Kabisat Palsu

Kutembak kalender baru
Untuk membunuh semua resolusi
Dari angka-angka yang berdiri tegak nan angkuh!

Di kelipatan-kelipatan sunyi
Tahun kembali lahir
Oleh masa lalu
yang dipinjam untuk menegasi
hari-hari kebangkitan

Bulan-bulan hanyalah menunda kehilangan—kebinasaan.

Menutup setiap kekosongan janji
Menunggu yang tak kunjung tiba,
Berharap pada Februari yang tak genap
Atau Maret yang hanya setengah fana

Apakah waktu benar-benar memberi,
atau hanya mencuri tanpa kita sadari?

Pada akhirnya,
Kita adalah korban dari hitungan hari,
Terjebak dalam ilusi
Panjang-pendek
Detak-detiknya; waktu
Dan bertanya
“Apakah kita hidup untuk memanggil masa lalu, atau menolak maut di penghujung masa depan?”

2025

Inkarnasi

Aku adalah bayangan
Dari tubuh-tubuh yang pernah bernapas,
Roh yang ditenun ulang
Dalam gumpalan daging baru,
Nama-nama baru,
Komersialisasi (identitas) lalu

Tiap-tiap kelahiran, telah disapu gelombang

Lingkaran kehidupan manusia
Mencari cerminannya sendiri-sendiri
Memantulkan diri kita yang sebenarnya

Lantas, siapa memungkiri?
Jikalau menebus sesuatu
Untuk melanjutkan bab-bab
Dari cerita yang tak kunjung selesai?

Setiap luka yang kini kuhadapi
Kupagut pantulan langkahnya
Dan selalu tertuju pada karma

2025

Kratom

Gelas-gelas kecil berserakan di meja
Jatuh, pecah, tumpah, mengaliri sel-sel otak sementara
Seperti janji hujan pada tanah gersang
Yang memberi kelegaan rasa sakit
Pada tumbang-tambang-nya penguasa

Atau kau hanya ilusi lain,
Batas tipis antara sakit dan sekarat
di dunia yang tak pernah benar-benar sembuh?

2025

Disleksia

Huruf “u” dan “v” saling bertukar tempat
seperti anak kembar nakal di sekolah

Dan aku,
hanya bisa menebak siapa yang benar

Seumur hidup aku tak bisa mengeja
Kata-kata yang diukur semata
hanya menurut dan mengiyakan

Wajarlah untuk menerima kekurangan ini
karena kita memang lahir di negara yang masih gagap membaca.

2025

Terperangkap Dalam Mitos

Duniaku bongkar-bangkir
ditombak panah kemunafikan!
kerikil-kerikil kaca yang pecah
kupungut bertimpuh darah
menyembah yang tak ingin ditengadah
tiarap yang tak ingin diharap

Duniaku bongkar-bangkir
hangus; mutlak!
seperti kau membariskan bom api
yang disejajar sampai perjanjian awal
meledak dilahap kebohongan

Kini terpaksa kutelan dalam-dalam
di tebing jurang keraguan itu
di carut-marut kebiadaban itu

Harus rela menyerahkan
semua kecaburan, kecentang-perenangan
dan sifat-sifat kebinatangan!

2025

Dekadensi

Sefrustrasi diriku
masih saja aku
mengucap nama-Mu
: Tuhan

Di rongga-rongga mulut manusia
menggaung igauan
apayamuka

Senang sekali
berdiksa diri
menatap-natap suul adab
memasrahkan kilauan mimpi
di langit-langit kahyangan

Terkadang was-was
terkadang tenang
diri menyabit diri
seperti bercampur distilasi
mendiskusikan jiwa-jiwa suci
hingga ternahak-nahak imajinasi

Di hari-hari sideris
aku hanya ingin berserah
berterima kasih
kepada sang puja-puji
sang dewa-dewi
sang penguasa illahi..

2025

Kadaluarsa

Semua bentuk cinta
sudah kusimpan rapi
di gudang rumahku

Bertumpuk
kulipat-lipat
kususun-susun
kolase roman itu
agar tak terjamah oleh siapapun

Aku gembok
kunci dan serepnya kubuang
di palung laut terdalam

Cintaku adalah angan-angan yang usang
berdebu, tak tersentuh
digerogoti rayap
hingga tak tersisa satu pun hati
yang aku redam di dalamnya

Cinta cukup menjadi memori
yang berserak-serakan dan terlintas
dalam setiap ucap manusia
menjadi racau dalam kata-kata
menjadi racun dalam ingatan

Tuhan, aku tahu
kau memang menakdirkanku abadi dalam kesendirian, dan kini aku telah menerimanya
sebagai luapan emosi yang mengerti arti kadaluarsa.

2025

Rifqi Septian Dewantara asal Balikpapan, Kalimantan Timur Mei 1998. Karya-karyanya pernah tersebar di beberapa media online dan majalah digital. Buku antologi puisinya berjudul “LIKE” yang diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Ekspresi (Tabanan, Bali) sekaligus meraih Penghargaan Sastra Penyair Favorit Bali Politika 2024. Kini, bergiat dan berkarya di Kota Balikpapan

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *