Obituarium: Sapardi Djoko Damono

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

***

Juni telah lewat. Dan Juni adalah salah satu bulan yang mungkin patut dikenang. Dikenang dengan hujannya. Hujan Bulan Juni.

Peristiwa hujan di bulan Juni barangkali sekarang-sekarang ini sudah tidak menjadi fenomena langka lagi. Peredaran musim yang sepertinya tidak mengenal siklus lagi, membuat hujan bisa terjadi di bulan kapan pun. Termasuk di bulan Juni.

[iklan]

Namun tidak pada dekade-dekade sebelumnya, ketika musim masih setia mencintai dan merawat siklusnya.

Hujan akan tidak mungkin terjadi di bulan Juni. Kalau toh terjadi, itu akan menjadi sebuah peristiwa yang akan sangat langka. Akan menjadi sebuah paradoks.

Juni masih merupakan musim kemarau, bahkan hampir mencapai puncaknya.

Dan karena itu pulalah sepertinya Sapardi menuliskan sajak Hujan Bulan Juni-nya.

Peristiwa hujan yang pernah ditemuinya turun di bulan Juni, membuatnya melahirkan puisi tersebut. Hujan Bulan Juni, yang kemudian menjadi judul pula yang merangkum 102 puisinya dalam sebuah antologi, yang sepertinya ingin mengutarakan eksistensinya di jagad sastra.

***

Kini, penyair tersebut telah pergi. Berpulang kepada Sang Maha pemilik.

Sapardi yang lahir di Surakarta 80 tahun silam, pagi ini, 19 Juli 2020, telah menghembuskan nafas terakhirnya di sebuah rumah sakit di Serpong, Tangerang Selatan, tidak jauh dari tempat tinggalnya di kompleks Perumahan Dosen UI, Ciputat, Tangerang Selatan.

Sapardi barangkali memang sebuah hujan di bulan Juni. Kehadirannya akan mengabadi.
Sugeng tindak, Sapardi. Selamat jalan.
(DK)

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *