
Puisi puisi Iis Singgih berhasil tayang di Jurnal online mbludus.com. Penyair yang lahir, dan besar di kota Malang – Jawa Timur ini dikenal sebagai Penulis buku “Doa Burung-Burung Urban”. Ia aktif di komunitas GENITRI, sekaligus pendiri rumah belajar Cemerlang, serta rajin mengirimkan karyanya ke media online maupun offline [1].
Satu diantara puisi karya Penyair Iis Singgih yang telah membetot minat Penulis sebagai penikmat puisi, adalah puisi berjudul /Mantra/. Membaca kata “mantra” tentu bagi sebagian penggemar sastra khususnya puisi serasa tidak asing, sebab mantra merupakan khasanah kekayaan sastra lama di Nusantara, baik lisan maupun tulisan. Hampir setiap suku bangsa biasanya mempunyai mantra khas sesuai dengan adat istiadat dan tradisi masing masing.
Untuk khasanah sastra baru, khususnya puisi pasca kemerdekaan, kata mantra pertama kali masuk ke ranah Puisi kontemporer pada tahun 1970-an, sepertinya diusung oleh Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri, dengan guritannya yang terbit di Majalah Sastra Horison pada tahun 1970, berjudul Mantera, puisinya seperti di bawah ini [2].
MANTERA
lima percik mawar
tujuh sayap merpati
sesayat langit perih
dicabik puncak gunung
sebelas duri sepi
dalam dupa rupa
tiga menyan luka
mengasapi duka
puu…… aah!
kau jadi Kau!
Kasihku
1970
Apakah puisi Sutardji Calzoum Bachri (Sutardji CH) termasuk mantra? Ternyata jawabannya ada beberapa sudut pandang seperti yang disampaikan oleh Jiwa Atmaja (2014) tentang pendapat para pakar, misalnya bahwa puisi Sutardji CH yang berjudul Mantera bukanlah mantra yang sebenar benarnya mantra, tetapi puisi yang bergaya mantra, sebab Sutardji CH adalah penyair, bukan dukun atau pun tokoh spiritual yang biasanya akrab dengan mantra [3].
Kata mantra sendiri menurut KBBI memiliki dua arti, yaitu [4]:
- Perkataan atau ucapan yang memiliki kekuatan gaib.
- Susunan kata berunsur puisi yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain.
Kritikus sastra Maman S. Mahayana menyampaikan bahwa mantra itu ajaib, bisa sakral dan hanya dipunyai oleh orang-orang khusus, namun boleh juga menjadi milik umum [5].
Sedangkan menurut Alexander Berzin yang mengacu pada laku Buddha, mantra merupakan kata dan atau suku kata yang dibaca berulang ulang untuk membantu agar pembaca bisa fokus pada cita yang bermanfaat, dan melindunginya dari hal hal negatif [6].
Adapun puisi /MANTRA/ gubahan Penyair Iis Singgih sudah termasuk kategori mantra, atau kah puisi bergaya mantra?, Jawabannya akan didapat setelah menelusuri baris demi baris sampai habis. Ada pun puisinya seperti di bawah ini [7].
MANTRA
/1
Dan di keping-keping doa
harapku selalu kuyup
mengumpan Tuhan
dengan bujuk rayu
Untuk kesekian kalinya
kau diam tanpa tahu
mengapa harus diam
Padahal angin …
masih sangat lembut
meniup-niup kepalamu
2/
Jam setengah satu
mantra pecah di hening malam
memamerkan kekuatan
bertukar rupa
Oooh, cukup, cukup sudah!
tak ada lagi sunyi
Malam ini gerimis doaku
begitu sejuk menepuk
kau yang sedang tersenyum
dalam sedu
Tiba-tiba …
aku kembali
menemukanmu/
Lawang, 2023
MEMINDAI MANTRA DI PUISI MANTRA
Menikmati puisi guritan penyair Iis Singgih bisa diawali dari memindai judulnya yang mengarah pada sastra lama Nusantara. Sebagaimana yang telah diuraikan serba sedikit tentang mantra di atas, dapat diketahui bahwa berbagai pendapat tentang mantra telah di sampaikan oleh para pakar sastra. Hal menarik mengatakan bahwa mantra mempunyai sisi gaib yang individualis, sekali gus ada yang bersifat publik terjangkau oleh masyarakat umum.
Disamping itu terkait puisi kekinian yang digubah untuk keperluan agar bisa menjadi mantra, ternyata, ada pakar yang tidak sependapat bahwa hal ini bisa benar benar terjadi, tetapi hanya sebatas kepada puisi yang bergaya mirip mantra, meski itu karya Sutardji CH sekali pun.
Seperti pertanyaan terdahulu, bagaimana dengan puisi penyair Iis Singgih, termasuk kategori mantra atau bagaimana? Untuk menjawabnya, perlu penelaahan dan sekaligus giat penikmatan puisi tersebut.
Ada pun langkah awal penikmatan puisi adalah memberi nomor pada bait, dan baris puisi, agar puisi lebih mudah untuk dinikmati dan ditelaah, sehingga ditulis menjadi seperti di bawah ini.
MANTRA
/1
1.1.
Dan di keping-keping doa (1)
harapku selalu kuyup (2)
mengumpan Tuhan (3)
dengan bujuk rayu (4)
1.2.
Untuk kesekian kalinya (1)
kau diam tanpa tahu (2)
mengapa harus diam (3)
1.3.
Padahal angin … (1)
masih sangat lembut (2)
meniup-niup kepalamu (3)
2
2.1.
Jam setengah satu (1)
mantra pecah di hening malam (2)
memamerkan kekuatan (3)
bertukar rupa (4)
2.2.
Oooh, cukup, cukup sudah! (1)
tak ada lagi sunyi (2)
2.3.
Malam ini gerimis doaku (1)
begitu sejuk menepuk (2)
kau yang sedang tersenyum (3)
dalam sedu (4)
2.4.
Tiba-tiba …(1)
aku kembali (2)
menemukanmu (3)/
Lawang, 2023
Puisi /MANTRA/ karya penyair Iis Singgih terdiri dari 2 bagian, masing masing terdiri dari beberapa bait dan beberapa baris. Untuk bagian 1, bait 1.1, baris (1) menyodorkan tokoh /ku/ lirik yang diawali dengan ungkapan /Dan di keping-keping doa (1)/. Diteruskan dengan /harapku selalu kuyup (2)/, /mengumpan Tuhan (3)/, dan /dengan bujuk rayu (4).
Di bait 1.1 bagian 1 seluruh barisnya belum beraroma mantra, tetapi lebih kepada ungkapan doa dan harapan pada Tuhan dari tokoh /ku/ lirik. Meskipun demikian, ada yang bilang bahwa Penyair atau penggubah puisi mempunyai hak penuh atas puisi karyanya, akan diberi judul apa. Sedangkan Si Penikmat puisi hanya berusaha mencari tahu dengan mengajukan pertanyaan, misalnya:
“Kira kira apa rahasianya, sampai puisi ini diberi judul mantra?”.
Apabila dikaitkan dengan beberapa pengertian mantra seperti yang telah diuraikan di atas, baris tersebut belum ada tanda tanda memasuki kata atau pun suku kata yang bisa menimbulkan kekuatan gaib maupun efek non-alamiah ketika dibaca, terlebih Sang Penyairnya pun tidak memperkenalkan dirinya sebagai dukun, atau pun pelaku spiritual sebagaimana tokoh yang biasa dihubungkan dengan keakraban bersama mantra.
Oleh karena itu, setelah baris baris tersebut dinikmati sekilas, fokus penikmatan puisinya akan bergeser dari yang semula menduga puisi besutan Penyair Iis Singgih ini benar benar mantra, atau minimal puisi bergaya mantra, ternyata penikmatannya menjadi lebih terasa ke arah narasi maupun deskripsi puitis tentang adanya mantra, bukan mantra itu sendiri, atau pun bukan juga puisi yang bergaya mantra. Maka penikmatan puisi pun berlanjut dengan pertanyaan:
“Siapakah tokoh /ku/ lirik ini?, Apakah bisa dianggap mewakili penyair, atau kah orang lain yang dipotret melalui diksi aku?”
Untuk menjawabnya tentu informasi lebih lanjut perlu diperoleh dari baris di bait berikutnya, yaitu: /Untuk kesekian kalinya (1)/, /kau diam tanpa tahu (2)/, dan /mengapa harus diam (3)/.
Bait 1.2. berisi 3 baris menyodorkan tokoh /kau/ lirik yang cenderung diam tanpa alasan.
“Siapakah tokoh /kau/ lirik ini?”
Ternyata untuk menjawabnya juga masih memerlukan keterangan dari bait berikutnya, yaitu bait 1.3: /Padahal angin … (1)/, masih sangat lembut (2), dan /meniup-niup kepalamu (3)/.
Bait 1.3 menyodorkan tokoh baru lagi yaitu /mu/ lirik. Sehingga dapat diketahui bahwa tokoh lirik yang telah ditayangkan oleh Penyair adalah tokoh: /ku/, / kau/ dan /mu/.
“Bagaimana hubungan antar tokoh tersebut?”
“Apakah merupakan personil yang berbeda, ataukah personifikasi dari satu orang yang sama, hanya berbeda peran?”
Di sinilah mulai terjadi misteri yang menantang untuk dikuliti sampai diksi paling akhir, agar misterinya terkuak terang benderang. Untuk itu, baiklah, akan diteruskan telusur nikmatnya ke bagian ke 2.
Bagian 2 terdiri dari 4 bait. Bait 2.1 memberikan informasi tentang adanya mantra yang pecah. Hal ini terungkap dalam baris dengan sajak sebagai berikut: /Jam setengah satu (1)/, /mantra pecah di hening malam (2), memamerkan kekuatan (3), dan bertukar rupa (4). Pecahnya mantra terjadi di dini hari, sambil unjuk kekuatan, yakni bertukar rupa.
Dari penyampaian baris (1) sampai dengan baris (4) ini, patut diperkirakan bahwa tidak ada informasi yang disampaikan, misalnya bunyi mantra dan rupa akhirnya seperti apa, atau pun tulisan mantranya bagaimana?
Hampir semua informasinya berpotensi masih tersimpan di dalam pikiran penyair.
Jawaban pertanyaan ini memerlukan telusur lanjut pada bait 2.2, yang tertulis sebagai berikut: /Oooh, cukup, cukup sudah! (1)/, dan tak ada lagi sunyi (2).
Di bait 2.2. ini terasa ungkapannya terpenggal dari bait sebelumnya, atau memang sengaja dibuat putus putus, agar terkesan ada suatu misteri pada masing masing diksi di seluruh bait. Sehingga diperlukan pendekatan intertekstual antar bait, agar mampu menguak misteri di bait bait puisi lebih dalam lagi [8].
Penikmatan pun berlanjut pada bait 2.3 yang barisnya berisi sajak berikut ini: /Malam ini gerimis doaku (1)/, /begitu sejuk menepuk (2), /kau yang sedang tersenyum (3)/, dan /dalam sedu (4)/. Dari bagian 1 sampai dengan bagian 2 di baris (4) bait 2.3 di puisi ini belum juga ditemukan kata atau pun suku kata yang beraroma mantra. Hampir bisa diperkirakan bahwa bait baitnya merupakan rangkaian doa dari tokoh /ku/ lirik untuk tokoh /mu/ dan atau untuk tokoh /kau/ lirik.
Di sini pertanyaan yang sama dengan sebelumnya pun muncul kembali, yaitu:
“Bagaimana hubungan antar tokoh tersebut?”
“Apakah merupakan personil yang berbeda, ataukah personifikasi dari satu orang yang sama, hanya berbeda peran?”
Sebagai bahan jawaban, penikmatan diteruskan ke bagian 2 di bait terakhir 2.4, yaitu:
/Tiba-tiba …(1)/, /aku kembali (2)/, /menemukanmu (3)/. Ungkapan di bait 2.4 di masing masing baris, secara keseluruhan terasa adanya pengakuan dari tokoh /ku/ lirik yang berhasil menemukan kembali tokoh /mu/ lirik.
Perjalanan penikmatan dari judul, batang tubuh puisi bagian 1 sampai dengan bagian 2 baris terakhir, mengisyaratkan adanya hubungan yang begitu dekat antara tokoh lirik: /ku/, /kau/, /mu/, dan /aku/ sampai sampai adanya ungkapan:
/keping-keping doa/, /mengapa harus diam/, /meniup-niup kepalamu/, / mantra pecah/, /Oooh, cukup/, /gerimis doaku/, sedang tersenyum, dan /menemukanmu/.
Ungkapan tersebut bisa menjadi semacam isyarat bahwa tokoh lirik: /ku/, /kau/, /mu/, dan /aku/ memang sangat saling mengenal antara satu dengan yang lainnya.
Jika ungkapan ungkapan ini diurutkan menjadi kalimat, dan disisipkan kata yang tepat, akan berpotensi menemukan hubungan antara tokoh lirik: /ku/, /kau/, /mu/, dan /aku/.
Adapun permisalan kalimat hasil sisipan kata tersebut adalah:
Dan di keping-keping doa (1), harapku selalu kuyup (2), ketika mengumpan Tuhan (3)dengan bujuk rayu (4). Dan Untuk kesekian kalinya (1)kau diam tanpa tahu (2) mengapa harus diam (3)?. Tanyaku pada diri sendiri di dalam hati, Padahal angin … (1) masih sangat lembut (2) meniup-niup kepalamu (3).
Tatkala tepat Jam setengah satu (1) mantra pecah di hening malam (2), memamerkan kekuatan (3, dan bertukar rupa (4). Aku pun terhenyak dan sedikit menghardik: “Oooh, cukup, cukup sudah! (1), tak ada lagi sunyi (2). Malam ini gerimis doaku (1) untuk diriku sendiri terasa begitu sejuk menepuk (2) kau diriku yang sedang tersenyum (3) dalam sedu (4). Dalam doa Tiba-tiba …(1) aku kembali (2) menemukanmu (3) wahai diriku sendiri.
Jika rangkaian kalimat di atas bisa dipandang sebagai usaha mencari petunjuk untuk menemukan jawaban atas pertanyaan:
“Bagaimana hubungan antar tokoh lirik: /ku/, /kau/, /mu/, dan /aku/?”
“Apakah merupakan personil yang berbeda, ataukah personifikasi dari satu orang yang sama, hanya berbeda peran?”
Maka jawabannya dapat dikatakan bahwa sejatinya mereka berpotensi sebagai satu orang yang sama, yaitu semuanya adalah /aku/ diri sendiri, hanya berbeda peran ketika berganti sebagai tokoh lirik: /ku/, /kau/, /mu/, dan /aku/, padahal: aku adalah: kau, mu, sekali gus ku. Bisa jadi semua tokoh lirik ini mewakili personifikasi diri Sang Penyair sendiri.
PUISI TENTANG MANTRA, DAN BUKAN PUISI MANTRA
Dari telusur penikmatan puisi besutan Penyair Iis Singgih di atas, dapat dikatakan bahwa puisi yang berjudul /Mantra/ , memang tiada beraroma mantra, dan tidak juga mendekati puisi mantra, tetapi lebih kepada ungkapan tentang adanya mantra yang pecah di malam yang hening. Wujud mantranya seperti apa tidak diberikan informasi, meski hanya sekilas sekali pun, misalnya mantra tulisan, atau pun suara.
Di semua bait puisi sampai di baris terakhir puisi yang berjudul /Mantra/ guritan Penyair Iis Singgih tidak ditemukan gejala adanya keterangan rasa, logika maupun makna yang bisa digali untuk memperoleh tanda tanda adanya mantra.
Namun demikian bisa juga dengan cara pembacaan dideras berulang ulang pada masing masing bait dan baris, akan berpotensi menimbulkan suasana mistis spiritualis yang serupa dengan pembacaan mantra.
Selamat mencoba, jika diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA
- —, 2024, Puisi-Puisi Iis Singgih, mbludus,com. https://mbludus.com/puisi-puisi-iis-singgih/
- —, —, Puisi: Mantera (Karya Sutardji Calzoum Bachri), Sepenuhnya.https://www.sepenuhnya.com/2018/11/puisi-mantera.html
- Jiwa Atmaja, 2014, Membaca Kembali Sutardji Calzoum Bachri: Rekonstruksi Tanggapan Pembaca Atas “Puisi Yang Mantra”, PUSTAKA, Jurnal Ilmu ilmu Budaya, Volume XIV, No. 1, Februari 2014, Unit Penerbitan Fakultas Sastra Unud
- Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Kamus versi online/daring (dalam jaringan) https://kbbi.web.id/mantra
- Maman S. Mahayana, 2022 , Sihir Mantra, Antara Sakralitas dan Profanitas, DIVA Press ISBN: 978-623-293-717-8, Jogjakarta
- Alexander Berzin, —, Apa Itu Mantra?, Study Buddhism https://studybuddhism.com/id/buddhisme-tibet/tantra/tantra-buddha/apa-itu-mantra
- Iis Singgih, 2024, MANTRA, mbludus.com, https://mbludus.com/puisi-puisi-iis-singgih/
- Sari Wahyu Utami, 2017, Analisis Intertekstual Puisi Berjudul Dans L’ombre (1870) Karya Victor Hugo Dan Puisi Berjudul Le Déluge (1874) Karya Louise Ackermann, Skrisi Program Studi Pendidikan Bahasa Prancis Fakultas Bahasa Dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta, http://eprints.uny.ac.id/51120/1/SKRIPSI%20%20SARI.pdf
Penulis: Kek Atek
Penikmat Puisi tinggal di Rumpin, Kab. Bogor, Jawa Barat, Indonesia.
Pegiat Komunitas Dapoer Sastra Tjisaoek