
Karmin tak bisa menghentikan tangisnya. Ia telah menjerit, dan meronta sekencang-kencangnya, berbagai macam cara sudah ia lakukan agar anaknya yang terbaring memejam, bisa membuka mata kembali. Namun, mata anak itu tak kunjung membuka. Karmin berusaha menggoyangkan badan dan menepok pipi anak semata wayangnya itu, namun hal itu sia-sia belaka. Karmin segera bergegas pergi meninggalkan rumah—yang tak pantas disebut rumah—untuk mencari pertolongan. Karmin berlari, membawa sebilah pisau.
Orang-orang ketakutan melihatnya. Begitu ngeri melihat Karmin dengan mata menyala terang, dengus napas memburu, dan langkah gegas tergesa. Ia berada di klinik terdekat dari tempat ia tinggal. Orang-orang berteriak bergidik ngeri. Petugas keamanan telah datang dan berusaha meringkus lelaki itu, namun dengan sekali gebrak, ia berhasil menjatuhkan petugas keamanan itu. Karmin mendobrak pintu ruangan dokter, seorang pasien langsung terlonjak dari tempat duduknya sambil mengangkat tangan. Tubuhnya menggigil dan meringkuk di sudut ruangan sambil menyatukan kedua tangannya tanda permohonan ampun. Karmin membawa paksa sang dokter yang bertugas jaga.
“Cepat ikut aku, kalau tidak, akan aku bunuh semua orang yang ada di sini!” ancam Karmin dengan mengacungkan pisau yang begitu berkilat. Dokter perempuan berkacamata itu tidak memiliki pilihan, ia segera berdiri. Karmin memintanya untuk membawa peralatan pengobatan. Dokter itu segera bergegas. Karmin langsung memiting leher perempuan itu sambil menghunuskan pisau tepat di batang lehernya. Semua orang berteriak ketakutan. Seseorang tampak menelepon polisi, namun Karmin berhasil mengajak dokter itu menjauh dari kerumunan.
Pertolongan yang diusahakannya sia-sia. Kinan sudah tidak bernapas. Denyut jantung dan denyut nadinya berhenti berdetak. Karmin membanting pisau yang ia genggam dan menggebrak dinding rumahnya yang terbuat dari papan bekas. Riana meminta maaf, namun Karmin sudah dikuasai amarah.
“Semuanya gara-gara kalian. Kalau saja, kalau saja kalian menerima anakku, mau mengobatinya, hal ini tidak akan terjadi.”
Karmin mencekik leher perempuan itu. Pandangannya seperti sorot mata iblis. Riana meregang nyawa. Karmin menghempaskan tubuh perempuan itu ke lantai rumahnya yang beralaskan kardus. Karmin terduduk ambruk. Tubuhnya tak berdaya. Ia telah kehilangan satu-satunya alasan untuk bertahan hidup. hampir saja ia menusukkan belati ke tubuhnya sendiri. Namun, seseorang memegang tangannya erat. Tangan itu mencengkeram begitu kuat.
***
Orang-orang berlarian mencari perlindungan. Mereka berteriak, melolong, dan menangis sejadi-jadinya. Banyak orang meninggalkan mobilnya begitu saja di tengah jalan. Kemacetan tidak memungkinkan mereka untuk menghindar dari serangan manusia aneh yang datang tiba-tiba. Lautan manusia aneh yang datang mengepung Jakarta. Mereka menyerang kantor, mengacaukan lalu lintas, dan bahkan membunuh setiap orang yang berhasil mereka tangkap. Beberapa petugas keamanan dan militer menembak tubuh mereka, namun tubuh mereka tidak mengucurkan darah sama sekali. Seorang ahli pedang berhasil menebas kepala mereka hingga terpisah dari tubuhnya.. Wajah kepala yang tertebas itu, memberikan seulas senyum, dan memberikan serangan balasan yang membuat ahli pedang itu tersiksa menyedihkan. Manusia aneh itu mengajak kawannya yang lain untuk memegangi tubuhnya. Mereka menarik tubuh itu berlawanan arah. Tenaga mereka sangat kuat, dan mereka baru berhenti ketika tubuh itu terbelah. Darah mengucur deras. Bau anyir darah menguar di mana-mana.
Satuan khusus militer juga dikerahkan setelah mereka berhasil mengevakuasi penduduk. Mereka berlindung di Istana Presiden. Penghuni Jakarta mengungsi ke sana. Namun nahas, apapun serangan yang diberikan, bahkan ledakan granat sekali pun, tak mampu membunuh manusa-manusia aneh itu. Serangan udara dengan rudal-rudal penghancur juga telah ditembakkan, dan mereka selalu hidup kembali setelah tubuh mereka hancur berkeping-keping. Mereka bersorak-sorai, bahkan bernyanyi.
Bangunlah, yang terkutuk di bumi,
Bangunlah, yang terpidana dan lapar,
Akal bergemuruh dalam kawah,
Inilah letusan terakhir,
Mari kita hapuskan masa lalu
Kamu budak, bangun, bangun!
Dunia akan berganti dasar,
Kita bukan apa-apa, mari menjadi segalanya (1)
Suara itu menggaung merdu. Seluruh penjuru kota Jakarta mampu mendengarnya. sebuah nyanyian yang membelah udara, namun terdengar menyayat dan mengerikan.
***
Di penjuru kota Jakarta yang lain, manusia aneh saling berperang dengan manusia aneh yang lain. Mereka seperti kelompok santri bersarung dengan blangkon memahkotai kepala melawan kelompok dengan ikatan kain merah di kepala. Mereka saling serang dan menghardik. Tetapi setiap kali ada yang tumbang ke tanah, tak lama kemudian mereka berdiri kembali dengan segar bugar. Tak ada yang mati. Siang malam, mereka tak berhenti berkelahi. Tak kenal lelah, dan tak ada darah yang tertumpah.
Pondok bobrok, langgar bubar, kiai mati! (2)
Pondok bobrok, langgar bubar, kiai mati!
Pondok bobrok, langgar bubar, kiai mati!
Di tengah pertarungan, mereka melontarkan slogan-slogan itu dengan lantang. Dan setiap kali manusia aneh yang seperti santri itu mendengar slogan itu, mereka menyerang semakin garang. Meski kalau dilihat secara jumlah, mereka yang berkain merah lebih banyak, namun secara kegesitan bertarung, mereka yang bersarung lebih menguasai medan pertempuran. Perkelahian itu berlangsung, di tengah kepanikan warga yang melanda.
***
Tidak ada gawai, tablet, maupun ponsel pintar yang bisa dihidupkan. Semua alat komunikasi telah rusak. Mereka hanya duduk menunggu kepastian tentang keputusan Presiden dalam mengatasi persoalan ini. Jun melihat orang-orang. juga melihat wajah muram pada setiap wajah yang dilihatnya. Beberapa orang tampak berangkulan. Bahkan Jun juga melihat, betapa para bule juga sangat akrab dengan para penduduk Indonesia. Seseorang menepuk bahunya. Ia menoleh dan tercengang melihat siapa yang sekarang berada di sampingnya. Bosnya yang hampir memecatnya.
“Aku meminta maaf Jun. Kita melewati hari-hari yang berat. Entah sampai kapan kita dalam keadaan seperti ini.”
Perempuan itu duduk di sampingnya. Mereka duduk memandang langit mendung yang mengurung. Sejak kemunculan manusia aneh itu, langit cerah tidak pernah tampak. Sinar matahari, seperti enggan bersinar lagi. Entah apa yang tengah terjadi.
***
Karmin tak percaya, seseorang yang menggenggam tangannya bisa menghidupkan orang mati dengan satu jentikan jari. Maka ia membuktikan ucapan itu di hadapannya. Ia menghidupkan Kinan dengan sekali jentik. Karmin terperangah dengan keajaiban itu. Maka Karmin dengan kekagetan yang luar biasa segera memeluk Kinan. Tangis kebahagiaan tak mampu ia bendung. Air matanya menderas. Karmin bahkan menangis sampai terdengar senggukan. Setelah berpuas melepas kerinduan dengan anaknya, Karmin menatap orang itu dengan saksama. Rambut lelaki itu keriting, dan sangat tebal. Sebelah matanya picak, dan sebelahnya lagi agak menonjol ke depan, seperti hendak keluar. Tubuhnya agak bongkok, dan memiliki lubang hidung yang besar. (3)
“Aku adalah Tuhan. Kamu percaya?” sapa orang itu.
Karmin lama merenung. Tetapi dia mengangguk pelan, sedikit ragu.
“Aku akan memberimu kekuatan yang tiada tara untuk membuktikan bahwa aku adalah Tuhan. Menghidupkan orang mati. Aku akan membantumu membalaskan dendam kepada orang-orang yang menelantarkanmu. Berani-beraninya mereka. Mereka pantas mendapatkan azab yang pedih.” katanya lantang percaya diri. Semula Karmin tidak begitu percaya dengan apa yang ia katakan, namun ketika ia melihat sesuatu yang bangkit dari tanah di halaman rumahnya, ia ternganga. Takjub melihat keajaiban yang baru saja ia lihat pertama kali di dalam hidupnya.
***
Karmin telah membawa Kinan ke rumah sakit, puskesmas, dan klinik terdekat. Semuanya menolak. Karmin tidak memiliki identitas yang jelas, dan tidak memiliki uang yang cukup untuk berobat. Tidak ada barang berharga yang bisa ia jadikan jaminan pembayaran pengobatan. Sementara kartu identitasnya lenyap ditelan kebakaran beberapa tahun lalu. Ia hendak mengurus, namun birokrasi di tempatnya tinggal dirasa berbelit-belit, meminta sejumlah ongkos untuk mengurus administrasi. Karmin juga dianggap penduduk ilegal oleh ketua RT dan kepala desa. Ia menempati bangunan yang tidak layak digunakan sebagai tempat tinggal. Kardus sebagai alas, dan papan sebagai dinding ruangan. Setiap hujan, selalu ada air yang merembes ke dalam rumah. Kinan merasa tak nyaman, namun Karmin tidak memiliki uang yang cukup untuk mengajak anak semata wayangnya hidup di tempat yang layak.
Maka Karmin ingin menuntaskan dendamnya. Mereka berdua duduk di depan emas yang menyala terang jika malam tiba. Tidak pernah ada lembaga yang benar-benar ingin membantu hidupnya. Untuk apa birokrasi kalau tidak bisa mengayomi. Ia senang dengan Jakarta yang begitu kalut. Gedung-gedung pencakar langit ditinggal penghuninya, mobil-mobil ditinggal pengendaranya di sepanjang jalan. Ia ingin menghancurkan Jakarta, dan ia akan menjadi pemimpin di sana sesuai dengan apa yang dijanjikan oleh orang bermata satu.
***
Manusia aneh telah berhasil mengepung istana.
“Kami menuntut keadilan. Kami dibunuh tanpa sebab yang jelas. Kami ingin pembunuh-pembunuh kami diadili!” salah seorang dari mereka berteriak lantang.
“Jika tidak ada keadilan, maka kami akan berbuat keadilan dengan cara kami sendiri!” ancam salah seorang warga yang menjadi kelompok orang aneh itu.
Pasukan bersarung dihalang di tengah jalan supaya mereka tidak bisa sampai ke Istana Negara.
“Lalu bagaimana dengan kami yang kalian bunuh semena-mena hanya karena menolak sistem negara sama rasa sama rata?” jawab selah seorang bersarung tak kalah garang. Rupanya ia berhasil menyelinap kerumunan.
Tuan Presiden menghela napas panjang. Jika tidak diselesaikan dengan bijak, maka kerusuhan ini akan berkepanjangan. Wajahnya berkerut, butir keringat membasahi seluruh tubuhnya. Masih belum ada suara yang keluar dari bibirnya.
Tiba-tiba seseorang membelah kerumunan. Jalannya tertatih, namun tidak ada yang berusaha membantunya. Semua orang serasa mengenal wajah itu. Memakai jas cokelat, songkok, dan kacamata hitam. Tuan Presiden terbelalak melihat lelaki yang tampak ringkih itu. Maka beberapa pengawal segera memapahnya dan menaikkan ke atas podium Tuan Presiden. Semua mata terpana ke arahnya.
“Saudara-saudara sebangsa dan setanah air. Aku bersama para pemimpin kalian terdahulu mendirikan bangsa ini, bangsa Indonesia tidak untuk saling memusuhi. Kalian saudara, sebangsa. Keringat dan darah kalian telah menyatu di atas tanah ini. Maka perselisihan yang tak seberapa itu, menjadikan kalian saling bermusuhan satu sama lain. Aku sudah mendengar apa yang terjadi. Tetapi, jika kalian memilih untuk memelihara dendam, maka tidak akan pernah ada dendam yang benar-benar tertuntaskan! Dan jika kalian memilih untuk memaafkan, maka kalian akan kembali ke tanah sebagai jiwa yang dimuliakan. Bukan tanpa alasan Jakarta mampu bertahan sebagai ibukota sampai sekarang, pusat pemerintahan dan administrasi. Tidak ada yang pernah benar-benar menjadi permusuhan abadi. Kerusuhan yang kalian buat untuk menumbangkan Jakarta akan percuma. Di sini, berbagai macam suku bangsa bisa hidup berdampingan, berbagai bahasa bisa dipelajari. Dan di sinilah, toleransi yang bisa kita contoh sehari-hari. Meski teknologi telah menggantikan cara berkomunikasi kita, tetapi selama Jakarta masih berdiri, tidak akan ada yang berhasil mengusik negara ini. Kerusuhan macam apapun, akan teratasi!”
Mereka berdengung. Saling bergumam satu sama lain. Suara itu menggelegar membelah udara. Niat mereka untuk datang ke Jakarta malah dijawab dengan hati yang harus memaafkan. Wajah-wajah orang aneh itu tertunduk. Mendung yang mengepung terbelah, sinar matahari menyeruak perlahan. Manusia-manusia aneh itu, mengingat benar apa yang disampaikan lelaki yang berada di podium itu. tidak ada dendam yang benar-benar bisa tertuntaskan. Angin menghempas. Tubuh-tubuh itu menyerpih menjadi abu. Terbang dibawa angin ke tempat yang jauh. Saat Tuan Presiden menjawab orang aneh yang berada di podium, tiba-tiba angin juga membawa tubuhnya pergi. Ia hanya meninggalkan senyumnya yang khas, yang mungkin sulit dilupakan. Orang-orang bersorak sorai, Jakarta akan hidup kembali.
Ciputat, 15 Mei 2019
Rumadi, lahir di Pati 1990. Menulis cerpen. Saat ini aktif di FLP Ciputat dan komunitas Prosatujuh. Cerpennya dimuat berbagai media cetak dan daring. Buku pertamanya yang akan terbit berjudul Melepaskan Belenggu akan diterbitkan oleh Penerbit Jagatlitera. Penulis bisa dihubungi lewat Whatsapp 085711734787 atau instagram @pendekar_hati.