TENTANG KATA*
Maman S Mahayana
Dosen FIB Universitas Indonesia
DIKTATOR. Ini sebuah kata yang menakutkan. Maknanya pun bermacam- macam, bergantung konteks, situasi dan mayarakat pemakai. Secara etimologis, kata ini berasal dari bahasa Latin, dictatore, dictator (oris), dictare, dictatura (ae). Maknanya perintah, komandan, pemimpin. Dalam kamus Latin—Indonesia (Ver Hoeven dan Marcus Carvallo, 1969), ada lima makna menyertai kata diktator, yaitu orang yang mengimlakan, yang berperintah, panglima tertinggi, diktator, panitera, pengarang, penggubah. Tetapi dalam kamus yang lain (K. Prent, dkk., 1969), diktator bermakna penguasa luar biasa di Roma dalam keadaaan amat genting yang dipilih paling lama enam bulan; diktator yang dipilih dalam perkara yang tak berapa penting; magistrat tertinggi di beberapa kota.
Keterangan Prent sejalan dengan penjelasan dalam Webster’s Dictionary (1979) bahwa pada zaman Romawi kuno, diktator adalah seorang hakim yang diangkat oleh senat dalam masa darurat dan dilantik dengan hak mutlak. Hal serupa diungkapkan Winarsih Arifin dan Farida Soemargono (Kamus Prancis—Indonesia, 1991): dictature adalah (pada bangsa Romawi) jabatan yang tertinggi.
Dalam bahasa-bahasa yang menyerap pengaruh Latin, diktator hampir selalu dimaknai sebagai penguasa mutlak yang kekuasaannya tak terbatas. Dalam bahasa Indonesia (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1991) diktator bermakna kepala pemerintahan yang mempunyai kekuasaan mutlak terutama diperoleh melalui kekerasan atau dengan cara yang tidak demokratis. Pengertiannya hampir sama dengan penjelasan Satjadibrata (Kamus Bahasa Sunda, 1954), pemimpin yang memerintah sekehendak yang juga tak berbeda dengan Poerwadarminta (Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1976), orang yang memegang kekuasaan pemerintahan dengan tidak terbatas. Tetapi dalam Kamus Indonesia Ketjik (E. St. Harahap, 1949) dictator adalah pemerintah yang tak terbatas kuasanya.
Sementara itu, dalam Kramers Engels Woordenboek (1951) kata diktator mendapat tambahan makna sebagai gebiedend, “perintah”. Beberapa kamus lain hampir selalu menghubungkan kata diktator dengan kepala atau pemimpin pemerintahan. Webster’s Dictionary (1979) menyebutkan pula diktator sebagai seseorang yang membaca dengan suara keras atau mengeja (mengimla) kata yang akan ditulis pendengarnya. Keterangan sejenis juga terdapat dalam kamus Prent, dan Ver Hoeven—Carvallo. Jadi dalam kamus itu, kata diktator cenderung bermakna netral dan tidak berkonotasi negatif.
***
Mengapa untuk satu kata diktator saja maknanya bisa bermacam- macam? Di sinilah keunikan bahasa. Karena bahasa itu dinamis, boleh jadi suatu saat kelak kata diktator lebih bermakna netral atau bahkan mungkin positif. Bagaimanapun, bahasa terus berkembang mengikuti perjalanan peradaban manusia. Selama masyarakat masih menggunakannya, selama itu pula bahasa secara konstan mengalami perkembangan. Di dalamnya termasuk perluasan dan penyempitan makna sebuah kata. Itulah salah satu sifat asasi semua bahasa di dunia, tidak terkecuali bahasa Indonesia.
Sebagai bahasa yang usianya relatif baru, bahasa Indonesia termasuk salah satu bahasa yang perkembangannya amat pesat. Secara kultural, bahasa kita paling gampang menerima unsur asing. Masuknya kebudayaan India kemudian diterima dan mengakar di Nusantara, dengan enteng diadaptasi oleh kebudayaan setempat. Begitu pula ketika Islam masuk. Unsur yang sama datang dari Jepang, Cina, Eropa. Semua berbaur menjadi “masakan” yang khas Indonesia. Kita pun lalu mengklaim, itu sebagai bagian dari kebudayaan kita, dari mana pun asalnya unsur- unsur itu.
Dalam bahasa, masalahnya cukup pelik. Soalnya unsur asing ada yang seluruhnya atau sebagian yang diserap. Atau mungkin cuma tulisan atau ucapannya saja. Maka amat mungkin terjadi pergeseran dan perubahan makna. Nagari dan bureau, misalnya, menjadi negeri, biro; dan Holland menjadi Holanda atau Belanda, Olanda, Walanda, Walondo. Dalam hal makna, semua kata itu tidak mengalami perubahan. Namun, untuk kata haram (Arab: suci) orang cenderung memaknainya sebagai terlarang. Kata lain yang juga mengalami perubahan makna, misalnya, in de hooi yang secara harfiah bermakna “di balik rumput atau semak” menjadi “pacaran”.
Kata yang artinya individu atau seseorang, yang semula bermakna positif, menjadi negatif. Dalam agama Katolik, kesatuan antara Bapak, Anak, dan Roh Kudus dipandang sebagai tiga oknum keesaan Tuhan (KBBI, hlm. 700; KUBI, hlm. 683). Sementara itu, kata gerombolan semula bermakna netral sebagai sekelompok atau serombongan orang, kini cenderung bermakna negatif. “Oknum” digunakan untuk orang yang sering melakukan kegiatan yang tidak baik, sedangkan “gerombolan” mengacu pada pasukan DI/TII yang kerap melakukan keonaran ketika mereka melakukan pemberontakan.
Kata budak, kini juga bermakna negatif. “Budak” yang semula berarti “anak-anak” (netral), kini berkonotasi negatif karena berasosiasi pada “budak belian”.Maka kemudian, muncul ungkapan, “memperbudak, diperbudak dan perbudakan”. Demikian juga dengan kata “korupsi” (corrup; corruption yang berarti “jahat, buruk, curang, penghilangan”) kini cenderung selalu dihubungkan dengan masalah manipulasi uang.
***
Sesungguhnya, amat banyak contoh yang dapat dikemukakan. Jika didaftar, niscaya akan menjadi kamus tersendiri. Sebuah kata dalam bahasa mana pun akan selalu mempunyai lebih dari satu makna. Makna itu pun akan terus mengalami pergeseran, meluas atau menyempit, bergantung pada konteksnya. Kata “bunga” yang bermakna “kembang”, misalnya, terus mengalami perluasan makna. Akibatnya, kita akan dengan mudah memahami ungkapan, “bunga desa, bunga malam, bunga bangsa, bunga hati”. Makna ungkapan kata itu kini sama sekali tidak ada hubungannya dengan “bunga” dalam arti “kembang”.
Demikianlah, kita tak perlu terpaku pada suatu makna yang menyertai sebuah kata. Keterpakuan seperti itu tidak hanya mempersempit cara berpikir kita, namun juga berarti menafikan kenyataan fitrah bahasa yang dinamis. Persoalannya amat berbeda dengan penghilangan atau penambahan sebuah kata di dalam konteksnya. Ia akan mengubah dan menyimpangkan makna konteks itu.
Sebagai contoh, cermatilah kalimat ini: kemarin gadis cantik itu mencium saya. Tambahkan kata juga di awal atau akhir kalimat, menjadi (1) Juga kemarin gadis cantik itu mencium saya; (2) Kemarin gadis cantik itu mencium saya juga. Nah, kita dapat melihat bahwa makna ketiga kalimat itu berbeda, hanya lantaran ada penambahan kata juga. Kalimat (1) berarti, bahwa gadis cantik itu mencium saya lebih dari satu kali (kemarin dan sekarang); sedangkan pada kalimat (2) berarti, bahwa gadis cantik itu mencium kepada lebih dari satu orang (orang lain dan saya).
Begitulah. Soal makna kata dalam bahasa mana pun, sepatutnya kita tak bertindak sebagai diktator, seperti halnya kita tak meributkan kenaikan harga yang dinyatakan sebagai “penyesuaian harga”. Jadi, dalam soal makna, hendaklah kita bertindak luwes, sedangkan dalam soal penghilangan kata dalam sebuah teks apa pun, mestinya kita bersikap tegas, karena hal itu menyangkut “korupsi bahasa”. Dalam hal ini, mungkin sangat pas kredo penyair Sutardji Calzoum Bachri, bahwa “kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri”.
* Dimuat Harian Media Indonesia, Minggu, 22 Oktober 1995.
Artikel ini untuk menanggapi sebuah peristiwa yang membawa Permadi, S.H. masuk penjara (Oktober 1995). Ketika itu, Permadi mengatakan, bahwa dalam hal tertentu, Nabi Muhammad SAW bertindak seperti diktator. Karena waktu itu Golongan Karya (Golkar) sedang berada pada puncak kekuasaannya, pernyataan Permadi ini konon kemudian direkayasa. Permadi pun didakwa telah menghina Nabi Muhammad SAW. Ia diajukan ke Pengadilan Yogyakarta. Maka, hanya karena kata diktator itulah, Permadi akhirnya masuk penjara. Judul artikel ini sebenarnya “Diktator”. Karena mungkin dianggap sensitif waktu itu, redaksi mengubahnya menjadi “Tentang Kata”.