CERMIN 1: Dalam Secangkir Kopi
Suatu ketika, tengah malam di bawah lampu temaram, kami duduk berdampingan menikmati sunyi dalam kehangatan secangkir kopi.
-Kalau aku jadi kopi…?
+Aku jadi cangkirnya.
-Kalau aku minum kopi…?
+Aku tetap jadi cangkirnya.
-Ah, Abang..
Kamu mendesah manja, lalu melompat ke dalam secangkir kopi. Segera aku raih cangkir, kureguk hangatnya kopi sampai tuntas ke ampas-ampasnya.
Sampai hari ini, setiap kali kureguk secangkir kopi selalu saja ada suara berkecipak terdengar di telingaku. Kaukah itu yang masih saja berenang di hatiku?
CERMIN 2: Pada Sebuah Perjalanan
Pada sebuah perjalanan, di dalam Bis Malam, kami duduk berdampingan dalam diam. Sesekali saling melirik, bergantian.
“Turun di mana, mbak?”
“Masih mikir mau turun di mana.”
“Koq?”
“Mas turun di mana?”
“Sama. Masih mikir juga.”
Perempuan paruh baya itu tersenyum. Aku mengulumnya. Bis Miring ke kiri, tubuhnya jatuh menghimpitku.
“Maaf…”
“Nggak apa-apa.”
Hidung kami nyaris bersentuhan. Bis miring ke kanan. Hidungku menyentuh pipinya. Harum parfum rembes ke jantungku, menggetarkan aliran darahku.
“Maaf…”
“Nggak apa-apa.”
Ia tersenyum, manis sekali. Mengangguk pelan dan dalam. Bis meluncur membelah kegelapan malam. Kami tenggelam dalam diam, menghabiskan sisa malam.
CERMIN 3: Cinta Maya
Semua terjadi begitu saja tanpa ada rekayasa. Seperti air mengalir. Kuberikan sisa-sisa cinta yang masih ada dalam hatiku kepadanya. Dia pun menerima apa adanya tanpa rasa terpaksa. Semata-mata ikhlas karena cinta.
“Kau telah banyak memberikan apa-apa yang selama ini belum pernah aku punya,” begitu katanya. Aku tersenyum.
Aku hanya ingin membuat kamu senang, Maya, kataku dalam hati.
“Kamu mau minta apa dariku, Mas?”
“Aku tak minta apa-apa.”
“Tapi aku ingin memberikan sesuatu untukmu.”
“Dengan senang hati aku akan menerimanya, Maya.”
“Benar?”
“Ya.”
“Ikhlas?”
“Ya.”
Sebuah ciuman mesra lalu kau berikan padaku. Aku suka dan membalasnya dengan kehangatan sebuah pelukan. Kita pun berpelukan di ruang sepi malam.
Hari-hari berlalu, cinta semakin tumbuh subur di hatiku. Pun di hatimu. Dan kita terus bercinta. Di ruang maya. Entah sampai kapan.
Cisauk, Mei 2012
Yoyok We Suwardi dikenal juga sebagai Abah Yoyok. Lelaki yang sudah tidak muda lagi ini pernah mendapat Anugrah Seni dari Dewan Kesenian Banten untuk katagori Proses Kreatif Bidang Sastra. Dia juga sebagai Pendiri dan Pengasuh Dapoer Sastra Tjisaoek dan Seksi Repot di media mbludus.com.