
Aku
Saiful Bahri
Kali lain aku gelisah mendengar hujan jatuh ke tanah di musim hati yang melamun. Tapi kini aku tertawa. Aku merasa hidupku kini seperti puisi-puisi kita yang tengah ditungu ayah ibuku. Ini kali aku bangga. Sangat dan suer bangga sekali. Entah ini suguhan Tuhan yang dititipkan buat Ramadan, atau mungkin sebatas doa yang diaminkan oleh semoga.
Di luar terjadi hujan berjalan tujuh menit yang lalu. Dingin. Sekian detik aku terjajah ulah gigil dan derasnya. Mataku tak bisa tidur tersebab catatan-catatan rindu yang sempat kusimpan di pojok rumah demi keinginan-keinginan waktu yang tak tercapai di musim lalu. Faktanya, sebelum tidur aku biasa menulis puisi entah satu dua tiga atau empat dalam sehari. Ini kebiasaanku. Malam-malamku bagai kunang-kunang yang terbang mencari kegelapan di ambang petang. Miris, pikirku. Mataku biasa membaca detik-waktu sedih dan sifat-sifat hati perempuan yang biasa kujadikan seuntai puisi. Perawan memang terbayang tapi ia rentan hilang.
Malam ini. Tiba-tiba petir terdengar namun kulanjut menulis puisi. Wanita kupikirkan sedang lelaki kubuat tawanan. Entah kapan ia lalui hidup sendiri sendiri, bisakah ia membuang sekian lama menjadi hari dan pertimbangan jauh sebelum ia kuharapkan?
[iklan]
Ini kali kuceritakan kisah ini pada kalian. Namun sekali kurang rasanya bila cerita tak ada kopi tak ada rokok dan puisi. Ibarat siang ada malam ibarat aku ada waktu. Aku benar-benar tidak menyangka semua ini bakal terjadi. Jauh sebelum hujan mereka paksa di jalan tempuh, kami berdua merasa lega walau kadang daun gelisah. Aku sadar dengan diriku. Manusia memang diciptakan dari keterbatasan dan kekurangan. Tapi ini sebuah hikayat yang mesti tetap dipertahankan, bukan malah ditinggalkan dengan alasan yang tak beres..
“Hehe,” aku tertawa lanjut menulis, benar sekali setiap pembaca harus mengikuti alur cerita dan tentang (apa) kata penulisnya. Mari kalian kuajak mundur mengingat peristiwa-peristiwa makna sembilan hari sebelumnya, ketika aku tengah betemu dengan tumpukan kegelisahan. Kuingat itu hari Senin. Sebagian orang merasa damai melihat kisah jalan hidupku. Tapi itu hanyala sangka demi sangka. Sejak itulah aku berpikir: aku ini memang manusia yang tak lepas dari salah. Manusia yang kerap gelisah sebab ulah diri sendiri. Entah bagaimana mungkin kalian pecaya kalau semisal pembaca pernah merasakan hal-hal misterius yang mengundang sakit hati. Malam ini aku gelisah. Satu dua kegelisahanku sedikit ada orang yang tahu. Sempat kemarin kuceritakan ini pada teman, dan, hanya saja kegelisahan ini pandai kuanggap perjalanan, bukan malah kujadikan sebuah keheningan.
Malam ini aku tak tidur lantas derita insomnia. Habis sahur. Piring garpu berantakan. Azan di masjid Subuh mencapai titik lantang berkumandang. Aku kini segera beranjak ke kamar mandi ambil wudu, dan berdoa pada Tuhan semoga besok ada siang. Seperti sayang ditikam bayang selepas penat kasih isyarat.
Pagi buta tiba datang. Aku keluar dari kamar. Di kamar mandi ada ibuku mencuci baju kaus adikku. Kemudian, Ibuku menanyakan sabun yang hilang terbang entah kemana. Palingan dimakan tikus, jawabku setegah kecewa. Sedikit heran ibu bersabar melanjutkan mencuci sarung, celana, baju, kaus adikku. Biasa ibu mencuci habis Subuh. Seolah-olah sudah menjadi kebiasaan setiap hari tiap bulan. Dengan mata sedikit kesal, aku berusaha tidak mencampuri urusan ibu saat itu. Aku rela berdiam diri dan lebih mengingat ia hadir di tengah tarian musikus pagi. Ia datang ke kepala. Matanya bak rembulan menghiasi fajar waktu. Sehabis wudu berpakaian rapi aku berangkat menuju masjid. Sendiri. Tak ada yang pernah menemani aku pergi.
Subuh gigil senyum sesamar basah di daun pisang muda. Tak ubahnya penderitaan malam yang disaksikan embun paginya. Habis dari masjid aku ngantuk. Berasa kantuk sekali. Seperti kucing melangkah penat mencari tempat istirahat. Seperti kata yang merayakan puing-puing rahasia. Mohon maaf bagi kalian sebagai pembaca yang budiman, lantas, saya kini harus tidur demi mengumpulkan tenaga-tenaga yang terbuang sia-sia. Saya janji, lusa pagi kulanjut lagi.
***
Pagi lain tengah menunjukkan tubuh mata terbit hari. Aku bangun dari tidur tanpa harus memikirkan pergi ke kamar mandi. Suara TV di kamar adikku tengah bersuara setengah tawa. Ramai. Aku bangun tersebab teman adikku guyon. Mereka kongko segala macam. Tapi ini tidak mengganggu sedikit waktu istirahatku. Walau bagaimana pun guyon di amper adalah kesenangan bagi mereka. Adikku memang suka tak tidur pagi. Seolah tak sama dengan diriku, sementara aku sebagai orang yang memang tercipta dari kebiasaan-kebiasaan nakal, salah satunya kebiasaan susah bangun pagi tersebab tidur kemalaman.
Tiba-tiba aku teringat pada janji yang sempat kusampaikan pada pembaca tepat hari sebelumnya, bahwa aku ingin melanjutkan cerita ini besok lusa.
“Baiklah aku lanjutkan!”
Aku bertanya pada waktu. Ada apa dengan diriku? Lanjutannya begini. Sebagai lelaki aku harus meminta ia ke tahap sesi pertunangan. Sesekali aku terpana teringat mimpi-mimpi malam. Mimpinya selalu hadir kesekian kali dan kalinya. Kini aku mencoba diam sejenak di kasur Ibu. Semenjak aku mencintainya, aku merasa tak ada perempuan lain di dunia selain dia. Benar kata dikau yang masih kurahasiakan tubuh namanya, bahwa “cinta itu masa.” Sontak kulihat buku-buku di ubun meja dekat lemari dekat meja. Baju-baju menumpuk beku meminta tangan mencucinya. Pagi ini aku seperti tak kuat berjalan kemana pun. Tangan kananku sontak mematikan lampu kamar di samping lemari. Perutku terasa sakit bekas pijatan dukun semalam. Mencoba aku duduk. Rokok dan kopi mana? Oiya, ini kali bulan puasa, pikirku.
Kembali aku teringat; matanya adalah ungkapan yang dirahasiakan keterbatasan. Batas ini sangatlah jauh sekitar 15 menit jejak asaku sampai ke taman bunga rumahnya. Walau kadang lekas napasku terbata-bata tersebab melewati seribu jalur ke jalan lorong penuh tempuh. Bibirnya merah mencicik siluet warna merah merona. Alisnya harkat basmalah simpang menyerang di ayat Quran. Kita ini memang diciptakan dari jarak tanpa tempuh. Sengaja aku mengingat pipi rona kedip matanya, aku sengaja kusimpan rapat di dadaku. Biar kau tanya lebih jauh mana antara jarak tanpa tempuh atau rindu tanpa temu.
Adikku masih guyon dengan temannya. Aku mencoba menenangkan diri menarik napas dalam-dalam, agar suara-suara tawa tak bercampur dengan pikiran.
Nyata dan sangat nyata. Sekian lama kita berjuang melawan derita dan cerita. Aku bertanya kedua kalinya pada diri-diri sendiri. Apakah ia merasa bangga mendengar kabar perihal hati? Atau? Entahlah aku tak bisa menebak hati seseorang. Aku berusaha tidak menceritakan pada waktu, aku menolak kerinduan, sebab cinta yang pernah kubaca hanya dianggap fiktif belaka, ucapnya suatu malam.
Aku kini harus segera cepat mencuci badan muka. Berbarengan dengan teman adikku yang datang pergi lalu-lalang. Ada datang ada pergi ada pulang datang lagi. Ada pula pergi hijrah ke pulau kata. Tak ubahnya rindu ini, selalu datang tak kembali.
***
Ini hari Rabu, hari ke sebelas pasca resmi aku tunangan dengan Arifah, gadis waktu di bulan Ramadan yang tak pernah habis kudamba. Aku kini merasa beruntung. Hari-hari bagaikan siang ke malamnya. Berputar serupa malam hingga siang hingga pagi dan berpindah ke malam lagi. Begitu pun seterusnya.
Kini. Aku semangat bangun pagi untuk meneruskan sebuah cerita. Mula-mula aku hentikan beberapa hari belakangan ini karena ada sedikit kerjaan di lembaga kantor SMA dekat rumahku suatu kali.
Baru kemudian aku lanjutkan paragraf ini. Aku berada di amper rumah. Cuaca secerah ini menambah ceritaku merindukannya. Daun-daun melayang riang, ada yang gugur, ada pula yang habis termakan lapuk usia, ibarat aku kerap melamun terjebak mata batin halimun. Pembaca bolehlah tahu, kalau-kalau aku sendiri kerap merayakan musikus sepi. Tapi tidak degan pagi ini yang benar-benar setia menunggu mata dan hariku. Aku mencoba untuk tenang. Aku mencoba untuk damai.
Di kamar, “Tes satu dua,” aku berusaha menghidupkan mik hasil pembelian kakekku dulu, sambil lalu bercerita dan menceritakan kesendirianku pada pagi. Ini kali sekian kalinya. Entah berapa paragraf yang sempat kutulis pagi ini. Barangkali ini mimpi yang bakal hadir dalam mimpinya suatu saat. Pukul 07.53 merupakan epilog di perut kita: kenyang, kenyang, lalu lapar berkepanjangan. Tiba-tiba listrik padam mati entah-entah kenapa.
Hari ini aku segera siap-siap pergi ke sebuah lembaga dekat rumah kepala desa. Tidak jauh. Kira-kira sembilan menit aku sampai di halamannya. Aku bertujuan ingin bertanya keseriusanku pada waktu. Pagi sekali, burung-burung riang bernyanyi di sekitar laman pekarangan, seakan-akan menceritakan betapa indahnya bulan Ramadan yang sempat aku rahasiakan itu. Kongko. Baru kemudian aku pulang sekitar pukul sembilan pagi.
Bulan Ramadan adalah bulan yang wajib kulewati dengan seksama. Tersebab waktu yang ditunggu-tunggu merupakan tujuan paling utama. Di sini, disertai perasaan bangga aku tiduran di amper rumah. Suara derai angin di luar menambah masa yang paling doa, seolah-olah membayangkan bagaimana kalau aku nanti jadi suami. Kalau boleh jujur aku memang ingin menikah. Aku ingin berusaha pandai dan berpikir ala pejabat negeri; jadi suami harus taat terhadap peraturan percintaan. Sebaliknya istri haruslah taat pada perintah suaminya. Itu saja sudah cukup. InsyaAllah kita damai tentram setia selamanya.
Tujuh menit kemudian..
“Cong!” Biasa ibu memanggilku. Suara itu terdengar lirih. Tak seperti biasanya, ada apa ibu kini memanggilku pagi-pagi. Disertai rasa bangga kudekati panggilan ibu. Mata ibu berbinar-binar seindah kata bahagia. Bibirnya tersenyum basah. Sontak aku gugup melihat plastik di tangan kanannya. Ibuku memperlihatkan baju dan sarung tenun hasil pemberian mertua. Inilah suatu kebanggan yang belum pernah aku rasakan di hari-hari sebelumnya. Di dalam bungkus plastik itu kulihat kertas bertulis kata: pemberian dariku ini tidaklah sama dengan pemberian cincin darimu, ini pula hanya pertanda aku sayang kepadamu, meski kusut, tolong sejarah ini kaurawat dan jangan sampai dimakan rayap. Begitu tulisannya.
Kini aku dan dirinya harus mencicip ramuan waktu. Di awal aku cerita tentang nasib dan diriku; Ibarat siang ada malam ibarat aku ada waktu, waktu yang kita tunggu untuk menikah habis lebaran. Bagiku, tak ada yang paling indah dari detik waktu menikah. Walau ibuku tak sempat menyuruh untuk cepat-cepat menikah, tapi ini keinginanku, ini pula sunnah Nabi. Benar umurku masih sejagung, paling tidak ini usaha ikut sunnah utusan-Nya.
*Cong: Madura, panggilan (nak) yang lumrah bagi anak lelaki.
Bungduwak, Mei 2019.
Saiful Bahri, kelahiran Sumenep-Madura, O5 Februari 1995 adalah tanggal lahirnya. Ia mengabdi di Madrasah Al-Huda. Mahasiswa aktif di STAIM Terate Sumenep. Selain menulis, ia juga seorang aktivis di kajian sastra dan teater “Kosong” Bungduwak. Perkumpulan dispensasi Gat’s (Gapura Timur Solidarity) adalah organisasinya yang digeluti saat ini, ada pula Fok@da (Forum komunikasi alumni Al-Huda), Perkumpulan (Pemuda Purnama), Pengasuh ceria di grup (Kampus Literasi) dan pendidik setia di komunitas (Literasi Kamis Sore). Disela kesibukannya ia belajar menulis Puisi, Cerpen, Cernak, Esai, Resensi Opini, dll. Tulisannya pernah dimuat di koran lokal maupun nasional. Dia juga menulis Buku Puisi Senandung Asmara dalam Jiwa (2018).