Satu Dekade Mengenang Rendra
Rindu Megatruh
Rendra adalah budayawan Indonesia, yang karya-karyanya tersebar di mancanegara. Ia pujangga kelas dunia. Puisi, esai maupun naskah drama karyanya merupakan ekspresi dari opini, visi dan misinya mengenai situasi dan kondisi poleksosbud negara kita. Termasuk, renungan Megatruh-nya yang diilhami“ramalan” Ronggowarsito.
Sayangnya, pendapatnya tersebut tidak banyak diketahui oleh banyak pihak – oleh rakyat. Apalagi pihak pemerintah yang boleh disebut nyaris memandang sebelah mata.
[iklan]
Untuk itulah Clara Sinta, putrinya mendirikan yayasan Daya Cipta Rendra, antara lain untuk merawat, mendokumentasi, dan terus menjadikan karya-karya Rendra “tak rapuh oleh hujan, tak lekang oleh panas” – menjadi warisan yang bernas bagi generasi berikutnya.
Cuplikan pemikiran Rendra, yang ditulis dalam “Megatruh Kambuh – Renungan seorang Penyair dalam menanggapi Kalabendu,” penting disimak :
“..yang dianjurkan oleh Ronggowarsito agar orang bisa selamat di masa “Kalatida” adalah selalu sadar dan waspada tidak ikut dalam pernainan gila. Sedangkan di masa “Kalabendu” harus berani prihatin , sabar, tawakal, dan selalu berada di jalan Allah sebagaimana tercantum dalam kitab suciNya. Maka nanti akan datang secara tiba-tiba masa “Kalasuba” yang ditegakkan oleh Ratu Adil.” (Pidato WS Rendra pada acara pengukuhan Doctor Honoris Causa di Bidang Kebudayaan dari Universitas Gajah Mada, 4 Maret 2008).
180 Kabupaten/Kota
Sejarah mencatat Rendra lahir di Solo, 7 November 1935 – meninggal di Depok, 6 Agustus 2009, maka didukung Komunitas Burung Merak Rendra, Telkomsel, Sinematek, Nusantaranews.co, dan lainnya, Clara Sinta menyelenggarakan acara “Rindu Rendra: Megatruh, Satu Dekade Mengenang Rendra,” 6 – 7 Nopember 2019, di Pusat Perfilman H. Usmar Ismail, di jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta. Pameran Foto dan Poster tentang perjalanan kesenian dan kebudayaan maupun pemutaran film yang pernah dibintangi oleh Rendra dipampang-tayangkan.
Juga, yang menarik adalah dilaksanakannya Lomba Video Baca Puisi Rendra Tingkat Nasional yang berlangsung sejak 5 September 2019 – dateline 20 Oktober 2019. Video lomba ini diunggah di channel YouTube Komunitas Burung Merak Rendra. Di luar dugaan ternyata hampir 1000 peserta mengirim-unggah karyanya – yang setelah diseleksi awal ada 840 peserta berasal dari 180 Kabupaten/Kota – tersebar di 30 Provinsi, yang siap dinilai oleh juri.
Selain itu panitia pelaksana memberikan ruang apresiasi terhadap para pengagum dan pecinta sosok dan karya Rendra. Caranya diminta untuk menulis puisi tentang dan untuk Rendra. 51 orang dari berbagai kalangan mengirimkan puisi, yang kemudian dibukukan dalam Antologi Puisi untuk Rendra: Rindu Rendra. Pada 6 November 2019 antologi puisi ini diluncurkan dan dibacakan oleh sekitar 20 penyairnya, dibuka oleh Taufiq Ismail yang membacakan karya mengenang persahabatannya dengan Rendra.
Esoknya, 7 Nopember siang, Diskusi Publik yang menampilkan Emha Ainun Nadjib dan Adhi M. Massardi sebagai narasumber, dimoderatori Teguh O Wijaya, berlangsung hangat. Terjadi dialog interaktif terutama antara Cak Nun dengan beberapa orang hadirin – yang memenuhi auditorium PPHUI. Menggugah.
Kangen
Malamnya dilaksanakan Pengumuman dan Penyerahan Hadiah untuk pemenang Lomba Video Baca Puisi Rendra Tingkat Nasional, yang didahului dengan pembacaan puisi dari tokoh masyarakat maupun penyair. Rizal Ramli orasi dan membaca sajak “Sebatang Lisong” karya Rendra yang menurutnya ditulis Rendra semasa demo mahasiswa ITB. Kemudian tampil Linda Djalil, Sudibyanto, Bambang Oeban dan Imam Ma’arif.
Kemudian atas pilihan dewan juri : Jose Rizal Manua, Clara Sinta, Uki Bayu Sedjati, ditayangkanlah karya 10 nominator Lomba Video Baca Puisi Rendra Tingkat Nasional, sebelum pemenang-pemenang diumumkan.
Pemenang pertama membaca “Kangen” yang ditulis Rendra untuk Sunarti Suwandi.
Kamu tak akan mengerti bagaimana kesepianku
menghadapi kemerdekaan tanpa cinta
kau tak akan mengerti segala lukaku
karena cinta telah sembunyikan pisaunya.
Membayangkan wajahmu adalah siksa
Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan
Engkau telah menjadi racun bagi darahku.
Apabila aku dalam kangen dan sepi
itulah berarti aku tungku tanpa api.
(dari buku: Stanza dan Blues – Malam Stanza).
Kerinduan terhadap sosok maupun karya-karya pujangga Nusantara penting untuk dirawat dan terus dipublikasikan sebagai warisan kepada generasi berikut. Untuk kepentingan itu Komunitas Burung Merak Rendra merancang hajatan setiap tahun dengan ragam acara yang selaras peluang dan tantangan jaman. (UBS)