik, Indragiri Hulu, Riau. Menulis cerpen, cerita anak, dan puisi. Karyanya termakhtub dalam kumpulan puisi Bandara dan Laba-laba (2019, Dinas Kebudayaan Provinsi Bali ), Membaca Asap (2019), Antologi Cerpen Pasir Mencetak Jejak dan Biarlah Ombak Menghapusnya (2019) dan telah tersebar di media seperti Pikiran Rakyat, Rakyat Sumbar, Radar Mojokerto, Haluan Padang, Padang Ekspres, Riau Pos, apajake.id, Fajar Makassar, Banjarmasin Post, Magelang Ekspres, Radar Cirebon, Kedaulatan Rakyat, Lentera PGRI, Kurungbuka.com, Medan Pos, Radar Malang, Radar Tasikmalaya, Bangka Pos, Travesia.co.id, Radar Bekasi. Fiasko (2018) adalah novel pertamanya. Bergabung dengan Community Pena Terbang (COMPETER) dan Komunitas Pembatas Buku Jakarta.