Amir Hamzah
(Segi Yang Belum Diungkap)

Nh. Dini

Pengantar

Di tahun 1980, Majalah Femina meminta saya untuk menulis riwayat hidup penyair Amir Hamzah. Untuk keperluan itu, saya diarahkan untuk bertemu  dengan anak penyair tersebut di Medan, namanya Tengku Tahura Usman. Dialah yang akan menjadi narasumber utama dalam tugas saya.

Sebelum meninggalkan Jakarta, saya datang ke kantor Pak Takdir Alisyahbana. Konon dia selalu dikunjungi oleh Tahura di waktu datang ke Jakarta, Maka saya mengharapkan akan mendapat tambahan kesaksian mengenai penyair terkenal itu. Atau sekurang-kurangnya Pak Takdir bisa memberikan bayangan pertanyaan apa saja yang akan dapat saya ajukan kepada puteri Amir Hamzah kelak.

[iklan]

Ketika menyambut saya, kalimat pertama yang diucapkan Pak Takdir ialah:

“Dini tahu? Syair-syair Amir yang bersifat pemujaan itu sesungguhnya tidak ditujukan kepada Tuhan, melainkan kepada seorang gadis Sala yang bernama Ilik Sundari……”

Di waktu itulah untuk pertama-kalinya saya mendengar nama tersebut. Lalu seterusnya, ketika bertemu dengan Tengku Tahura sampai akhir wawancara-wawancara bersama dia, kemudian saya mulai menemui orang-orang yang dulu pernah mengenal dan bergaul dengan Amir, hingga menyelesaikan biografi penyair itu, nama Ilik tidak pernah lepas dari keseharian saya.

Sebagai Pria Penyair

Saya bongkar catatan dan rekaman hasil wawancara dengan para narasumber. Beberapa nama diberikan oleh Pak Takdir dan Redaksi Femina, sedangkan lain-lainnya dianjurkan oleh para narasumber yang sudah saya temui. Tapi kesaksian yang paling penting berasal dari Tahura sebagai putri Sang Penyair.

Semakin saya menelaah catatan-catatan yang saya peroleh, kemudian membaca dan membaca lagi semua syair-syair Amir, semakin saya menyadari kebenaran kata-kata Pak Takdir. Pasti Amir juga bersujud kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Namun kebenaran yang lain ialah Penyair yang sedang jatuh cinta tentulah menggunakan kosakata dan istilah bahasa orang yang dicinta. Dan yang penting diketahui ialah kata-kata tersebut barulah muncul ketika Amir berada di Sala dan bertemu serta sering bersama dengan Ilik Sundari.

Bagai padi tak jadi rebah –  lemah gemelai dituntun angin – langkah kecil berkebaya lurik – bertapih Sala –berkasut tinggi……”

         “ ……….sekali berpandangan bertukar senyum –  naik murup dada berahi…..”

Amir tidak menggunakan kata “dibimbing”, melainkan  dituntun. Begitu pula perkataan  kebaya, lurik, tapih. Dia tidak menggunakan nama kota Solo, melainkan Sala. Lalu perkataan murup juga bahasa Jawa berarti menyala.

Kesaksian para murid AMS di tahun-tahun masa sekolah Amir Hamzah di Surakarta semakin membuktikan bahwa dia dan Ilik merupakan dua sejoili yang amat sering kelihatan bersama-sama. Foto-toto juga menjadi saksi betapa wajah Ilik selalu cerah, penuh senyum hingga menyebabkan  naik murup dada, artinya  dada Amir menyala….

Tapi bukti foto juga menunjukkan[1], bahwa ketika mereka harus berpisah karena Amir dipanggil pulang ke Langkat untuk dinikahkan dengan puteri Sultan, senyum menghilang di wajah Ilik Sundari.

Sebagai Pejuang Kesatuan Bangsa

Lahir pada tanggal 28 Pebruari seratus tahun lalu, Amir Hamzah adalah putra bungsu Putri Mahjiwa dan Pangeran Adil dari Binjai, Langkat Hulu, saudara Sultan Langkat. Sedari kanak-kanak, dia berada di lingkungan pengguna bahasa Melayu yang kaya dengan Kesusastraan-nya. Dengan sendirinya, Bahasa Ibu itulah yang dia hayati hingga nuraninya,

Masa  sekolah di kota tempat tinggal orangtuanya, lalu dilanjutkan di Medan merupakan awal dasar pendidikan resminya sebagai seorang keturunan bangsawan. Namun pendidikan itu belum menyentuh pembentukan karakter atau jiwa berkebangsaan Amir. Barangkali bisa dikatakan “untunglah” , karena Ayahanda Amir mempunyai gagasan ‘meningkatkan daya intelek atau kecerdasan’ putra yang dia anggap paling menaruh perhatian kepada perbendaharaan Perpustakaan dalam rumah beliau. Caranya ialah mengirim sang putra meneruskan menuntut ilmu (tingkat SLTP) ke  pusat pemerintahan di masa itu, ialah kota Batavia/Betawi, di pulau Jawa.

Di masa itu, perantauan ke lain tempat, lebih-lebih lain pulau merupakan alasan bersedih hati yang disertai kekawatiran. Orang selalu cemas menghadapi ketidak-tentuan. Demikian pula Amir yang berusia belasan tahun. Dia harus berpisah dengan keluarga, terutama Ibunda-nya. Namun dia menyadari bahwa dirinya adalah orang yang sangat beruntung karena dapat mengecap taraf pendidikan formal hingga sejauh itu.

Setelah menghirup nafas lingkungan siswa-siswi setingkat maupun lebih tinggi di  Mulo/SLTP, ditambah pergaulan kaum muda serumpun ataupun lain suku di  Betawi, jiwa Amir merekah perlahan, nurani kebangsaannya  berangsur-angsur membuka kelopak perlahan-lahan. Serbuk sari dan kedalaman kuntum  bersiap-siap akan menjadi benih semangat berbangsa, namun masih membutuhkan pembuahan yang sempurna.

Berlanjut dengan masa liburan Amir, kembali ke kampung halamannya. Di masa kecil hingga usia pra-remaja dia memang terkenal sebagai Pangeran dan teman yang dermawan di lingkungannya. Dia sering membayari makanan atau utang lingkungannya. Namun sewaktu sudah bersekolah di Betawi, Amir melihat Langkat dan sekitarnya dengan mata hati yang lebih luas: dia melihat rakyat, seluruh penduduk yang tidak memanfaatkan hasil sumber minyak. Amir menyaksikan ketidak-adilan pembagian mata pencarian di kampung-kampung, di luar kelompok para pegawai di kantor-kantor Pemerintah jajahan

Namun kesadaran terhadap lingkungan lebih luas tersebut masih berbentuk samar-samar. Juga belum menyatu dengan kesadaran berkebangsaan secara mendalam.

Untunglah sekali lagi Ayahandanya mempunyai gagasan istimewa, ialah mengirim Putranda kembali ke pulau Jawa untuk meneruskan studinya. Kali itu ke sebuah sekolah lanjutan tingkatan MULO/SLTP, ialah AMS di Surakarta, sebuah kota di Jawa Tengah yang juga disebut Solo. Kali itu Amir meninggalkan pulau Perca dengan hati  lebih ringan. Dia sudah mengetahui suasana perantauan di pulau Jawa. Juga dia bertambah usia, sehingga perpisahan dengan Ibunda, Ayahanda serta anggota keluarga lain dia sandang dengan lebih leluasa.

Di masa itu sudah terbentuk perkumpulan-perkumpulan kaum muda beberapa suku, misalnya  Jong Sumatra, Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes  dls. (Pemuda Sumatra, Pemuda Jawa dst). Di sala sendiri ada perkumpulan yang menamakan diri Sekar Rukun. Dengan sendirinya, Amir selalu menggabung bersama pemuda-pemudi dari Sumatra, lebih-lebih mereka yang berasal dari Medan atau Padang. Tentu saja paling banyak adalah siswa dari Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Pada pertemuan-pertemuam demikian mereka tidak hanya saling mencari berita atau mengobati kerinduan tanah asal, tapi juga bertukar pikiran, membicarakan khabar dan desas-desus mengenai politik pemerintahan jajahan. Umpamanya memperbincangkan mengenai pidato Ki Hadjar Dewantoro atau seorang tokoh lain di Parlemen. Mereka saling meminjamkan buku karangan Max Havelaar atau nama aslinya Douwes Dekker, seorang Belanda Asisten Residen di Lebak Jawa Barat. Semua itu mengarah kepada penggunaan Bahasa Melayu di P. Di situlah mulai  tumbuhnya harga diri berbahasa  tanah air ialah bahasa Melayu.

Amir mengikuti gerakan riak-riak yang bakal menjadi gelombang epidemi semangat kebangsaan tersebut. Dan di samping suasana kesepadanan kaum muda yang bersifat menyeluruh itu, Amir mendapatkan dorongan lain.  Dorongan ini berujut  seorang gadis Surakarta, namanya Ilik Sundari.

Semula kedua anak muda itu naik sepeda masing-masing, berangkat ke sekolah bersama. Kemudian diputuskan oleh para siswa untuk  membentuk kelompok belajar. Mereka yang berasal dari luar pulau  akan dibantu pelajar Jawa mempercepat pengertian mereka terhadap bahasa Jawa. Sedangkan yang berasal dari Sumatra membantu siswa Jawa dalam pelajaran Bahasa dan tulisan Arab. Pertemuan-pertemuan Amir dengan Ilik menjadi lebih sering terjadi. Semangat berkebangsaan Amir semakin terbentuk dan menguat karena ruang lingkup pergaulannya  tidak hanya Sumatra, melainkan juga Jawa. Mau atau tidak, perasaannya terhadap Ilik Sundari pasti semakin menguatkan kesadaran bahwa bangsa tanah jajahan Hindia Belanda bukan hanya Sumatra, melainkan pulau-pulau lain seutuhnya.  Dari situ pulalah dia mulai menganjurkan  kepada lingkungan agar menggunakan Bahasa Melayu.

Nama ‘Indonesia’ yang dimulai di negeri Belanda oleh para mahasiswa negeri jajahan Hindia Belanda sudah merembes sampai di Surakarta. Di samping itu, novel-novel dalam Bahasa Melayu yang ditulis oleh pengarang  negeri jajahan juga mulai terbit satu demi satu. Amir turut membacanya. Di antaranya berjudul Darah Muda, melukiskan perkawinan antara dua suku negeri jajahan yang tidak disetujui orang tua.

Tahun pertama di AMS disusul tahun kedua, kedekatan muda-mudi Amir dan Ilik semakin dikenal oleh kalangan mereka, di sekolah dan dalam pergaulan di luar. Buku Marah Rusli “ Siti Nurbaya” adalah bacaan wajib para pelajar. Armyn Pane menyadurnya menjadi naskah teater (yang di masa itu disebut sandiwara), Maka ketika  selanjutnya akan diselenggarakan pentas teater. semua orang berpendapat bahwa  sepantasnyalah bila  Panitia memilih Amir sebagai pemegang peranan Samsulbahri dan Ilik sebagai Siti Nurbaya. Armyn tidak bisa mengingkari jiwa pengarang pecinta keadilan serta kebenaran. Dalam saduran karangan Marah Rusli itu dia tidak kuasa menahan desakan untuk membikin satu adegan di mana para pelaku memperbincangkan pemerasan pihak Penjajah (Belanda) terhadap penduduk dengan berbagai cara, di antaranya pemungutan pajak yang terlalu besar.

Namun betapapun sibuknya Amir mengikuti latihan-latihan serta persiapan pesta sekolah, dia tidak meninggalkan kepadatan pergerakan pemuda. Di zaman itu, sebutan pemuda sama dengan pelajar, sinonim dengan pergerakan menuntut kemerdekaan. Periode dianggap sudah waktunya bagi kaum muda itu untuk merobah sikap, menghilangkan sifat kesukuan menjadi kesatuan.

Maka pada 29 Desember 1930 sampai 2 Januari 1931, di kota Sala, diselenggarakan Konggres Peleburan  semua organisasi yang menggunakan kata ‘jong’ , termasuk Perkumpulan Sekar Rukun. Dalam Konggres tersebut, masing-masing kelompok menyerahkan panji-panji mereka. Yang bisa hadir hanyalah wakil masing-masing perkumpulan dari pulau Jawa. Amir Hamzah dipilih sebagai Ketua Delegasi dari Jong Sumatra.

Tanggal 31 Desember 1930 tengah malam, hadirin mensyahkan terbentuknya Indonesia Muda. Lagu ‘Indonesia Raya’ ciptaan Wage Supratman dikumandangkan di dalam aula. Indonesia Muda merupakan tempat pembibitan pemimpin dan cerdik-cendekia. Diharapkan kelak mereka sanggup membimbing dan menyampaikan tujuan bangsa, ialah kemerdekaan yang utuh serta berdaulat.

Dalam rencana kerja bagi para anggota ditetapkan, selain bertambah dengan berbagai kegesitan olah tubuh (kanuragan) tari, pencak, silat, semua jenis olahraga, pemberantasan buta huruf terpancang di daftar paling atas.

Amir puas dan berbahagia. Setelah turut menggodok penyatuan segala “Jong“,  sekarang dia pergi ke desa dan kampung bersama Ilik Sundari. Mereka memberi pelajaran dasar huruf dan angka / hitungan kepada rakyat jelata.

Namun dalam kehidupan pribadi, hubungan Amir dan Ilik Sundari sangat dibatasi. Hingga akhirnya, gadis itu mendapat peringatan dari orangtua supaya menjauhi Pangeran dari  seberang itu. Kesatuan bangsa sudah diumumkan, tapi mengenai  perkawinan antar pulau, biarlah itu terjadi dalam keluarga lain. Jangan dalam keluarga kita…. Untuk memisahkan Ilik dari Sang Pangeran, orangtua setuju bila dia pergi jauh: ke Majalengka, di Jawa Barat..

Ibunda Penyair kita meninggal dunia tepat di saat Amir harus melaksanakan ujian akhir sekolah. Halangan tersebut dilampaui dengan tabah. Ayahanda menguizinkan dia melanjutkan ke Sekolah Tinggi Kehakiman di Betawi.

Pendek kata, liku-liku hubungan sepasang manusia itu masih berlanjut. Amir di Betawi memulai studi yang dia inginkan. Namun pada bulan-bulan selanjutnya, dia harus membanting otak dan tenaga guna memenuhi kebutuhan hidup, karena Ayandanya meninggal dunia. Kiriman dana terhenti. Dia mencari pekerjaan sebagai pengajar, berhasil mendapatkannya di beberapa tempat. Namun nasib lain menunggunya. Dia dipanggil pulang ke Langkat oleh pamannya, Sang Sultan………

Lerep, April 2011

[1] Makalah diambil dari Seminar Akademi Jakarta

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *