Oleh Damay Ar-Rahman

 

“Aulia!”

Seorang perempuan dari tenda pemungutan suara memanggilnya menggunakan loudspeaker sambil mencatat nama-nama untuk direkap.

“Saya… saya.”

“Cepat De, jangan lama. Orang sudah pada antri.”

“Bagaimana mau diburu-buru, ukuran kertas saja lebih lebar dari kotak penutup coblos,” umpat Aulia sambil memandang sinis ke arah petugas tersebut. Ia pun masuk dan menyerahkan KTP. Urutan nama dari masing-masing partai membuat Aulia bingung memilih yang mana. Ia lupa kakaknya menawarkan caleg dari partai pilihan gengnya.  Tapi lupa atas nama siapa.

“Ah, kan dia nggak tahu.”

Aulia pun menusuk urutan ke sembilan dari partai Sejagat.

“Panas Mak.” Seorang bocah mengeluh.

“Sebentar Aril, tidak lama lagi.”

“Mama panas. Capek.” ucapnya sambil merengek.

“Ah sedikit lagi tiga belas antrian.”

“Aku mau pulang Ma.”

“Jangan yang tidak-tidak ya. Itu jalan besar nanti digeprek kamu sama motor dan tronton  mau?” jawabnya sambil melotot.

“Biarin aja, atau minta uang mau beli bombon.” Bocah itu meminta imbalan atas lelah yang ia terima karena mengantri terlalu lama.

“Kamu kecil-kecil sudah pandai ya. Tahu jika di sini rame orang,” jawabnya memasang wajah geram.

Orang-orang yang berada di samping memperhatikan ibu dan anak itu sedang mengomel.

“Sudah-sudah, nanti bilang aja ibu bayar. Kamu ambil aja dulu. Ibu kenal sama penjualnya.”

“Horee….” Si anak tertawa sumringah dan berlari menuju penjual permen tersebut.

“Selanjutnya, Saiman.”

“Akhirnya, nama saya juga dipanggil. Saya duluan ya bapak-bapak budiman,” ucap pria itu sambil mengacungkan jari-jari berbentuk love.

Lalu disusul oleh pengantri selanjutnya sambil menatap Saiman dengan pandangan sebelah mata karena  tidak suka dengan sikap Saiman yang tidak koperatif. Setelah ia mengomel dalam hati, kemarahannya bertambah dengan ibu-ibu memakai baju warna warni sedang mengantri untuk memilih caleg kebanggaan ibu-ibu tersebut

“Dasar orang-orang aneh!” umpatnya dalam hati.

Ibu Wati ketua pendukung partai kebanggaan pun bersorak sambil menyebutkan urutan coblos yang akan mereka pilih.

“Alah, kalian harus cerdas memilih dong lihat!” Wanita bertubuh gempal tersebut menunjukkan foto pria berkumis yang merupakan mantan suaminya.

“Kalian ini nggak boleh begitu, sudah di lapangan ini woy. Semua calon baik dan tepat menjadi wakil rakyat,” jawab anak muda jangkung yang berada di barisan paling kanan.

“Lah katanya demokrasi. Kan ngak masalah.”

“Rakyat… rakyat…” ucap petugas sambil menggelengkan kepala.

Seseorang berbisik  pada teman sebelahnya “Baru dilantik kerja sehari aja merasa bukan rakyat, lah kan dia juga rakyat, huh.”

Suasana masih terlihat panas dan semakin ramai. Tepat pukul 11.00 seluruh lapangan dipadati ratusan para pencoblos untuk menentukan pilihan mereka. Terutama, di tenda enam antrian sampai dibagi menjadi empat baris dan masing-masing barisan berjumlah dua puluh dua orang. Di dalam sana memang disediakan kursi untuk peserta, tetapi tidak sesuai dengan hitungan di saat hari pencoblosan. Entah mereka tidak menghitung dari awal, atau semalam karena lelah menyiapkan segala kebutuhan sehingga lupa jika kursi sangat menjadi bahan pertimbangan mereka untuk mempercayai janji-janji manis dari calon anggota kursi rakyat.

“Tenang saudara-saudara, sampai sana kalian akan aman seperti melihat wajah saya yang tentram ini,” puji seorang calon partai sambil membusungkan dada. Semua orang melihatnya, tapi hanya dua puluh persen yang melucu ikut bersorak dengan segala tingkah laku si calon yang dianggap sok berbakat.

“Aku rasa, dia sudah latihan keras Men. Kemarin pas ngomong, di lapangan Peyek, tingkat pertanyaan untuk menyuburkan lahan aja dia bilang, harus disiram dengan minyak tanah. Lah, kan ngaur dia. Niat biar tambah untung, malah buntung. Jika nanam disiram sehari tiga kali pakai minyak tanah, bukan lagi layu, uang belanja buat istriku habis. Akan kena hantam dengan istri di rumah.”

“Hahahaha, namanya aja belum cukup umur Den. Dia sama anakku si Yanti aja masih jauh perbedaan umur. Dia sembilan belas tahun dua bulan, anakku sembilan belas tahun lima bulan. Tapi piala di rumah tersusun tu, sekarang jadi ketua BEM di kampus.”

“Emmmm pamer.”

“Lah kan, aku cuma bilang.”

Dari barisan belakang, dua ibu muda sedang mengandung. Satu memakai daster ungu, satunya lagi pakai celana longgar. Sepertinya usia kandungan wanita itu belum lama dibandingkan dengan wanita di sebelahnya. Meski begitu, mereka berdua terlihat lelah. Berkali-kali menghapus keringat di jidat dan dagunya. Tidak ada yang menawarkan mereka tempat duduk. Padahal di barisan belakang ada tiga anak muda sedang menikmati gadgednya sambil hengkang kaki di kursi plastik. Wanita itu melihat ke belakang, mencoba memberi kode agar ia dapat kesempatan untuk beristirahat. Namun, tidak digubris dan para pemuda tersebut kembali fokus pada gamenya.

“Mohon perhatian kepada semua masyarakat Kampung Mala-Mela, untuk tertib dan jangan mengadakan kampanye diam-diam. Apabila ketahuan, maka akan dilaporkan.”

Pengumuman itu mengagetkan tukang parkir wanita di depan baliho. Setiap orang yang memarkirkan motor, akan diberikan kartu caleg dengan iming-iming sebotol air mineral, roti selai nanas, dan parkir gratis. Padahal, caleg tersebut bukan hanya memberikan itu, tetapi juga  nasi bungkus plus voucher pulsa lima ribu. Namun, wanita itu melakukan manipulasi dengan hanya memberi air dan roti. Tindakannya diketahui seorang pemuda kurus karena marah tidak diberi dua roti. Ia pun mengadukan pada petugas agar puas dengan membalas dendam.

“Aulia mana?” tanya ibunya pada Satria yang baru keluar dari area lapangan.

“Wah saya nggak tahu Bu. Tadi saya ada lihat sih, cuma karena ramai jadi saya panggil -panggil, budeg Bu. Eh nggak dengar maksudnya maaf he..” Satria memasang wajah berpura-pura tidak bersalah.

Ibu Aulia merasa tidak terima anaknya dibilang budeg meski akhirnya Satria minta maaf karena mengaku silap mengatakannya. Tapi tidak perlu wanita itu pedulikan, lagi pula Satria ini memang suka bercanda.

“Ya sudah ibumu mana?”

“Sudah pulang Bu.”

“Eh kamu pilih siapa?”

“Apa ibu ini tanya-tanya, mau tahu aja kayak anaknya,” ungkap Satria dalam hati, “Ada lah Bu, pilihan jiwa,” jawabnya.

“Bilang dulu siapa?”

Lah kok maksa, dasar nenek gayung. Ungkapnya lagi dalam hati.

“Buk maaf, pacar saya udah nunggu. Izin ya Bu.”

“Tinggal jawab aja kok susah huh.”

Wanita itu menuju mobilnya dan akan segera ke pasar untuk belanja. Di hadapannya orang-orang memadati jalan untuk pulang karena pencoblosan telah usai.

Damay Ar-Rahman atau Damayanti, M.Pd. lahir di Medan 1997. Penulis adalah lulusan Pend. Bahasa Indonesia Universitas Malikussaleh dan Pendidikan Agama Islam di Pascasarjana IAIN Lhokseumawe. Asal Lhokseumawe, dan bekerja sebagai pegiat edukasi dan literasi di Banda Aceh. Karya-karyanya telah dimuat dibeberapa majalah dan berbagai surat kabar lokal, nasional, dan Malaysia.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *