Kehidupan bagi seorang penyair adalah inspirasi tak terhingga, dari berbagai ruang dan peristiwa kata-kata mengalir begitu jelas. Namun, tentu saja bukan sekadar kata-kata. Penyair yang gelisah selalu menemukan titik renung yang tinggi pada suatu ruang pada sebuah peristiwa. Renungan-renungan penyair bisa jadi bersifat menyemesta, hadir atau sengaja dihadirkan untuk dirinya sendiri, sehingga apa yang dilahirkannya melalui kata-kata seorang representasi dari kegelisahan semua orang. Selamat Membaca. (Redaksi)

[iklan]

Puisi-Puisi Handoko F Zainsyam

Penari Jiwa

Menarilah
Dalam nafas dan nadimu

Pada musik
Hentakkan kaki
Ciptakan gemerincingnya

Pada gerak
Rentangkan tangan dan berputarlah
Tabrak dinding gelap dan pelangi
Yang kerap mengaburkan pandanganmu

Menarilah, Kekasih!
Menarilah dalam jiwa dan sukmamu
Karena ada Aku
Dalam tiap alun geraknya

Sungguh
Tak kan pernah habis
Kau menikmatinya
Seperti bercawan-cawan anggur
Yang terus kau reguk

Lantaran itu pula
Aku serukan kepada angin
Akulah penggerak hembusnya
Pada api aku sampaikan,
Akulah panasnya
Pada cahaya aku sampaikan,
Akulah yang menjadi sumber kilaunya
Dan karena akulah ia menari

Menarilah!
Oh, penari jiwa;
Leburkan wajahmu
Dalam risalah rasa
Lantaran setiap wajahmu berpaling
Terpajang di segenap ruang

Dan sungguh
Kau akan diserang
Harum ratus namaKu yang mengemuka
Dan kau akan menggigil karenanya!

Oh, penari jiwa;
Menangislah dalam tarianmu
Namun jangan lupa
Tinggalkan senyum terindahmu
Lantaran Aku rupa-rupa tanpa rupa itu.

Jakarta, 10 Nop. 2009
(Ma’rifat Bunda Sunyi hal. 67)

Kepada Dia yang Ada di Aliran Darah

Tahukah kau, di setiap aliran darahku
Ada degup-degup keikhlasan hidup
–Dingin, hangat, dan kadang panas
Semua tak pernah berhenti dalam sengketa

Saat jantungku bergerak teramat cepat
Ada gejolak yang membuat pori-poriku
Membesar dan mengecil–ada nafas kehidupan
Tempat segala cinta bersumber dan bermuara

Aku bukan hanya api yang membakar segala
Dan bukan pula air mata yang menggenang setiap luka
Aku ada dalam lingkaran energi tanpa asal muasal. Usai

Di setiap kegundahan para pecinta
Sepanjang sejarah malam tergelar

Aku terus bersangkar
Pada tiap hati lewat panjang sajadahnya
Menuju kiblat keagungan
Untuk terus bersikukuh mengurai kerinduan
Aku ada dalam aliran darah

Bukan! Bukan adaku kini
Tapi melebur diri dalam aliran darah

Tidak kau tahu, darah dan merah tak ‘kan terpisah
karena aku dan kamu ada dalam bilangan irisan
: Mewujud!

Sungguh, adaku
Bukan sekadar meniadakan
Dalam aliran darahmu!

 Ciputat, 1 Juli 2010
(Ma’rifat Bunda Sunyi hal.138)

Melihat Indonesia dari Air Matamu, Aini

Aku tak melihat matahari pagi Indonesia
bertengger di menara pemancar stasiun tivi
yang dijadikan persinggahan ribuan anak manusia
di karut-marut politik, sastra, kebudayaan
dan haru birunya kisah bumi manusia

Sawah-sawah penuh ilalang,
sungai-sungai penuh sampah
anak-anak kecil kurus, perut buncit, dan bermata
melotot berdiri di balik pagar depan gerbang sekolah
dan seorang penyair terdiam di pojok ruangan satpam
menunggu ilham datang dari Tuhannya

Aku tak melihat matahari pagi Indonesia
berdansa di ufuk timur menjadi penanda hari mula
mungkin mendung merebut hingga yang tersisa
hanya kata kenang tentangmu dan juga mereka
kakek nenek yang diam merenda kenangan

Apa yang bisa kau lihat sekarang, Aini
tentang indahnya apa yang disinari matahari
namun matamu terpejam
sementara kau ingin melihat jajaran gunung,
gelombang laut, dan indahnya taman bunga
namun tak mau membuka mata
lantas, kau bilang aku hanya pengigau
dan pembohong tentang indahnya
apa yang disinari matahari

Aku ingin melihat Indonesia dari matamu, Aini
yang tak mau terbuka lantaran matahari
telah kaubungkus semalam
dan kaubuang di bak sampah.

Jakarta, 2016
(Aku Tanam Pisau Di Kepalaku, hal.20)

Pelacur-Pelacur Kata

Berdirilah! Kita telah berhadap-hadapan kini
Penipuan sejarah harus dipatahkan. Tak ada pilihan!
Sejauh sastra berpolitik memainkan angka-angka
dan hidup dalam kemunafikan
Tak gacul matamu, Rek!”

Kalian terjebak galian kubur sendiri
tepat bunga kamboja berguguran
dan melati jatuh di pusara
kita pun abadikan semua dalam tanda kata di batu
nisan; Sang pecundang sastra dan pelacur-pelacur
aksara!

Pastikan! Ketika sastra diancam
digantung di tiang pesakitan
mulut dibungkam, tangan di borgol
hantu-hantu di taruh di sudut pikiran
untuk menakut-nakuti kebenaran muncul
maka tak ada pilihan kata, hantam!

Ketakutan menjadi pusat politik bangsat
ada kawanan anjing menjilati kaki majikannya
sejarah dimainkan oleh cukong
dan pelacur-pelacur kata
maka tak ada pilihan kata kini,
kecuali, “Sikat!
Ancene jancuk!”

Jakarta, 2015
(Aku Tanam Pisau Di Kepalaku hal.9)

****

Handoko F. Zainsyam. Lahir di Madiun, Oktober 1975. Ia Pendiri Komunitas Mata Aksara dan Komunitas CK Writing (Literasi Remaja Indonesia). Salah satu pendiri dan Wakil Ketua Umum Perhimpunan Sastrawan dan Budayawan Negara Serumpun (PSBNS) ASEAN, dan Kabid Pengembangan dan Pelestarian Budaya ‘Yayasan Kertagama’ Jakarta.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *