
Oleh Depri Ajopan
Aku merasa dunia gelap. Pikiranku yang kacau takbisa meraba apa pun. Aku tak tahu apa lagi yang harus aku lakukan untuk kesembuhan ibuku. Dokter Kardi bilang, tak ada obatnya kecuali permintaan maaf dari anjing yang ada matahari di kepalanya. Kalau tidak ibuku akan sekarat, dan bisa jadi setelah itu ia mati, membuatku bertambah panik. Aku tak mengerti apa maksudnya. Begitu aku tanya, ia jawab ketus.
“Kalau kau ingin ibumu sehat, ikuti perintahku. Cari anjing yang ada matahari di kepalanya. Bawa dia ke sini. Karena sakit ibumu, bukan sakit sembarangan. Ada yang tersiksa batinnya karena kata-kata ibumu dulu. Dan kau harus tahu, anjing yang ada matahari di kepalanya adalah bahasa simbol. Kau harus bisa menafsirkan sendiri. Tapi ingat, ketika kau menanyakan pada orang-orang tentang anjing yang ada matahari di kepalanya. Kau tidak boleh mengatakan bahwa itu bahasa simbol, apalagi sampai menafsirkannya pada mereka.”
“Cari ke mana anjing itu?”
“Tidak usah banyak tanya. Aku tidak boleh mengatakannya sejelas mungkin, mengikuti persaratan ilmuku, yang kutuntut bertahun-tahun.” Aku menelan ludah.
“Kau harus tahu, aku bukan dokter seperti dokter pada umumnya. Aku juga seorang dukun yang tahu tentang jeritan batin seseorang. Aku memposisikan diriku sekarang bukan sebagai dokter yang lemah lembut pada pasiennya, tapi seorang dukun. Ibumu tidak bisa diobati dengan cara-cara medis. Ilmu kedokteranku tidak berguna untuknya saat ini.”
Dokter keparat. Kalau aku lapor kelakuannya pasti dia ditegur keras. Ternyata ada juga dokter yang kasar di negeri ini. Dasar dokter sialan, jeritku di dalam hati yang mendidih. Aku takpernah memandangnya sebagai seorang dukun. Tapi demi ibuku, aku tidak mau cari ribut dengan dokter sialan itu. Aku siap fokus pada tugasku. Secepatnya juga aku harus dapat anjing yang ada matahari di kepalanya seperti yang ia perintahkan. Ibuku dijaga oleh kakak dan adikku di rumah. Sementara aku berkelana ke mana-mana mencari anjing itu. Aku tanya orang-orang yang berpapasan di jalanan, di mana ada jual anjing seperti itu. Ada yang diam tak menggubris pertanyaanku. Ada yang tertawa menutup mulut sambil berlari-lari kecil meninggalkanku. Ada yang melirikku sejenak, sambil geleng-geleng kepala, tak memberi jawaban. Dan ada yang terang-terangan menyebutku gila, sambil ia terkekeh. Apa pun komentar mereka aku tak peduli, yang penting ibuku harus sehat. Aku terus mencari tanpa lelah, sampai aku bertemu seseorang.
“Kau mencari anjing yang ada matahari di kepalanya?” Aku yang terkejut tak pernah melihat sebelumnya orang tua itu. Bajunya lusuh, rambut tidak ada tumbuh di kepalanya. Ia memegang tongkat, jalannya terbungkuk-bungkuk.
“Kenapa kakek tahu, aku mencari anjing yang ada matahari di kepalanya?” Ia tak menjawab. Mengajakku duduk di teras rumah, di depannya ada taman yang indah. Aku tak tahu apakah itu rumah beliau.
“Bapak siapa?”
“Dulu dokter,” kedua tangannya saling genggam.
“Sekarang.”
“Seperti yang kau lihat.” Aku tak mengerti.
“Kau tahu?”
“Apa Kek?”
“Dokter yang mengobati ibumu adalah anak kandungku.” Aku terbisu sesaat.
“Sudah berapa lama Ayahmu meninggal?” Ia kenal ayahku. Rasa penasaran tersimpan dalam hatiku. Apa hubungannya dengan ayahku? Siapa sebenarnya kakek itu. Aku ingin menelusuri jejaknya lebih jauh.
“Sekitar dua tahun yang lalu Kek,” mataku yang penasaran tak berhenti menatapnya.
“Selama ayahmu masih hidup, apa ia pernah cerita tentang kisah cinta ibumu dengan seseorang?”
“Tidak pernah Kek,” dalam hati aku bertanya, apa hubungannya anjing yang ada matahari di kepalanya dengan kisah cinta ibuku. Bukan waktu yang tepat aku mendengar cerita yang panjang lebar darinya. Cukup ia tunjukkan anjing itu di mana, dan aku segera ke sana, tidak usah berbelit-belit seperti ini.
“Anakku, dokter yang menyuruhmu mencari anjing yang ada matahari di kepalnya itu, tidak pernah cerita juga tentang kisah cinta ibumu?” Tahu apa dokter itu tentang kisah cinta ibuku. Sepertinya ada yang tidak beres. Sudah kubilang, saat genting seperti ini aku tak mau ambil pusing, yang penting aku bisa menemukan anjing yang ada martahari di kepalanya. Berapa pun harganya akan kubeli, meskipun nyawaku jadi gantinya.
“Boleh aku membantumu untuk mencari anjing yang ada matahari di kepalanya?” Aku senang sekali mendengar ia berkata begitu. Sepertinya rasa lelah dalam diriku lenyap dalam waktu sekejab.
“Aku berterimakasih jika kakek turut membantuku,” ia terdiam sesaat, matanya fokus memandang ke halaman. Sepertinya pikiran orang tua itu tertumbuk pada masa lalu.
“Kau harus pergi ke satu desa di Pasaman Barat. Propinsi Sumatera Barat. Anjing yang kau cari ada di sana.”
“Nama desanya apa Kek?”
“Lubuk Gobing,” lalu ia cerita tentang desa itu.
Aku yang tinggal di Jogja tak pernah mendengar nama desa itu. Imajinasiku berkata setelah mendengar ceritanya, desa itu suasana hijau menyerupai hutan. Banyak anjing-anjing liar di sana. Itu yang ada dalam pikiranku, semacam dugaan, mungkin benar. Bisa juga aku salah menduga. Secepatnya aku ingin ke sana. Bukan karena penasaran dengan desa itu. Aku ingin bertemu dengan anjing yang ada matahari di kepalanya, dan segera membawanya pulang.
“Apa kakek pernah tinggal di desa itu?” Ia jawab,
“Anjing yang ada matahari di kepalanya kawan baikku.”
* * *
Aku melewati dua jembatan pagi itu. Sungai jernih mengalir deras di bawahnya. Anak-anak yang mandi telanjang saling kejar-kejaran di bibir sungai, lalu menjeburkan diri ke dalamnya. Pohon-pohon berjejer di pinggir sungai itu, kelelawar bergelantungan. Memasuki kampung, aku menemukan masih banyak rumah panggung di desa Lubuk Gobing suasana hijau, jalannya belum ada aspal. Aku tanya seseorang di mana rumah kepala desa. Ia tunjuk ke ujung kampung. Sesampai di pintu rumah kepala desa, aku perkenalkan diri. Setelah itu aku disuruh masuk sebelum ia bertanya ada keperluan apa aku datang yang tak dikenalnya. Seorang perempuan yang aku duga putrinya, langsung mengambil minuman. Ia letak di atas lantai. Aku yang duduk di atas tikar yang baru dibentangkan melirik gadis itu, aku tersenyum. Baru aku ceritakan maksud tujuanku datang ke mari pada ayahnya, mencari anjing yang ada matahari di kepalanya. Awalnya ia bingung, dan mungkin menganggapku takwaras. Aku ceritakan semua yang aku tahu, termasuk anjing yang ada matahari di kepalanya adalah bahasa simbol. Aku telah melanggar perintah, dan aku takpeduli lagi. Inilah satu-satunya cara agar aku bisa menemukan anjing itu. Ia mendengarku serius, lalu ia mendengus, sambil menghisab rokok.
* * *
Kepala desa berbaik hati mengumpulkan warga. Awalnya takberapa warga yang datang, tapi setelah diumumkan berulang kali, penduduk desa yang penasaran datang berbondong-bondong seperti anak ayam mengejar induknya.
“Saudaraku sekalian, perkenalkan saudara kita Affan jauh-jauh datang dari Jogja ke desa tercinta ini, tentu ada maksud dan tujuan tertentu.”
“Ahade tujuan saudara tai tuampongon bapak?”1 Seseorang memotong pembicaraan kepala desa menggunakan bahasa mereka. Aku tak tahu apa artinya. Aku yang curiga mulai ketakutan. Jangan-jangan ia tidak setuju aku datang ke mari, lalu ia bertindak sendiri dengan caranya yang gegabah menyuruhku pulang lewat kepala desa itu. Kalau tidak segera pulang, mereka tidak menjamin keselamatanku di sini. Aku harus waspada. Demi kesembuhan ibuku, rasa takut itu harus aku singkirkan jauh-jauh dari hatiku.
“Begini saudara-saudaraku,” aku menemukan jiwa kepimpinan pada kepala desa mereka yang berlaku lembut.
“Ibu saudara kita lagi sakit. Dia datang ke mari cari anjing yang ada mata hari di kepalanya. Kata dokter yang merawat, anjing yang ada mata hari di kepalanyalah yang bisa menyembuhkan penyakit Ibu saudara kita ini. Siapa yang punya anjing itu?” Semua terdiam. Beberapa detik kemudian seseorang yang berdiri paling belakang menyahut.
“Saya pak,” ia mengacungkan tangan. Semua orang menatapnya heran, dan ia yang takpeduli berucap lagi,
“Tapi, anjing yang ada matahari di kepanya lagi sakit pak,” kepala desa itu menatapku. Sepertinya ia menyerahkan urusan padaku meminta solusi. Aku mengambil keputusan bulat, aku tunggu sampai anjingnya sembuh. Aku datang ke rumahnya menemui anjing yang ada matahari di kepalanya itu. Ia seorang bapak tua yang lesu, hanya bisa berjalan terpatah-patah. Aku tak menemukan kursi roda di rumah itu, biar bisa mendorongnya keluar tepat di bawah pohon, lebih sejuk dan bisa bercerita bebas dengannya. Begitu aku menjelaskan tentang diriku, dan apa tujuanku datang ke mari, bapak tua itu mengerti. Ia duduk tenang di bibir pintu, bercerita panjang, membuatku menangis.
“Dulu ibumu gadis yang cantik. Banyak laki-laki yang memperebutkannya termasuk aku.” Kepanya tertunduk, dan iamenarik napas.
“Masalahnya, aku seorang laki-laki baik namun melarat, bukan tipe ibumu. Ibumu menolak cintaku mentah-mentah. Aku masih ingat jelas, apa yang ia katakan padaku. Hai anjing, kau tidak usah datang ke mari. Tidak mungkin aku berdampingan dengan laki-laki anjing macam kau, begitulah kata ibumu. Kalau kau menolakku, tolaklah dengan baik-baik jangan kasar seperti itu. Percayalah, aku lelaki baik. Kalau tidak ditakdirkan hidup denganmu, tidak masalah. Aku sudah berusaha mengutarakan cintaku untukmu, balasku pada ibumu waktu itu.”
“Ibumu menjawab, kau baik atau tidak aku tak peduli. Kau hanya seekor anjing yang ada mata hari di kepalanya. Aku tak butuh laki-laki seperti kau. Percakapan itu disaksikan seorang dokter dan anaknya. Sekarang anaknya itu juga sudah jadi dokter, namnya Kardi.” Ia bercerita sejelas itu, sekan kejadian buram itu nampak di depan matanya.
“Kau harus menarik ulur kata-katamu, aku bukan anjing. Tapi laki-laki baik-baik. Ingat karma itu berlaku,” balasku lagi pada ibumu. Kau tahu apa balasan dari ibumu? Ia bilang begini. Apa maksudmu membawa-bawa karma. Kau ingin mengutukku. Kau tidak berhak melakukan itu, kecuali Tuhan,” tutur kakek itu lagi.
“Aku akan mendoakanmu suatu saat nanti kau tersiksa, dan dapat penyakit yang tidak akan sembuh, kecuali setelah mendapat permohonan maaf dariku, yang kau sebut anjing yang ada matahari di kepalanya. Setelah itu baru penyakitmu terangkat ke langit.” Kakek itu bercerita padaku disaksikan anaknya, lalu dengan khusuk ia meneruskan ceritanya lagi.
“Akhirnya aku pergi meninggalkan ibumu, dan terus menjelajah sampai terpelanting ke desa ini, tinggal di rumah saudaraku. Di sinilah aku menikah. Aku ceritakan kisah sedih itu kepada anakku, setelah aku sering bermimpi melihat ibumu sakit, dan dalam mimpi itu ada seseorang datang ke kampung ini, mencari anjing yang ada matahari di kepalanya. Aku bilang pada anakku tentang mimpi itu, akulah anjing itu. Jika aku sudah mati, dan ada seseorang mencariku mau minta maaf, kau suruh ia datang ke kuburku”, orang tua itu meneteskan air mata menutup ceritanya yang sudah kelar. Sekarang aku mengerti, apa maksud anjing yang ada matahari di kepalanya. Aku juga sudah tahu, siapa dokter yang mengobati ibuku, dan siapa kakek yang menyuruhku datang kemari.
“Boleh aku membawa bapak ke Jogja, biar ibuku minta maaf langsung, dan bersujud di bawah kaki bapak?”
“Aku masih sakit Nak, seperti ibumu.”
“Aku tunggu sampai sembuh pak.”
“Sepertinya aku tidak akan sembuh lagi Nak. Mungkin sebentar lagi, aku akan mati lebih dulu dari ibumu.”
Catatan:
- Apa tujuan saudara kita datang ke kampung ini pak? (Bahasa Mandailing)
Depri Ajopan, lulusan Pesantren Musthafawiyah Purba-Baru, Mandailing Natal, Sumatera Utara. Menyelesaikan S-1 Program Studi Sastra Indonesia di Universitas Negeri Padang. Menulis fiksi dan diterbitkan di sejumlah media. Novel terbarunya Pengakuan Seorang Novelis. Ia bergiat di Komunitas Suku Seni Riau dan mengajar di Pesantren Basma Darul Ilmi Wassa’dah, Kepenuhan Barat Mulya, Rokan Hulu, Riau, sebagai guru Bahasa Indonesia.