Matahari mengisyaratkan kasih kepada semesta. Dengan cuaca yang sedikit melankolis, wanita itu berkendara meniti sirat fatamorgana. Menyusuri gang-gang kecil di pasar yang begitu ramai. Di perjalanan pagi, tak sengaja ia melihat sesosok anak kecil di pinggiran trotoar yang sedang merengek-rengek, matanya sembab dan suaranya pun sudah serak. Wanita itu tak tahu-menahu, kemauan apa yang tidak dituruti oleh ibu anak itu. Jika dipikir-pikir tidak ada yang aneh dalam kejadian ini, tetapi tidak dengan wanita di sebrang jalan tadi. Putaran roda yang makin menjauh dari pemandangan itu justru mengharubirukan ingatan masa kecilnya. Senandung pedih menyeret sederet pertanyaan yang membuntingkan isi kepala, menyiksa sekujur asa.
‘Kenapa?’
Mengapa harus ‘kenapa?’
Kenapa selalu sukar diterka?
Kenapa ada kisah di tengah-tengah luka?
Kisah masa kecil yang begitu lara, hidup sebatang kara, jauh dari belai kasih keluarga, membuat wanita itu semakin binal. Kadang baginya ingin mengakhiri hidup yang begitu keras. Bagaimana tidak? Ia yang dibesarkan tanpa buaian kasih sayang yang utuh. Ya, ia adalah seorang wanita yang sudah ditinggalkan ibunya sedari balita. Sedangkan bapaknya, hanyalah ‘utopia’ sebuah bayangan yang tak mampu untuk ia dekap. Wanita itu tinggal bersama nenek dari keluarga Ibunya. Bersyukur, masih ada yang mau menampungnya, walaupun bertahun-tahun tinggal di keluarga itu, ia masih berjarak dengan mereka. Selalu ada batasan lingkup keluarga dan ruang gerak, begitu yang ia rasakan selama bertahun-tahun. Ia tidak boleh dekat dengan keluarga Bapaknya, bahkan perihal mengenali seolah menjadi perkara haram yang bakal jadi musibah apabila diterjang. Wanita yang dipaksa bungkam untuk mengetahui cerita orang tuanya sendiri.
“Syukurlah, semua berjalan lancar hari ini”. Sambil bergumam dalam hati wanita itu menata perkakasnya.
Hari ini adalah hari pertamanya bekerja. Di sana ia bertemu dengan orang baru yang tampak lebih hangat dibandingkan keluarganya sendiri. Tapi, nampak badannya perlu beradaptasi terlebih dahulu dengan semua aktivitas ini. Selesai bekerja ia memutuskan untuk langsung pulang kerumah neneknya. Walaupun jarak antara rumah nenek dan tempat bekerjanya cukup jauh, ia berusaha untuk pulang tepat waktu. Samar-samar terbayang di benaknya ‘ada rayuan ranjang yang menyimpan rindu akan empunya’. Ah, begitulah lalu lalang pikiran wanita itu di sepanjang perjalanan pulang. Beruntung, ia sampai rumah sebelum petang tiba. Lekas ia membersihkan diri lalu berkemas untuk bercumbu dengan kasur kesayangan. Namun, sebelum itu, ia punya ritual yang menjadi kebiasaannya tersendiri, yaitu; menulis tentang setiap jalan yang ia lalui. Pada dasarnya, ia ingin jejak langkahnya kelak dibaca oleh anak-anaknya agar mereka tau bahwa ibunya adalah seorang wanita malang, namun, berhasil untuk melahirkan buah hati yang akhirnya menjadi pelipur lara untuk dirinya sendiri. Sebab, memang begitulah kiat-kiat cinta dalam kehidupan. Terkadang, cinta datang dari sebuah konflik. Maka sudah sepatutnya buatlah tragedi dan carilah hitungannya di situ, dengan demikian luka akan menjadi cara cahaya memasukimu. Ia berharap lewat riwayat cerita ibunya, mudah-mudahan anak-anaknya kelak mencintai keluarganya lebih dari apapun.
Suatu malam yang terkesan damai, membuat bayangan masa lalunya singgah kembali menyatu dalam kesunyian. Malam ini, wanita itu mengingat cerita tentang seorang bapak yang justru ia dengar dari tetangga rumah neneknya. Aneh bukan? Anak yang mengetahui kisah orang tuanya dari orang lain. Terdengar tabu, tapi memang begitu kenyataan. Tetangganya pernah bilang kepada wanita itu, bahwa bapaknya adalah keturunan saudagar Yaman yang berimigrasi ke Indonesia. Buyutnya adalah satu dari beribu orang yang membangun budaya dan berkontribusi pada perkembangan Islam di Kabupaten Cirebon, sambil berdagang. Maka tak heran, ketika ia masih balita sering diajak bahkan dirawat beberapa hari oleh bunda ratu, istri pemilik sah salah satu keraton di Kabupatennya itu. Kata neneknya, dulu waktu hari pertama setelah ibunya tiada, wanita itu diminta oleh bunda ratu untuk diangkat menjadi anak. Namun, keluarga menolak dengan dalih tidak mau membuat repot keluarga keraton dan keluarga ini masih mampu untuk merawatnya sendiri. Bahkan hari-hari terakhir bunda ratu, sering menghabiskan waktu dengan wanita kecil itu.
Selagi wanita itu menyoretkan pena, sembari ia merogoh mulutnya dan beberapa buah kalimat tercetus.
“Ah, peduli dengan perihal itu, kehidupan sosial manusia bagiku bukan soal garis keturunan. Aku hanya ingin tumbuh mekar dengan bahagia, sudah itu saja.” Ia menghela nafas.
Seperti rindu dekapan hangat orang tua. Wanita itu selalu merasa iri terhadap anak sebayanya yang ditimang-timang, mendapatkan kasih sayang dari kedua orangtuanya. Orang tua adalah atribut resmi bagian sastra semesta yang dipandang iri mata-mata penduduk dunia. Konon katanya, orang tua adalah jimat yang wajib kita jaga, memberi sentuhan hubungan sugesti misteri disetiap perjalanan buah hatinya. Lantas bagaimana dengannya? Wanita yang terporak-porandakan oleh garis takdir, membuat semesta ini terasa begitu asing. Orang tua yang harusnya menjadi madrasah keluarga, tempat berpulang untuk bermanja, berubah jadi sembilu durjana. Kesepian yang kesekian mengantarkannya untuk mengadili Tuhan. Tapi, setelahnya keheningan jadi sandingan duka nestapa bercampur tangisan merana.
Malam ini, wanita itu memilih untuk sambil membaca ulang tulisannya beberapa tahun lalu. Kala itu, ia melewati masa SMPnya. Masa-masa SMP adalah fase di mana wanita itu mulai tumbuh. Namun, seperti berbeda dengan gadis lain, kalap pada fase awal pubertasnya, ia sudah dituntut untuk memahami kehidupan. Terlebih, lewat kebebasan nampaknya wanita itu dipaksa mampu menentukan segala hal dengan seorang diri. Banyak perubahan rambu-rambu moral yang ia alami. ‘Tumbuh dengan berduri’, analogi ini sesuai dengan kehidupannya. Ya, wanita itu tumbuh mekar dengan segala pergaulan luas nan bebas.
Jihan Khadija adalah ia, nama seorang gadis semata wayang yang tak asing akan kenakalannya. Karena tidak didampingi langsung oleh didikan orang tua, kenakalan demi kenakalan seperti sudah mendarah daging pada kehidupan remaja ini. Warung Emak Suretni adalah salah satu saksi bisu tempat perjamuan untuk bermanja hura dengan kawanannya, baik dari satu angkatan, kaka kelas, bahkan anggota geng motor di desanya. Lebih dari itu, Khadija terlihat berwibawa di kelompoknya, sebab ketua geng motor yang sering jadi perbincangan, amat dekat dengannya. Aang Alan namanya, dia menyukai Khadija. Namun kala itu, Khadija tak berminat untuk memiliki hubungan dengan siapapun. Wanita itu hanya menganggap Ang Alan sebagai seorang kakak, Namun Aang Alan tak keberatan, ia rela menjaga Khadija. Lagi pula, dengan hal itu Khadija merasa lebih mendapat penghormatan dalam pergaulannya, ia melakukan sesuatu sewajarnya kenakalan manusia biasa.
Perihal itu juga, Khadija yang masih menjalani sekolah menengah pertama, usianya masa itu baru menginjak 16 tahun. Tapi, cara Khadija dalam bergaul sudah dibumbui dengan prinsip mendasar mengenai kebebasan beretika. Khadija mendapat banyak pelajaran dari kebebasan, baik itu kebebasan sosial ataupun kebabasan sistensial. Entah siapa yang mengajari, wanita itu seperti ‘gadis yang didekap oleh semesta’. Khadija yang sudah terbiasa untuk tidak sekedar ikut-ikutan. Kebebasan yang Khadija terima begitu ia hargai. Di satu sisi ia tidak mau cepat-cepat memeluk segala pandangan yang baru. Namun, di lain sisi ia tidak mudah menolak nilai-nilai hanya karena baru dan belum biasa. Memaknai segala peristiwa dengan berdamai dan bersikap reflektif. Semua itu Khadija lakukan agar ia tidak naif dan ekstrem. Sebab, menurutnya tidak ada peristiwa yang sungguh buruk ataupun sungguh baik di dalam kamus kehidupan.
Sepanjang ingatan, di masa SMK pun Khadija lakukan kebiasaan berfikirnya ini, ia menerapkannya di lingkungan barunya. Bedanya, masa SMK ia lebih pintar mengatur materi. Khadija yang ikut bibinya di sekolahkan pada sekolah swasta ternama; SMK Farmasi Bumi Siliwangi, di Bandung. Baginya, kota itu terdiri dari tangisan isak lara dan selaksa benih air mata.
Malam ini, lebih dari cukup dijadikan kepedihan petang, dengan ditemani kesedihan yang tak kunjung usang, Khadija hanyut bersama lembaran tulisan. Segala dukanya, menyayat relung jiwa tanpa aba-aba. Khadija membaca tulisan tentang hari-hari tangis kehidupannya di Bandung. Berawal masuk jurusan farmasi atas dasar kemauan bibi, awal-awal menjalaninya ia sudah menuai banyak problem. Dari mulai keterlambatan Khadija memahami materi pelajaran, sampai kepada ketidaktahuannya akan praktek di laboratorium. Sialnya dua minggu Khadija belum bisa apa-apa, ada salah satu guru killer mengadu pada bibinya. Sejurus kemudian, bibinya mencerca ia dengan umpatan-umpatan makian. Tertekan, tertindas, terpojok, teraniaya oleh perkara yang bukan kemauannya sendiri. Pengalaman pertama yang harusnya mendapat suport keluarga, justru membawa bala petaka. Sebenarnya, ia dulu ingin mengadu perihal itu, tapi bingung kepada siapa, nenek yang cenderung apatis tidak akan merespon lebih. Bisa-bisa jika bibi tau ia mengadu, malah tambah rancu urusannya.
Alhasil, kejadian itu sangat berimpact pada kehidupannya. Mulai dari tidur tanpa alas, hp disita, sampai uang jajan tidak ada. Bahkan untuk naik angkot dari rumah bibi ke sekolahan pun masih kurang. Perjalanan yang ditempuh lewat tiga angkot kendaraan, kini selebihnya ia arungi dengan berjalan kaki. Mau tidak mau, akhirnya ia harus bergegas berangkat sekolah setelah shubuh tiba. Dua minggu rasa kemanusiaannya nyaris terkikis. Kali itu, Khadija benar-benar merasa telah dihabisi. Kehikmadan luka seorang wanita begitu jadi candu. Tak ada yang bisa menghentikan kesenduan nyata, sekonyong-konyongnya.
Di sinilah Khadija mulai bersiasat, bergerilya di tengah-tengah belantara genosida tangisan merana. Khadija mencoba untuk mencari tambahan uang, tidak lain untuk memenuhi kebutuhan pokoknya sendiri. Di sepanjang kanal yang ia dapati, ada teman satu kelas yang memiliki usaha menjual makanan via online, Melinda namanya. Segera Khadija bernegosiasi untuk membantu menjualkan makanan Melinda di sekolahan, kala istirahat tiba. Beruntung Melinda mau diajak bekerja sama. Karena sudah terbiasa memiliki sifat mudah bergaul, lantas hal ini banyak mengais kemanfaatan untuk dirinya sendiri. Khadija yang sekolah sambil berdagang, lantas pulangnya menjadi asisten teman sebangkunya yang menjadi model. Mulai dari membantu kebutuhan, menyiapkan segala peralatan, semuanya rela ia geluti. Dari sinilah, tiba masanya Khadija menganal dunia modelling.
Tak disangka-sangka, dari keluar masuk studio sebagai asisten model, nampaknya membuat ketua agensi penasaran terhadapnya.
“Tak keberatan jika aku tanya-tanya tentang kehidupanmu, Nona?” kata ketua agensi itu, sambil duduk tepat di sisih Khadija.
“Silahkan, Pak” Khadija lontarkan jawaban lugu kepadanya.
“Dengar-dengar kau teman sebangkunya Sherly, ya? Kenapa hanya jadi asistennya saja, tidak sekalian jadi model juga?”
“Maaf, Pak. Saya tidak punya bakat”
Tak tahan ingin segera bercakap dengan menceramahi, ketua agensi itu mencoba meyakinkan Khadija.
“Tenang saja, Nona. Sebagai booker dalam komunitas ini, sudah menjadi kewajiban saya untuk melatih skill Nona. Bagi kami yang terpenting adalah measurement. Tubuh dan wajah nona pantas untuk masuk dunia modelling, sungguh!”
Sambil gelagapan Khadija menjawab “Baik, Pak. Nanti saya pikirkan kembali”
Namun, entah mengapa ia cukup gugup menanggapi hal itu. Khadija tidak cukup berani dalam menguasai diri. Khadija tidak cukup mampu untuk memenuhi keinginan dengan bijaksana dan seimbang. Nampaknya, ia gamang pada Sherly, takut dibuat tersinggung oleh sikapnya. Wajar saja, Sherly yang membawanya ke tempat itu. Tapi di sisi lain tidak dapat dipungkiri, Khadija sebagai wanita gelandang sial yang menahan lapar di pinggiran jalan, kebutuhannya selalu menuntut agar bisa lebih dekat untuk diramu. Antara serah dan pasrah kala itu tidak jauh beda meniti titahnya.
Tempo hari akhirnya Khadija sudah siap untuk mewacanakan semuanya pada Sherly. Khadija ingin meminta pendapatnya mengenai tawaran itu. Khadija siap. Bagaimana dan apapun tanggapan Sherly. Ya, walaupun ia sendiri yakin bahwa Sherly akan merasa tersaingi. Tapi, apa boleh buat, ia tidak mungkin untuk memendam tawaran itu selamanya. Hari itu adalah hari Khadija mendapat upah bulanan dari Sherly dan sekaligus ia ingin bertemu dengannya. Kebetulan hari itu pula Sherly tidak ada jadwal dengan klien manapun. Setelah Khadija bertemu dengan Sherly, di kedai. Ia memulai menceritakan kejadian beberapa hari yang lalu.
Setelah selesai menceritakan, Khadija kembali beringsut dengan membuka ruang pertanyaan:
“Bagaimana, Sher? Kau setuju aku mengambil tawaran dari booker itu?”
Sebelum menjawab, Sherly justru malah cekikikan terlebih dahulu, lalu kemudian merapalkan kata-katanya.
“Dengan alasan apapun, asal itu membuatmu melangkah, aku ikut serta bahagia. Aku ini temanmu, teman sebangkumu”.
“Terimakasih, Sher” jawab Khadija singkat. Lantaran sikap Sherly yang jauh dari perkiraan dan Khadija yang tidak tau bagaimana cara membalas kebaikan Sherly, membuat Khadija menjadi canggung.
Alih-alih Sherly menjawab dengan seutas senyum. “Sama-sama, Dija. Oh, ini uang untukmu. Sembari aku mengucapkan rasa terimakasihku, bagaimana kalo aku ajak menelisik untuk mengunjungi tempat brand-brand lokal Bandung?”
Dengan tangkas, Khadija menjawab
“Ayo, Sher. Asyik juga tuh”
“Iya, dong. Masa calon model enggak paham brand lokal sendiri sih. Hahaha” celetuk Sherly sambil mengejek.
Sepanjang perjalanan Sherly sering melucu hingga Khadija tak bisa menahan tawa di dekatnya. Khadija dibuatnya seperti keluarga sendiri. Khadija menemukan sedikit celah untuk menanam kebahagiaan dan hama kepedihan di hidupnya serasa mulai dilenyapkan oleh Sherly. Dari situ, Khadija mampu untuk lebih menenggelamkan harapan semu. Baginya, harapan yang dikapitalisasi adalah problem eksistensial kehidupan. Pada dasarnya memang begitulah hidup menurut Khadija, ketika telah bermanifestasi, dinamika materialis akan memberikan suatu wujud, dimana wujud itu akan hidup sesuai hukum alam yang rumit sistematis. Dalam skala kecil atau besar, semesta ini adalah kalkulasi rumit dan manusia sebenarnya mengatakan sendiri akan ketidaktahuannya. Maka sebaiknya menyambut kehancuran itu dengan mata terbuka karena kehidupan manusia berawal dari kekacauan lalu ia menjadi seni keindahan untuk dirinya sendiri. Hukum alam yang menghidangkan berbagai jenis konflik, membuat kepribadian moralnya menjadi kuat. Memang di satu sisi Khadija gagal mengikuti metode atau pendapat umum dan arah mata angin, namun, di lain sisi Khadija telah mendapat nilai otentik yang menghayati dan menunjukan diri sesuai dengan keasliannya, dengan kepribadiannya yang sebenarnya. Lagi-lagi Khadija seperti gadis yang didekap oleh semesta.
Sore yang lebur di penghujung hari ternyata membalut rintik gerimis. Setelah menelisik kota akhirnya keduanya diguyur hujan.
“Khadijaaa… hujan ini memang belum terlalu lebat, tapi kalau kita teruskan perjalanan, khawatir suhu badan jadi mengigil. Bagaimana kalo kita mlipir ke toko buku depan perempatan jalan?”
“Ayo, Sher!”
Setelah di toko buku, Sherly menawari Khadija untuk mentraktir beberapa buku. Katanya, sebagai imbal kasih terhadap sikap baiknya selama ini. Lantas dengan menerima kasihnya, Khadija mengambil dua buku dengan genre yang berbeda, yang satu fantasi, yang satu sedikit berbau kolonialisme. Walaupun disekolahannya Khadija termasuk golongan orang yang biasa-biasa saja, tapi ia memang gemar membaca disela kesibukan hidupnya. Bisa dibilang Khadija memang tidak pernah mendapatkan prestasi sebab ia sibuk mencari sesuap nasi. Khadija adalah wanita yang gagal di sekolahan, tetapi ia berhasil di kehidupan. Khadija mempelajari ilmu hidup, mempelajari pelbagai keaadaan dengan serealis-realisnya. Dengan kata lain, realistis kehidupan tidak berfiksasi pada kenikmatan saja. Tanggung jawab moral yang Khadija dapatkan menuntut agar terus-menerus memperbaiki keadaan supaya lebih adil, lebih sesuai dengan martabat manusia.
Di tengah rujukan malam pada petang, ketika itu Khadija benar-benar hanyut dalam lembaran tulisannya, tiba-tiba dalam lamunan, ia terganggu oleh suara ponsel yang berdering. Pesan singkat dari bibinya di Bandung, yang menyekolahkan Khadija waktu itu.
“Bibi dengar kamu sudah mulai bekerja, Nak? Baguslah kalau begitu. Nanti biaya waktu sekolah dulu, bisa dicicil mulai dari sekarang.”
Malam itu juga Khadija terdiam, air matanya tak teredam, sedang pikirannya berada pada lorong kosong, kepalanya tersigap rapi mimpi-mimpi bohong. Katanya lelah, tapi puing dan lumpur harus harus terlewat tuk dilangkah. Khadija hidup ditengah-tengah luka. Baginya, luka dan sembuh begitu setia menemani untuk tumbuh.
Semuanya merupakan proses penempaan dari Tuhan. Alasan istimewanya adalah Tuhan telah memilih Khadija karena Tuhan tau Khadija adalah wanita dekapan semesta yang mampu melewati candaan sang Maha. Tuhan merangkul Khadija menuju ruang yang tidak pernah ia bayangkan. Tuhan menitipkannya di sana, mungkin dengan tuju agar Khadija bisa lebih dekat meramunya dengan hidangan-hidangan air mata. Khadija adalah gadis dekapan semesta.
***_________
Abdurrahman Hidayat Ramadani, lahir di kampung kecil sudut kota Pemalang, Jawa Tengah. Saat ini menjadi Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Selain suka menikmati sastra dan suluk tarekat, penulis juga aktif bercocok tanam dengan merapal doa dari segala pelipur lara.