
Kisah Suku Naga
Suatu hari ketika saya sedang berada di Garut kota kelahiran saya, terbetik keinginan untuk kunjungi satu Desa Adat yang berada di tanah Sunda bernama Kampung Naga. Kemana saja saya, setelah hampir 6 windu hidup di dunia, dan melihat banyak tempat di muka bumi, mengapa tak sekali pun saya injakan kaki ke satu area berbeda?
Maka, hari itu selesai makan siang, pergilah saya diantar keponakan mengendarai mobilnya. Setelah berkendara 45 menit, saya tiba di desa Neglasari, perbatasan Garut- Tasikmalaya. Segera simbol raksasa berbentuk Kujang atau lambang senjata Sunda terlihat. Kujang asli terbuat dari 999 benda pusaka yang dilebur menjadi satu. Mengandung emas perak dan tembaga. Benda yang tingginya 5 meter itu terpancang gagah.
[iklan]
Tak sulit masuk ke sana. Hanya membayar tiket parkir seharga 10 ribu, kami lalu didatangi seorang pria berpakaian tradisional Sunda bernama Ijad yang memperkenalkan diri sebagai pemandu. Ijad adalah salah satu Sanaga atau suku Naga yang tinggal di luar. Meski orang tuanya masih tinggal di dalam komplek kampung Naga.
Dimulai dengan menuruni anak tangga yang jumlah keseluruhannya adalah 444, saya diajak mengetahui apa yang ingin saya ketahui tentang kampung ini. Apa yg ingin saya ketahui? Asal usul dan nenek moyang mereka, kang Ijad tak bisa menjelaskan.
Pada tahun 1956 kampung Naga dibakar gerombolan DI/TII karena mereka mengakui pemerintahan Soekarno dan dianggap musuh oleh kelompok itu. Sejak saat itu mereka Paremeun Obor yang artinya mereka gelap dengan sejarah masa lalu mereka. Karena segala catatan atau manuskript sejarah tentang asal-usul dan siapa leluhur mereka sudah terbakar habis.
Mengapa disebut Kampung Naga? Entahlah. Mungkin singkatan dari Na Gawir? Artinya di lembah. Karena memang kampung yang luasnya 1,5 hektar ini terletak di lembah. Dilewati sungai Ciwulan dengan batu-batu besarnya. Di seberangnya atau sebelah barat Kampung Naga itu ada hutan yang disebut Hutan Larangan. Dimana tak ada seorang pun yang boleh memasukinya. Meski hanya untuk mengambil ranting.
Kampung Naga memiliki 101 kepala kaluarga 112 bangunan, 1 Masjid, 1 Bale Kampung dan 1 Lumbung. Kamar mandi, jamban dan lisung (tempat untuk menumbuk padi) tak dihitung.
Mereka masih memegang adat leluhur, bahwa: Mipit kudu amit–Ngala kudu menta/bebeja. Artinya, Memotong harus pamit- Mengambil harus bilang (kepada si Empunya semesta). Mereka semua kini sudah memeluk Islam.
Tak ada saluran listrik di Kampung Naga. Tak ada televisi. Mereka masih menggunakan lampu tempel dari minyak tanah. Mereka memperlakukan alam sedemikian bijaksana. Mereka tak mau merusak lingkungan. Meski sekarang ini mereka kewalahan dengan sampah plastik bawaan pengunjung , walaupun tempat sampah ada di mana-mana.
Saya suka dengan suasananya. Setiap rumah adalah berhadapan. Gunanya agar setiap tetangga bisa saling jaga. Siapa yang lapar atau pun sakit. Berbeda dengan orang kota yang saling bersaing. Karena di sini justru saling tolong menolong dan menghindari sesuatu yang kiranya dapat membuat orang lain cemburu.
Saya melihat kocoran air yang bening mengalir lewat pipa-pipa paralon. Berasal dari sumber mata air yang berasal dari gunung Cikuraya dan tak berhenti mengalir. Sesuatu yang datang dari Alam. Semua rumah di sana terbuat dari ijuk dan berlantai (palupuh) bambu. Paling atas bisa difungsikan untuk tempat penyimpan. Tengah dihuni manusia dan dibagian bawah untuk ternak (ayam dan bebek).
Saya juga suka dengan mesjidnya. Terbuat dari bambu. Dengan kentongan dan bedug raksasa sebagai penanda jika waktu sholat telah tiba.
Ibu-ibu mengambil tutut di sawah. Memasaknya. Seorang nenek menumbuk padi. Suara domba dan anak kambing. Juga pohon-pohon pisang dan pepaya yang berbuah sepanjang jalan. Oh…ada palawija juga. Lalu sawah yang baru sebulan ditanami. Langit biru plus pohon-pohon kelapa. Semua yang saya lihat adalah indah. Tak perduli di sana ada hutan keramat di mana ada banyak makam-makam leluhur, Eyang SINGAPARNA salah satunya, tapi saya tidak takut.
Alam jeung lingkungan leweung lain rusakeun tapi rawateun sareng rumateun. Itulah petuah leluhur yang mereka jaga. Artinya, alam dan lingkungan hutan bukan untuk dirusak tetapi untuk dijaga dan dilestarikan. Harusnya kita malu. Karena, mereka-mereka yang justru dianggap tak modern tapi berpikiran lebih maju dan arif dibanding manusia yang konon modern.
Mereka tak setuju ketika alam disalahkan. Kerusakan alam itu tak ada jika manusia mau bijaksana dalam memperlakukan alam. Tuhan sudah menciptakan semesta dengan segala habitatnya. Tentu harus dijaga keseimbangannya. Bukan soal urusan Tuhan yang Murka. Jika bukan karena manusia yang merusaknya. Tak akan ada alam yang rusak, justru ahlak dan moral manusia yang rusak. Itu hikmah yang saya ambil selama berjalan mengitari Kampung Naga bersama kang Ijad.
Sore itu cuaca mendadak mendung . Saya bergegas menuruni gangseng atau bebatuan yang disusun alami tanpa semen dan pasir. Kemudian saya keluar Kampung Naga, menapaki tangga yang jumlahnya 444 tadi. Cukup membuat nafas terengah-engah ternyata.
Sembari menapaki anak-anak tangga , Ijad lalu bercerita… Dia jadi ingat ketika tahun 80an bagaimana banyak orang tiba-tiba menjadi penggemar burung. Segala jenis burung cantik nan langka banyak diburu lalu di jual ke kota. Tak lama kampung-kampung sekitar diserang hama ulat. Panen gagal dan musim paceklik. Jika saya pikir… tentu saja Alam menjadi tak seimbang. Hama wereng dan lain-lain seharusnya habis dimakan burung karena itu makanan mereka. Tetapi ketika burung-burung sudah tak ada lagi? Ah, Sudah lah…
Saya jadi teringat akan sebuah pepatah lama yang mengatakan: Alam sudah hidup lebih dari jutaan ribu tahun yang lalu, karenanya dia bijaksana. Dia akan mengajarkan kebijaksanaan melebihi orang-orang yang kau anggap pintar. (Cikeu Bidadewi)