Indonesia adalah negara yang pernah dijajah Belanda dalam kurun waktu yang lama yaitu sekitar 200 tahun. Berbagai daerah di seluruh Indonesia menjadi dampak dari para penjajah. Setiap daerah jajahan pasti memiliki kenangan maupun peninggalan yang menjadi bukti dari akibat para penjajah. Terutama daerah yang banyak menjadi incaran penjajahan yakni di Pulau Jawa karena kesuburan tanah dan sumber daya manusianya. Para pemimpin daerah pun bekerja sama dengan penjajahan untuk kegiatan tertentu.
Pada zaman penjajahan Belanda, terdapat sebuah desa yang menjadi dampak jajahan terutama di Jawa. Dampak penjajah dengan adanya peristiwa gerilya dan kerja rodi dalam membangun jalan. Peristiwa tersebut mengharuskan warga sekitar menyusuri sungai untuk membuat jalan yang tidak jauh dari aliran air yang akan digunakan sebagai lalu lalang kendaraan. Pada pembuatan jalan tersebut dipimpin oleh Kolonel Floris yang selalu mengawasi pribumi dalam menjalankan tugasnya. Pribumi melakukan kegiatan dengan penuh kerja keras hingga keringat yang bercucuran agar jalan dalam kondisi layak pakai.
Tak lupa dalam pembuatan jalan, pribumi mengacu atau memusatkan pembuatan jalan pada aliran air sungai yang ada di sebelahnya. Sungai yang dijadikan sebagai tolak ukur dalam pembuatan jalan bernama ‘Sungai Bener’. Nama sungai tersebut diberi oleh sesepuh setempat yaitu Eyang Sono. Sungai tersebut diberi nama Sungai Bener dengan alasan sebagai petunjuk arah yang benar dalam pembuatan jalan pada masa penjajahan Belanda. Air sungai tersebut digunakan untuk kehidupan sehari-hari warga sekitar, seperti mencuci, mandi, dan minum.
Pribumi sekitar masih sangat kental dengan kepercayaan dan adanya ilmu hitam. Salah satu kepercayaannya yakni orang-orang sekitar percaya bahwa di Sungai Bener terdapat makhluk halus yang mampu menenggelamkan orang-orang yang ada di dekat sungai. Makhluk tersebut dikenal dengan sebutan ‘Miangga’. Dia adalah makhluk halus yang mempunyai rambut panjang hingga bemeter-meter pajangnya yang dapat mengikat manusia dan membuat manusia yang dilihat atau ditemukan oleh dia akan diseret ke air dan akan ditenggelamkan. Setelah rumor tersebut tersebar ke seluruh wilayah, banyak orang yang takut dan enggan untuk datang ke sungai karena dapat hilang untuk selamanya. Di sisi lain lain, sesepuh Eyang Wali Lakosno mampu mengalahkan makhluk halus tersebut dengan ilmu yang beliau punya. Eyang kasihan dengan kematian orang sekitar yang dinyatakan tenggelam dan hilang secara mendadak di sungai. Miangga terkenal muncul di sore hari waktu sebelum adzan magrib. Dengan adanya penjelasan dari Eyang, akhirnya warga sekitar membatasi untuk tidak berpergian ke sungai saat petang hari untuk menghindari kecelakaan yang tidak diinginkan.
Pembuatan jalan yang dilakukan cukup lama dan membutuhkan tenaga yang kuat. Kegiatan tersebut dijelaskan oleh Kononel Floris dengan tujuan menghubungkan wilayah-wilayah yang ada di sekitar aliran sungai. Wilayah tersebut terdapat dataran rendah dan dataran tinggi karena lahan yang berbeda dari setiap tempat. Setelah pembuatan jalan telah selesai, Kononel Floris dan orang kepercayaan warga atau sesepuh sepakat untuk memberikan nama pada jalan itu agar mudah ditemukan. Banyak nama yang diusulkan dari orang-orang yang berkumpul tetapi nama yang mereka sepakati adalah Jalan Siliwangi. Jalan tersebut digunakan sebagai lalu lintas para tentara penjajah dan juga tentara Indonesia. Pada nama jalan yang disetujui pastinya mempunyai maksud tertentu. Maksud dari Jalan Siliwangi sendiri adalah jalan yang selalu digunakan untuk lalu lintas kendaraan yang selalu berganti-ganti mulai dari pejabat, tentara, maupun pribumi yang diambil dari nama ‘silih’ sedangkan nama ‘wangi’ memiliki maksud jalan yang dilalui oleh bau orang siapa pun itu dapat lalu lalang di jalan itu. Dengan demikian, jalan diberi nama bukan semata untuk hanya nama saja tetapi juga memiliki maksud tertentu yang sesuai dengan peristiwa yang ada.
Tidak lama setelah pembuatan jalan selesai, warga setempat mulai beraktivitas cukup padat terutama dalam bertani, berkebun, dan berdagang. Suatu ketika saat salah satu warga setempat yang bernama Sawin sedang berada di sungai melihat banyak barang yang terapung dan hanyut. Tanpa rasa ragu Sawin mengambil benda tersebut dan memberitahukan kepada sesepuh yang ada. Setelah memberi tahu Eyang Abinaya dengan adanya benda yang seperti karung itu, beliau segera bergegas menuju sungai. Sesampai di sana, Sawin dan Eyang melihat lebih banyak jumlah karung daripada sebelumnya. Ternyata di aliran sungai terdapat banyak ‘bagor’ yang hanyut. Bagor adalah sebuah karung goni yang dianyam. Warga setempat tidak mengetahui betul apa yang menyebabkan bagor tersebut hanyut di sungai. Kemungkinan itu hanyut karena dari kapal yang sedang membawa bagor atau sengaja di buang karena sudah tidak layak pakai. Kejadian ini terjadi beberapa hari berturut-turut sehingga para sesepuh memberikan nama untuk daerah yang mereka tinggali. Nama yang mereka ajukan dan disepakati oleh warga bahkan sesepuh hingga pemimpin Kolonel Floris yaitu nama ‘Kalibagor’. Nama tersebut dicetuskan karena peristiwa terjadi di sungai, ‘Kalibagor’ terdiri dari dua suku kata yakni sungai dengan kata lain kali dalam Bahasa Jawa dan bagor adalah karung goni. Nama tersebut dipakai hingga saat ini Desa Kalibagor namun sekarang desa sudah terbagi lagi menjadi beberapa grumbul, diaantaranya Grumbul Asinan, Grumbul Karanganyar, Grumbul Kedungbunder, Grumbul Jatisari, Grumbul Genting, Grumbul Bleberan, dan Grumbul Watu Gede. Grumbul merupakan nama sebutan untuk kelompok suatu wilayah yang termasuk dari bagian kecil dri sebuah desa yang besar.
Kejadian yang telah terjadi mulai dari penjajah masuk hingga tercetusnya nama desa oleh para pemimpin. Para pemimpin berjuang dengan tujuan untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan warga sekitar. Pemimpin tersebut adalah para sesepuh atau orang kepercayaan yang sejak adanya penjajah hingga saat ini. Mereka berjuang hingga akhir hayat dan sebagai bentuk penghormatan warga kepada sesepuh, mereka memakamkam di dekat Sungai Bener dengan alasan agar mudah untuk di ziarah orang-orang. Empat orang kepercayaan warga sekitar yaitu Eyang Wali Laksono, Eyang Sono, Eyang Abinaya, dan Eyang Gentala. Salah satu dari beliau memiliki kemampuan di atas manusia yang lainnya yaitu Eyang Wali Laksono yang terkenal dengan kemampuannya dapat berubah bentuk menjadi macan bahkan berubah menjadi sembilan bentuk. Beliau berempat di makamkan bersebelahan satu sama lain. Di sisi sungai yang lain terdapat makan yang lain dan makan tersebut sendirian. Orang percaya bahwa makam tersebut merupakan salah satu dari keturunan sesepuh.
*)Desa Kalibagor, Kecamatan Kalibagor, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah
Haryanty Firda Azhari, lahir di Banyumas 27 April 2001. Mahasiswsi program sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UMP. Ia saat ini tinggal di Kalibagor, Banyumas.