Begini, saya ingin menyampaikan kisah yang sifatnya hanya pendapat. Terserah mau dianggap benar, kisah nyata, atau apalah. Saya punya kawan yang berinisial F. F ini punya kebiasaan baru, yaitu menjelek-jelekkan orang lain di media sosial. Di dalam pendapatnya, ia mengutip suatu ayat dari Alquran yang jelas-jelas tidak ada sangkut pautnya. Dari mana saya mengetahui kalau pendapatnya dan ayat Alquran tersebut tidak ada hubungannya? Kalau mau membuka pikiran, dengan cermat kita bisa menganalisis kalimat-kalimat yang ia bangun, lalu mempelajari ayat Alquran yang dikutip, sesuai atau tidak. Selain itu, saya berusaha membuka kitab tafsir untuk mengetahui asal mula dan tujuan diturunkannya ayat tersebut. Celakanya, banyak orang yang mengamini pendapat F, dan membagikan pendapatnya tersebut dengan cara mengetuk ikon share. Anjrit.

Hanya karena mendengar pernyataan dari idola dan kesepakatan banyak orang, dengan semena-mena kita menggunakannya sebagai “senjata” untuk menyerang orang lain yang tidak sependapat. Seolah-olah kita adalah makhluk bersih dan paling benar di alam semesta. Di pikiran kita saat ini pasti muncul pertanyaan, “Salah nggak sih?”

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, saya akan mengajukan pertanyaan lain, “Penting nggak sih?” mungkin, setelah ini akan muncul pertanyaan-pertanyaan lain yang juga membutuhkan jawaban. Kalau menurut kita tidak penting, jangan lanjut membaca pendapat saya ini, tapi jika menurut kita penting, silakan lanjut membaca.

Dari kisah di atas, saya mempelajari beberapa hal. Pertama, saya harus berhati-hati dalam berucap. Apalagi ketika mengutip Alquran sebagai kitab suci agama Islam (dan tentu saja kitab suci agama lain juga). Kedua, saya harus cermat ketika membaca atau mendengar suatu pendapat. Ketiga, jangan malas untuk mengecek suatu fakta, kebenaran, bahkan sumber lain yang berkaitan dengan pendapat tersebut. Dari sini, saya akan mengajak para pembaca untuk memulai berpikir dengan benar.

Ketika kita diberikan suatu pendapat, hendaknya kita membuka diri dengan suatu pertanyaan. Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut  pikiran kita akan bergerak mencari data, fakta, dan pendapat lain. Lalu secara sadar kita akan menarik kesimpulan dari data, fakta, dan pendapat-pendapat lain yang kita dapatkan. Secara alur berpikir, kita tidak bisa menarik kesimpulan terlebih dahulu, lalu mengumpulkan data-data untuk mendukung pendapat kita. Hal tersebut sangat berbahaya, karena kita hanya akan memilih pendapat dan data yang sesuai keinginan kita, sedangkan yang tidak sesuai akan diabaikan. Di sisi lain, kebenaran memiliki sifat mutlak, dan tidak tebang pilih sesuka hati berdasarkan apa yang kita mau. Dunia ini bukan punya saya atau kamu doang. Orang lain ngontrak gitu?

[iklan]

Kemudian, penarikan kesimpulan itu tidak bisa asal-asalan. Dari data, fakta, dan pendapat yang kita temui, haruslah ditarik kesimpulan yang masuk akal. Supaya kesimpulan yang logis dapat diterima oleh semua orang dan dapat dianggap sebagai satu kebenaran.

Rumit ya?

Dengan metode berpikir seperti itu, kita akan semakin cermat dalam menghadapi suatu masalah, rasional dalam memberikan jawaban, dan tentu berhati-hati dalam menyampaikan suatu pendapat. Kehati-hatian seperti ini akan membuat kita tidak mudah mengklaim orang lain salah, dan kita paling benar.

Saya jadi teringat judul yang saya tulis, “Sekaleng Kopi dan…” kalau tidak ada sekaleng kopi yang ngopi aja di gelas beling. Kalau tidak ada gelas beling ya pakai gelas plastik. Toh masa kini orang-orang lebih senang ngopi dengan gelas plastik. Tidak ada hubungannya sih, semoga di tulisan berikutnya ada sekaleng kopi beneran. (SN)

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *