Andai kata saya tak dilanda suatu kesepian yang menikam, mungkin, dan sangatlah mungkin, saya takkan menuliskan catatan semacam ini, catatan dalam bentuk sebuah percakapan. Akan tetapi, sebab saya dilanda suatu kesepian yang menikam, dan ingin sekali bercakap-cakap, maka saya pun membagi diri menjadi dua sosok: seorang yang bertanya (T) dan seorang yang berupaya menjawab (J). Di samping hal tersebut, di samping soalan yang agaknya sangat sentimentil tersebut, di samping soalan yang miris dan ironis tersebut, ada suatu dorongan (atau mungkin malah tarikan) di dalam diri saya untuk melanjutkan dan menindaklanjuti sebuah catatan pendek yang sempat saya tuliskan di beberapa tahun silam.
T: Saya sudah membaca catatan Anda. Catatan tersebut cukup menarik, dan mengusik, setidaknya, bagi saya pribadi. Adapun, dalam kesempatan ini, saya hendak membicarakannya kembali; dan semoga Anda berkenan. Maka, sebagai suatu mula: Menurut Anda, bagaimana cara menikmati puisi?
J: Sebelumnya, izinkanlah saya berkata, saya bukanlah pembaca yang ahli, meski pada titik tertentu juga tak layak disebut pula sebagai pembaca awam—seperti dalam buku-buku Ilmu Sastra yang sering saya baca karena suatu tuntutan. Jadi, semoga Anda mau dan juga bisa memaafkan. Adapun, bagi saya, membaca puisi itu seperti halnya memakan sebuah hidangan atau makanan; dan karenanya, dapatlah dinyatakan, menikmati puisi itu seperti halnya menikmati makanan.
T: Ah! begini, dapatkah Anda menjelaskan secara lebih lanjut dan juga secara lebih mendalam? Sebab, pernyataan barusan agaknya masih terasa dan tergambar di benak dengan bunyi: bila ada makanan, ya, makan saja.
J: Sederhananya memang begitu, meski saya yakin dan amat yakin bahwa itu tidaklah sesederhana itu; tetapi baiklah; bila menghendaki pernyataan tersebut diperpanjang-dipeluaskan atau diperdalamkan, maka akan saya lakukan sebisa-semampu saya. Jadi begini: Seorang yang hendak menikmati sebuah makanan mestilah tahu bagaimana cara makan; dan lebih jauh, mestilah tahu bagaimana cara memakan makanan tersebut agar terasa nikmat. Dan sekarang, ambilah contoh begini: Seorang memakan mi dengan memakai sumpit dan menikmati kuahnya dengan memakai sendok—atau bahkan: menyeruputnya langsung.
T: Dengan demikian, bukankah Anda menyarankan, bahkan malah mungkin cenderung menganjurkan, suatu pengolongan puisi?—menggolongkan jenis-jenisnya?
J: Apakah itu buruk? Atau, apakah itu baik? Saya belum tahu, dan masih mencari tahu. Akan tetapi, agaknya, hal tersebut cukup membantu. Meskipun, nantinya, dan sekali lagi, akan kembali pada soalan selera menikmati. Seorang bisa saja memakai sendok, garpu, pisau, atau sumpit, atau tangan kosong untuk menikmati makanan.
T: Apakah Anda berarti menyalahkan seorang yang makan bubur dengan memakai tangan kosong?
J: Salah atau benar, saya tak tahu; tetapi, bila tepat atau tidaknya soalan itu, agaknya, segera saja, saya akan berkata bahwa hal itu adalah suatu yang kurang tepat. Bukankah dari kasus yang Anda tanyakan tersebut, sangat mungkin, orang tersebut berkata bahwa sungguh sulit menikmati semangkuk bubur?
T: Baiklah, kembali lagi pada soalan; apakah ada suatu keharusan memakai “alat makan” selumrahnya dalam menikmati sebuah makanan atau hidangan?
J: Bisa ya dan bisa tidak. Bagi saya, yang dibesarkan oleh sepasang pedagang pasar tradisonal, menikmati nasi bungkus dengan tangan yang dibungkus plastik bening adalah suatu kenikmatan; sedang bagi orang lain, yang salah satunya adalah seorang yang berhasil mendidik seorang anak gadisnya menjadi penulis kenamaan, hal tersebut adalah hal yang salah dan tak tepat—bahkan bisa dihakimi, dan mungkin memang benar, dengan berkata: hal itu tak sehat.
T: Baiklah. Masih berkait dengan hal sebelumnya, apakah lantas seorang yang belum bisa makan sendiri mesti disuapi?
J: Saya kurang tahu pasti; tetapi, pandangan yang demikian itu dapatlah ditelusuri dari suatu ketakutan, ketakutan orang-orang di sekitarnya atas apa yang dinamai “keterceceran”; tetapi, lagi-lagi, siapa yang bisa makan dengan benar-benar baik? Dibandingkan dengan disuapi, agaknya, lebih baik seorang tadi belajar dan mencari ajar tentang bagaimana cara makan, atau bagaimana cara memakai sendok, garpu, atau sumpit, tentu, di samping mendayagunakan sepasang tangan semaksimal mungkin. Sendok dan lain-lain, agaknya, takkan banyak berguna tanpa tangan yang terampil. Di samping itu, tentu, orang yang sudah pandai atau terampil mesti hadir dan mau mengajarkan—cara memakainya, kan?
T: Lebih lanjut, apa Anda beranggapan bahwa seorang yang tak punya sendok-garpu, maupun sejenisnya, lantas tidak bisa menikmati? Sederhananya: haruskah mereka meminjam?
J: Manusia adalah kemungkinan, begitulah tulisan Arief Budiman seingat saya di bagian penutup buku yang berasal dari skripsinya. Manusia selalu punya cara; ambilah contoh: ranting menjadi sumpit atau ranting menjadi gagang satai, menjadi tusuk, daun-pisang menjadi sendok untuk menikmati bumbu sate, dan banyak cara lain. Tentu: “langsung makan” dengan mulut adalah juga opsi—meski bagi sebagian orang ada yang beranggapan bahwa itu kurang elok.
T: Anda mengumpamakan menikmati puisi dengan menikmati makanan; bahkan, Anda pun tadi sempat menyinggung tentang selera. Kini, soalan yang hendak saya tanyakan adalah: Apa Anda tidak khawatir dengan selera?
J: Selera itu ada, dan mungkin memang ada, tetapi seringkali saya, dan mungkin juga Anda, lupa tentang mencoba menikmati. Ambillah contoh: saat kanak, menikmati sayur terasa tak mungkin, dan tentu saja Anda tahu pernyataan barusan bukanlah murni hiperbola. Akan tetapi, berjalannya waktu, ada serangkaian hal dan serangkaian cara agar sayur itu bisa menjadi nikmat dan juga dinikmati. Meski begitu, kembali lagi pula bahwa orang lain tak bisa memaksa. Di samping itu, bagaimana masakan itu dimasak dan dihadirkan juga memberikan pengaruh agaknya.
T: Anda di awal memberikan umpama dengan makanan; apakah berlaku pula “nikmat ketika hangat” atau “lebih nikmat ketika dingin”?
J: Selumrahnya ya, tetapi saya mohon maaf sebab hingga kini belum dapat memberikan contoh—dan tentu, karenanya, pernyataan barusan dapat dan sangat mungkin diragukan. Karenanya, saya mohon maaf. Akan tetapi, di samping itu, ada kemungkinan pula, ada makanan yang dapat dinikmati dalam berbagai suasana dan kondisi bahkan kurun waktu yang panjang.
T: Apakah berlaku pula “makan bersama lebih nikmat” dalam soalan puisi?
J: Bila berpengaruh, dengan lekas, tentu, jawabnnya ya; tetapi, tak bisa serta merta. Mau tak mau, dalam soalan ini, saya dan Anda (saya masih ragu berkata: kita) mesti kembali kepada jenis. Ada makanan yang bisa dinikmati bersama dan ada pula makanan yang dapat dinikmati, dengan hanya, seorang diri saja. Meskipun, dalam kasus tertentu, makan bersama kekasih atau orang yang disayang akan menambah kenikmatan. Akan tetapi, rasanya, memakan sebuah permen takkan bisa dilakukan bersama, ya, kan?
T: Apakah kehigenisan “alat” dan diri si pembaca itu penting?
J: Tentu, tangan beroli atau berselimut tanah atau lumpur dapat mengurangi kenikmatan makanan, bukan?
T: Dari tadi, Anda menyatakan soalan menikmati sebagai sesuatu yang berkait rasa; apakah menikmati memang selalu berkait enak dan tidak?
J: Bisa ya dan bisa tidak. Apakah relatif? Agaknya tidak; yang hendak saya nyatakan adalah ada jenis-jenis tertentu. Bukankah ada makanan yang tidak enak tetapi dapat dinikmati dan terasa nikmat?—ektremnya: ada yang enak tetapi tidaklah nikmat. Saya hendak memberi contoh konkret, tetapi agaknya kepala saya sedang enggan diajak mencari contoh. Dan hal itu sudah cukup menunjukan kebodohan saya. Adapun, untuk itu, saya minta maaf. Di samping itu, semoga Anda terdorong mencari contoh-contohnya—sebab saya yakin sekali itu ada, dan memang ada.
T: Agaknya, perlu ke samping sejenak; dalam hal ini, dari tadi, Anda memberi jawaban dengan perumpamaan—bahkan saya sampai turut terbawa, dan ini menyebalkan. Tidakkah hal itu merepotkan orang lain nantinya?
J: Tentu. Ambillah contoh pernyataan Arief Budiman, yang kurang-lebih jadi begini bunyinya bahwa seorang bisa menikmati, bahkan paham dan lebih jauh lagi daripada itu, adalah bila ada kedekatan. Anda dapat membaca sebuah sajak atau puisi dan terasa dekat, bukankah itu suatu hal yang nikmat? Tentu, di lain sisi, di lain soalan lagi, si penyair juga mesti bisa dan mampu menghadirkan suatu kedekatan. Akan tetapi, dalam hal ini, dalam soalan ini, pembaca mestilah pintar-pintar menjalin kedekatan.
T: Baiklah. Kembali pada soalan awal. Lantas, bagaimana dengan jenis orang atau pembaca yang baru dapat menikmati setelah memahami?
J: Anda dapat memahami makanan? Ah! saya tahu, pertanyaan barusan hanya memancing olok-olok yang panjang—bagi diri saya sendiri tentunya. Meski demikian, dalam diri saya (dan mungkin juga Anda) ada keyakinan bahwa makanan ataupun puisi memang dapat dipahami. Sebab itu, ada baiknya saya bergeser sedikit. Jadi begini: Apabila Anda atau siapa saja tahu bahan-bahan dan cara pembuatan dari makanan, bukankah itu sedikit membuat Anda dapat dikatakan paham? Anggaplah begitu, meski nyatanya masih bisa dibantah. Di samping itu, dengan mengetahui cara memasak dan bahan-bahannya, dengan mengetahui sumber teks rujukan, referensi, dan hipogram, atau tentang cara pembacaan agaknya akan membuat Anda menjadi bisa menikmati sebuah puisi atau sajak.
T: Berkait menikmati, apa pembaca perlu memperhatikan sehat dan tidaknya makanan selain soalan rasa, selain soalan nikmat dan tidaknya?
J: Dalam hal ini, secara pribadi, akan lekas saya katakan bahwa itu tentu. Seorang dapat menikmati jajanan “bermicin”, tetapi seorang tak melulu butuh itu. Orang itu mesti paham bahwa ada makanan bergizi, meski “ngemil” bukanlah suatu “dosa” bila hanya sesekali.
T: Jadi, Anda mengamini jenis pembaca ahli?
J: Ya. Meski demikian, tiap pembaca mesti setidaknya mencari tahu sendiri. Bukankah makanan yang enak, dan sehat, adalah mesti dicari tahu sendiri? Anda tak dapat dengan serta-merta percaya kata orang bahwa makanan itu, bahwa makanan ini, adalah enak dan sehat tanpa membuktikan sendiri. Tentu, soalan kadar kesehatan ada ahlinya, tetapi mencari tahu tentang makanan yang sehat juga perlu—bahkan harus.
T: Ada puisi yang sehat tapi tak enak, katakanlah begitu, lantas bagaimana pendapat Anda?
J: Dibanding mengatakan ketidakenakan, bukankah pembaca mesti mencari cara bagaimana dan seperti apa untuk menikmatinya? Meski dalam kasus penciptaan, soalan ini dapat menjadi catatan si pengarang—ah, saya malah melebar. Bukankah menikmati obat dengan memakannya dengan pisang adalah salah satu opsi? Meski demikian, memang ada, dan tentu memang ada, makanan yang tidak enak; dan ketakenakan itu dari banyak “lidah” yang telah “mengicipinya”.
T: Bukankah itu menjadi “tak murni”
J: Ah! berkait itu, saya masih belum tahu—dan sangatlah mungkin bahwa saya sedang melakukan kesalahan pula.
T: Apakah jawaban dan tanggapan Anda adalah sesuatu yang mutlak?
J: Tentu tidak; dan agaknya memang tidak. Saya sudah mengatakan di awal tadi, di samping semacam jawaban atas tanya Anda, bahwa jawaban saya sangat subjektif—dan samar pertanggungjawabannya.
T: Dari tadi, Anda menyatakan tentang Arief Budiman—dan bukunya Chairil: Sebuah Pertemuan—tidakkah Anda luput pada suatu hal?
J: Ya, saya sadar. Amat sadar malah. Agaknya, saya masih melakukan pembacaan di mana saya menjadikan puisi atau sajak sebagai objek mati, dan bukannya subjek yang hidup. Maka dari itu, saya akan kembali membaca dan mencari tahu.
T: Kalau begitu, ada baiknya percakapan ini disudahi.
J: Baiklah. Saya setuju-setuju saja.
T: Ada penutup dari Anda yang kesepian?
J: Semoga tidak ada kelaparan—meski ini dunia muram.
(2020—2022)
Polanco S. Achri lahir di Yogyakarta, Juli 1998; menetap pula di kota tersebut. Seorang lulusan jurusan sastra yang dipaksa nasib untuk jadi seorang pengajar di sebuah SMK. Menulis prosa-fiksi dan drama, serta esai dan puisi. Beberapa tulisan tersiar di media cetak maupun daring.