Oleh: Usman Didi Khamdani

“If you repeat a lie often enough, it becomes accepted as truth.” (Joseph Goebbels)

Hoax menyebar demikian pesatnya. Seperti virus corona yang kemudian mewujud pandemi. Jika di awal-awal, melalui internet, hoax hanya beredar melalui forum ke forum, maka sekarang, dengan adanya jaringan percakapan online (chatting) dan pesatnya perkembangan sosial media, penyebarannya kian masif.

Ketidakhati-hatian dan kegegabahan kita menjadi penyebab utama mewabahnya hoax. Baik dalam rangka ikut menyebarkan hoax ataupun menciptakan hoax itu sendiri.

Kebenaran yang Berubah Menjadi Hoax

Tidak semua hoax awalnya adalah hoax. Terkadang informasi yang awalnya benar bisa kemudian salah. Misalnya, sebuah informasi yang ditujukan untuk kalangan terbatas, tidaklah hadir sebagai hoax.

Dalam arti informasi tersebut memang benar adanya namun sifat atau ruang lingkupnya terbatas, yang sebenarnya tidak untuk disebarluaskan. Namun, informasi yang terbatas tersebut, kemudian ternyata diteruskan ke khalayak umum, yang kemudian menjadi viral. Parahnya, dalam banyak kasus, informasi yang ada seringkali dibumbui atau dikemas dengan narasi yang tidak semestinya.

ilustrasi: 9gag.com/gag/4015509

Contoh lain kebenaran yang kemudian dimanipulasi sebagai hoax, adalah penyampaian informasi dan berita yang sepotong-potong, dan tidak jarang juga dikolasekan dengan potongan-potongan informasi lain, yang pada kondisinya, pesan yang tersampaikan akan berubah 180 derajat dengan fakta aslinya. Jenis hoax yang seperti ini biasanya adalah hoax yang dibuat oleh media massa dan buzzer sebagai upaya untuk menggiring opini publik.

Hoax dari Masa ke Masa

Hoax, dikutip dari ensiklopedia Britannica, merupakan suatu kebohongan yang dimaksudkan untuk mengelabui dan menarik perhatian. Hoax seringkali merupakan parodi dari beberapa kejadian atau sebuah permainan topik pemberitaan. Hoax media adalah salah satu jenis yang paling umum.

Hoax atau cerita bohong sebenarnya bukan hal baru lagi. Kita mungkin masih ingat cerita masa kecil tentang seorang penggembala, yang karena iseng kemudian membuat hoax kepada para penduduk desa. Dia berteriak-teriak meminta tolong jika domba-domba yang sedang digembalakannya diserang serigala.

Teriakan itu pun didengar oleh beberapa warga desa dan dengan cepat menyebar ke warga lainnya. Namun ketika kemudian warga desa beramai-ramai datang untuk menolongnya, dia justeru menertawakan mereka yang telah ditipunya.

Ia pun mengulanginya dan untuk kedua kalinya warga desapun datang. Namun, ketika ia mengulangi teriakan minta tolongnya, tidak ada warga pun yang datang, padahal saat itu serigala benar-benar menghampiri.

Hoax memang telah ada sejak dahulu kala.

Hoax yang tercatat atau disebarkan melalui media massa, sebagaimana disebutkan Britannica, sudah muncul dan berkembang sejak tahun 1600-an, seiring muncul dan berkembangnya media cetak.

Sifat penyebaran berita dan pengumpulan informasi kala itu, membuat hoax dengan mudah berkembang. Dalam banyak hal, informasi disajikan tanpa disertai komentar. Pembaca dibiarkan menentukan sendiri kebenarannya. Toh, banyak hal yang diklaim sebagai sesuatu yang ilmiah, bagaimanapun, dibangun di atas spekulasi, bukan berdasarkan penyelidikan ilmiah.

Seperti misalnya ketika Benjamin Franklin, melaporkan dalam Pennsylvania Gazette edisi 17 Oktober 1745, bahwa obat yang terbuat dari zat yang disebut “Batu Cina” dapat menyembuhkan rabies, kanker, dan sejumlah penyakit lainnya, verifikasi potensi obat didasarkan pada kesaksian pribadi. Namun, kemudian terungkap bahwa batu-batu itu terbuat dari tanduk rusa dan tidak mengandung nilai obat.

Hoax-hoax serupa terus beredar sebagai berita atau dalam iklan obat-obatan, hingga kemudian di awal abad ke-20 pemerintah Amerika Serikat membentuk Badan Pengawas Obat dan Makanan guna membatasinya.

Di Indonesia sendiri hoax telah muncul sejak lama. Keberhasilan politik Devide et Impera penjajah untuk memecah belah bangsa ini salah satunya dengan cara menebar hoax.

Dan di masa sekarang, dengan hadirnya internet yang memberikan kebebasan yang tanpa batas bagi penggunanya, memberikan ruang pula kepada hoax untuk kembali menjamur dan mewabah dengan subur.

Memutus Rantai Penyebaran Hoax

Hoax, sebagaimana wabah corona, tidak akan menyebar tanpa ada yang ikut menyebarkannya. Ibarat tanaman, hoax akan tumbuh subur jika ada yang memberinya pupuk dan menyiraminya.

Sayangnya, banyak dari kita yang tidak selektif dalam menerima informasi, bahkan, alih-alih menelusurinya, kita seringkali dengan begitu saja, latah menyebarkannya kemana-mana.

Ya, hanya ada satu cara untuk memutus rantai penyebaran hoax, yaitu oleh kita sendiri.

Terkadang sebuah informasi memang samar apakah itu benar atau hanya sebuah hoax. Terlebih informasi itu kita dapatkan dari orang yang cukup dekat dengan kita, atau kita dapatkan dari grup percakapan di mana anggota-anggotanya, semuanya atau banyak yang kita kenal.

Dengan kemajuan internet, sebenarnya untuk melacak sebuah informasi apakah benar atau tidak, cukup mudah. Salah satunya dengan memanfaatkan mesin penelusur semacam Google.

Cukup menyalin teks informasi yang kita dapatkan dan memasukkannya sebagai kata kunci penelusuran.

Maka Google pun akan memaparkan semua hasil penelusurannya, yang dalam banyak kasus hoax, Google akan menampilkan pula berbagai bantahannya.

Atau jika informasi yang kita terima berupa gambar atau video, kita pun masih bisa menelusurinya lewat Google dengan memasukkan kata kunci yang berkaitan dengan konteks yang ada pada gambar atau video yang kita terima, atau dengan mengunggah gambar dan screenshoot video melalui halaman Google Images atau melalui aplikasi Google Lens di ponsel kita.

penelusuran gambar dengan aplikasi Google Lens | dokpri

Setelah kita mengetahui kebenarannya, bahwa informasi yang ada ternyata adalah hoax, untuk memutus rantai penyebarannya, kita pun mesti menyampaikannya kepada yang mengirimkan informasi, atau membalasnya dalam grup. Sebagai Kompasianer, kita pun dapat menuliskan temuan kita, sebagai edukasi yang lebih luas kepada masyarakat.

Tapi kita hanya memutus rantainya di grup kita sendiri, atau di diri kita sendiri?

Sama seperti memadamkan api yang membakar sebuah gedung, mungkin sangat mustahil jika kita melakukannya seorang diri. Tapi setidaknya kita telah melakukan apa yang bisa kita lakukan. Sambil berharap, orang lain pun melakukannya.

Jika orang lain tidak melakukannya juga dan malah semakin banyak orang di luar sana ikut menyebarkan hoax yang ada?

Setidaknya, sekali lagi, kita dan atau orang-orang di sekitar kita, terhindar dari hoax tersebut. Kita telah berusaha untuk memutus rantainya agar tidak menjerat kita dan orang-orang di sekitar kita.

Sebagaimana yang dikatakan Joseph Goebbels, salah satu petinggi NAZI yang mempercayai propaganda kebohongan sebagai senjata utama untuk mengalahkan musuh, bahwa kebohongan yang terus diulang-ulang, akan dapat diterima sebagai kebenaran.

Dalam hal ini hoax yang terus disebarkan, kebohongan-kebohongan yang terus disebarkan melalui berita dan pesan hoax, akan dapat menjadi “kebenaran” yang justeru akan mengancam dan menjerat kita sendiri, menjerumuskan kita sendiri.

Salam.

* tulisan ini telah ditayangkan sebelumnya di Kompasiana dengan judul yang sama pada 15 September 2021

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *