Sebatas Jejak

Thaifur Rahman Al-Mujahidi

Tatapannya kosong. Bak malam tanpa purnama, hitam legam. Hidup dalam gantungan harapan yang tak berujung pada anggukan kesungguhan. Menepis segala keinginan demi kemauan. Menanggalkan seluruh kemauan demi keinginan. Lalu mana yang lebih dikedepankan antara kemauan dan keinginan? Bisa bukan berarti suka kan? Terkadang orang bisa melakukan sesuatu karena tugas kampus atau kewajiban. Berbeda dengan Fikal, ia suka namun tak jua bisa. Hal itu membuatnya terenyuh dan tak sesegera sedu.

Desiran angin malam diiringi suara katak melengkapi alunan melodi kesendiriannya. Pada saat yang bersamaan, rintik hujan mulai meramaikan atap-atap rumah tetangga. Sempurnalah malam ini.

***

Fikal berusaha mencari guru privat Nahwu dan Sharraf. Seorang pendakwah muda dari desa yang ia canangkan dari dulu. Ustadz Abdillah, guru pertama yang mengajari Fikal tentang apa itu kalam. Kalimat ada berapa dan apa saja kalimat itu. Tepat di akhir pekan 2020, Ustadz Abdillah menemukan tulang rusuknya di Kalimantan. Mau tidak mau beliau harus ikut ke Kalimantan-dalam tradisi Madura kebanyakan. Pupus sudah harapannya untuk diajari beliau lagi.

Ustadz Zulfikar, guru kedua. Meneruskan pembelajaran Ustadz Abdillah. Merupakan tokoh masyarakat di desanya. Kemarin Fikal sempatkan datang ke rumahnya dan meminta untuk menjadi guru privatnya. Beliau tersenyum dan mau menerima permintaan Fikal. Strategi pembelajaran Ustadz Zulfikar berbeda dengan Ustadz Abdillah. Di mana Ustadz Zulfikar lebih menekankan pada teori hafalan secara visual (perumpamaan/gambar), sedangkan Ustadz Abdillah menggunakan teori hafalan verbal (menyebutkan). Tidak sampai pada pembahasan i’rab, Fikal dikabarkan bahwa Ustadz Zulfikar telah meninggal dunia karena mengidap penyakit TBC yang terlambat pengobatan. Sebenarnya Fikal mengetahui penyakit yang menyerang guru keduanya itu dengan mengada-mengada gejala yang terjadi di sekitar. Salah satunya selalu membawa air dan pakai jaket ketika mengajar. Penyakit TBC ini tidak tahan dengan angin dan dalam tubuhnya harus diberi cairan terus. Fikal mulai berkecil hati. Dalam hatinya ia berdo’a semoga dapat pengganti yang selanjutnya untuk mewujudkan apa yang diimpikan.

Kalam adalah lafadz yang tersusun,dapat dimengerti dan berbahasa arab. Kalimat ada tiga yaitu isim, fi’il dan huruf  (diambil dari kitab ‘imriti). Kembali ia mengingat apa yang telah diajarkan oleh kedua gurunya.

Setiap pagi, ia murajaah. Sore, praktek langsung pada al-Qur’an, menentukan mana kalimat isim, fi’il dan huruf. Dan malamnya ia jadikan waktu istirahat, bekal energi buat besok. Berlangsung hingga seminggu meskipun tanpa ada guru yang membimbingnya. Dengan segala tekad ia kerahkan semua tenaganya. Pada hari kedelapan, ia mulai berpikir bahwa dalam dirinya tidak ada perkembangan ilmu tentang Nahwu dan Sharraf, hanya itu-itu saja dan itupun sudah di luar kepala. Jika seandainya ada orang yang menyoal mengenai apa itu kalam, kalimat ada berapa dan apa saja kalimat itu maka akan terjawab secara otomatis.

Dengan bertumpu pada harapan dan cita-cita yang tinggi, ia tetap menjalani kehidupan sehari-hari layaknya ada guru yang selalu mendorong dan menemaninya. Ia mencoba ikut pengajian di masjid An-Nur, siapa tahu menemukan guru yang selanjutnya, harapnya dalam-dalam. Sambil lalu tanya-tanya pada jama’ah yang ikut pengajian.

“Beliau asmanah pasera?[1]” Tanya Fikal pada jama’ah di sampingnya.

“Ustadz Fattah,” jawabnya sambil melihat Ustadz Fattah.

“Oh…penjelasannya bagus dan cara beliau membaca juga sangat fashih.” Puji Fikal.

“Alhamdulillah kalau begitu. Beliau lulusan Al-Azhar Kairo, Mesir. Kabar baiknya juga, beliau disenangi masyarakat sekitar serta jamaa’ah yang hadir baik yang mukim maupun tamu meski hanya kemarin yang mengisi pengajian. Lihatlah! (sambil menunjuk pada orang-orang yang hadir di Masjid) banyak bukan yang hadir? Alasannya sama dengan apa yang sampean katakan.” Jelasnya mengenai Ustadz Fattah. Fikal mengangguk kagum. Semoga beliau bisa mengajari saya nanti. Harapannya. Kemudian melanjutkan pengajian.

Kicauan burung menghiasi pagi. Matahari masih enggan menampakkan wujudnya. Dingin yang dirasa. Tak lupa ia sholat sunnah sebelum shubuh karena khasiatnya adalah melebihi apa yang ada di dunia dan akhirat beserta isi-isinya. Tak terasa punggungnya mulai merasa ada kehangatan, ternyata jam menunjukkan pukul 07.00 WIB segera ia  laksanakan 2  rakaat dluha. Allahu Akbar.

Hari ini, Fikal berencana pergi ke dhelem[2]nya Ustadz Fattah. Ia menyodorkan alamat yang dituju pada ojek yang sedang memangkal. Perjalanan tidak sampai dua puluh menit, perkiraan lima belas menitan. Kalau di kilometerkan sekitar tiga sampai empat kilometer dari rumah Fikal. Lalu menyodorkan uang yang diambil dari kopiah hitamnya.

Toleh kanan-kiri tak kunjung ketemu dengan rumah yang bercat dinding kuning. Yang ada hanyalah orange, rata-rata. Malu bertanya sesat di jalan. Bacaan yang ada di tembok didesain grafity serta gambar minion sebagai pelengkap, menjadikannya sejuk ketika dipandang. Pas banget. Umpatnya penuh kegirangan. Setiap kali berpapasan dengan orang, ia tanyakan rumah Ustadz Fattah. Namun dari beberapa orang yang ia tanyakan tak jua mendapat jawaban yang benar, hanya saja segerombolan penduduk berbondong-bondong, ada yang menjinjing tas, suara tangis dan kendaraan tiba-tiba banyak. Fikal tidak tahu alasannya kenapa.

Innalillahi wainnaa ilaihi raaji’uun, telah meninggal dunia Ustadz Fattah Yasin dini hari. Kepada tetangga dan kerabat-kerabatnya dihharap untuk segera memarani. Sekian terimakasih. Pengumuman yang baru saja ia dengar dari speaker masjid yang tak jauh dari tempatnya berdiri membuat bulu kulitnya berdiri. Ada getaran yang terasa meski hanya sekedar keinginan yang membara. Berita duka meninggalnya Ustadz Fattah membuat hatinya teriris bak sayatan pisau ke daging bahkan lebih sakit dari itu. Bukan hanya Fikal, semua keluarganya tidak menyangka karena tadi malam sehat wal ‘afiat dan masih mengisi pengajian di masjid an-Nur. Siapa sangka kehendak Tuhan tidak ada orang maupun dewa yang bisa menyangkalnya. Kendaran sepeda bermotor mulai memadati jalan. Ada yang sudah membawa cangkul untuk menggali kuburan. Ada yang megurusi tempat parkir, dapur dan segala hal yang dibutuhkan cepat. Fikal tidak tahu mau kemana. Batinnya hanya menerima. Ia lebih baik nunggu di kuburan dan mendoakannya.

Terpuruk dalam kesedihan. Itulah Fikal saat ini. Ustadz Fattah yang akan ia jadikan sebagai guru ketiganya telah tiada. Hanya kedua kaki yang mampu menopang tubuh tegaknya tapi tidak jiwanya. Harapannya dijeda oleh takdir Tuhan. Air matanya mengalir karena keadaan. Kobaran api semangat padam karena keberadaan. Kenapa alam tidak berpihak padanya? Layakkah kehidupan ini disamakan dengan sebatas jejak? Membekas namun sementara. Suatu saat nanti, Tuhan akan tahu alasannya kenapa ia  berhenti mencari.

[1] Namanya siapa? Bahasa halus Madura yang digunakan untuk menanyakan orang yang berkedudukan tinggi maupun dihadapannya, seperti kiai.

[2] Rumah.

Thaifur Rahman Al-Mujahidi, asal Bragung. Merupakan mahasiswa Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien (IDIA) Prenduan. Sekarang nyantri di pondok pesantren Al-Amien Tegal Prenduan. Karyanya dibukukan dalam buku KILAP, Rush and Fall, Harapan Baru, dan Perempuan Pencetak Peradaban, setelah berhasil memenangkan lomba meski menyandang sebagai penulis terbaik dan terpilih. Kecintaannya pada menulis saat ia tahu bahwa tak ada yang lebih bertahan lama dari sebuah karya.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *