Jalu acapkali tak yakin jika ibunya—dan orang-orang saleh di kampung—mengatakan iblis tercipta dari api. Ia tahu ibunya berkawan dekat dengan api dan selalu terlihat bahagia ketika dapat menyalakannya lebih pagi.

“Jangan dekat-dekat ya, Le.” Acap terngiang pesan ibunya ketika ia sesekali membantu menambahkan kayu bakar ke dalam tungku.

Seandainya bisa berkata, seolah Jalu lebih condong pada pemikiran bahwa Tuhan mencipta sesuatu bukan di langit, di surga, atau di tempat-tempat yang tidak ia ketahui keberadaannya. Bukan pula dari api, tanah atau cahaya yang sudah jelas ia ketahui kegunaannya. Ia belum genap dua belas tahun, hanya lebih sering menduga iblis diciptakan dari rasa nikmat yang kerap membuatnya diliputi dosa. Pemahaman itu ia peroleh sejak memasuki usia remaja, di tempat yang tidak jauh-jauh pula. Awalnya ia hanya merasa canggung ketika sedang enak-enaknya makan, seekor kucing milik tetangga mengiba dengan tatapan entah di depannya.

Pada waktu yang lain ia mendapati kenyataan iblis tercipta di kepalanya, ketika melihat ketelanjangan bibi dari celah dinding bambu yang membatasi kamar mandi dengan tempat tidurnya. Itulah kali pertama ia mengerti asal-usul iblis, tatkala sesuatu dalam dirinya seolah meronta, darah yang mengalir di dalam tubuhnya menghangat serupa tungku, ketika menyaksikan lekuk-tonjolan tubuh perempuan di depan mata. Ia pikir iblis pula kala itu, membuat kakinya gemetar lalu terkencing-kencing nikmat, sebelum kemudian ia sadari seorang perempuan lain telah berdiri di belakangnya.

“Jalu, apa-apan kau ini!” Suara emak mengagetkan.

“Cuma ngelihat kok, Mak.” Jalu tak menemukan alasan lain.

“Awas kalau kau ulangi lagi,” hardik emak dengan mata tajam.

Sejak peristiwa itu, Jalu kian terlatih menggunakan telinga, mengasah pendengaran setajam mata. Sekalipun ia tahu, kehadiran iblis paling dibenci oleh orang-orang yang patut ia teladani, entah ibu atau ustaz yang mengajarinya alif ba ta. Lambat laun kepekaannya meningkat dalam hal meramu suara dan menjaga kewaspadaan dari campur tangan orang-orang teladan itu. Terlebih emak yang ia anggap sudah seperti malaikat, tak perlu tahu perihal iblis yang diam-diam ia pelihara.

Sekali waktu ia pernah tergelincir, kurang teliti dalam mengartikan suara kecipak dan siraman air yang terdengar. Sampai sampai ia kelewat menyumpahi iblis kala menyaksikan keriput dan gelambir perempuan yang melahirkan ibunya. Bukan kenikmatan ia dapatkan, tetapi justru rasa mual menjadi-jadi, disertai bayangan pedihnya siksa neraka.

Perihal kesalahan itu, ia tak dapat menimpakan sepenuhnya kepada iblis. Ia merasa dungu, semakin berhati-hati, menyadari keteledorannya jika masih berharap iblis di kepalanya tak diketahui orang lain. Ia hanya bisa berharap, ada banyak kenikmatan dan kepuasan lain bila mau belajar kepada iblis, meski tak pernah sekali pun ia melihatnya.

Ah, Jalu sadar telah menanam harapan itu terlalu berlebihan. Apalagi ia maklumi keberadaannya di kampung yang jauh dari tempat-tempat hiburan. Tetapi ia tak bisa memungkiri tekad itu ketika pada satu siang yang sepi, melihat ayahnya bergelut hebat dengan bibinya sendiri. Ia geming tertegun di depan pintu kamar, menahan buncah di jantungnya, sembari menatap bibi yang terperanjat gamang saat bersitatap dengannya. Tak pelak ia turut larut merasakan suatu gelora, atau sekadar terbayang kembali tubuh telanjang tempo hari. Bahkan ia bertambah yakin bahwa iblis tak kenal waktu dan tempat dalam mengajarinya.

Keyakinan itu kembali terbukti ketika Jalu asyik berburu belut bersama teman-temannya. Seorang janda muda yang tinggal di ujung desa memanggilnya, ketika segulungan awan di langit hendak tumpah, membuat teman-temannya gegas memacu langkah pulang ke rumah. Berkat lambaian tangan pada mulanya, lalu keuletan perempuan itu memandunya, Jalu terbaring pasrah. Saat itulah pertama kali ia benamkan ketegangan yang meronta di antara dua kakinya, ke lembabnya liang perempuan. Ia terima pelajaran iblis yang kesekian, kenyataan tertindih kenikmatan, terdesak kepuasan yang meledak-tumpah di sore yang hujan. Sesuatu terkulai setelahnya, termasuk kesadaran Jalu merayap buncah ketika dada kelapa gading muda itu kembali tertutupi pakaiannya semula.

“Pulanglah, orangtuamu pasti khawatir,” saran perempuan itu.

“Mbak sendirian?” Jalu terheran.

“Apa perlunya kau tahu?” sembari melepas kepulangan Jalu dengan seikat sayuran dibebat pelepah pisang.

Sementara di perjalanan, tanpa ia ketahui kedua orangtuanya baru saja menyelesaikan satu pertengkaran hebat. Tak hanya kata-kata melesat, tetapi juga pisau dan pecahan beling tertancap. Ibunya terluka, sementara ayahnya tersungkur seketika belakang kepalanya terkena hantam botol minuman yang belum habis ditenggaknya.

Iblis menjelma mendung hitam di luar sepengetahuan Jalu, saat ia masih mengeja sisa  kedutan di selangkangan dalam perjalanan pulang, dari kejauhan terlihat bibi berlari mendekat lalu menghamburkan pelukan dan tangisan maaf.

Ian Hasan, kelahiran Ponorogo, saat ini bergiat di Sanggar Pamongan Karanganyar. Menggambar, menulis dan bertani adalah kegemaran lain yang sedang ditekuni, selain terlibat di beberapa komunitas, termasuk Komunitas Kamar Kata. Menyukai klepon, kain udeng, tembakau lintingan, dan kekayaan produk tradisi lainnya.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *