Oleh Aliawan Ghozali Isnaen

Perempuan itu berjalan pelan menuju makam. Di antara derap kakinya bersamaan pula dengan kesedihan yang menyerta. Wajahnya pun tak memiliki senyum lagi. Matanya sembab. Jiwanya mungkin telah padam. Pakaiannya hanya itu-itu saja, kerudung hitam dengan gamis hitam.

Setiap Jum’at sore ba’da Asar, ia mendatangi sebuah makam. Terdengar isak tangis yang sendu. Doa yang ia panjatkan kepada Tuhan selalu sama. Makamnya nampak kering dan tandus.

Lelaki yang bekerja sebagai gali kubur, selalu mengawasi perempuan tersebut. Rumahnya hanya di samping kuburan sehingga nampak hamparan kuburan. Tiap Jum’at sore di teras rumahnya, dalam hidangan kopi untuk menyambut malam, lelaki itu selalu melihat perempuan tersebut.

Sudah beberapa bulan ini semenjak makam tersebut dikubur, lelaki itu selalu melihat perempuan serbahitam. Siklusnya selalu sama, berjalan kaki dengan pelan, matanya selalu menampakkan air mata, wajahnya murung, tetapi mulutnya tidak pernah berhenti berdoa. Sejak dari luar kuburan hingga sampai makam, mulutnya tidak pernah putus untuk berdoa.

Yang lebih mengherankan lagi bagi lelaki tersebut adalah pakaiannya selalu sama. Selalu saja berwarna hitam.

Suatu saat tatkala Jum’at sore, lelaki itu berniat mendatangi dan bertanya perihal kedatangannya. Setelah melakukan salat Asar, lelaki sudah bersiap mengawasi dari teras rumah. Sesudah beberapa saat, perempuan itu datang dan seperti biasa. Lelaki itu sudah hapal dengan waktunya berdoa dan menangisi makam sehingga saat waktunya tiba ia akan menghampiri.

Sudah saatnya untuk meninggalkan makam dan hendak berjalan menjauh dari makam. Namun, saat sang perempuan membalikkan badan sudah ada seorang lelaki yang mendatanginya. Kaget, karena terdapat seseorang yang menghampirinya.

“Bolehkah aku berbicara dan bertanya kepadamu?” Tanya lelaki tersebut dengan rasa penasaran yang tinggi.

“Engkau mengajakku berbicara?” Balas tanya perempuan.

“Memangnya kepada siapa lagi? Di sini hanya kita berdua tidak ada yang lain, sebaiknya ayo kita keluar dahulu dari sini,” ajak lelaki.

Mereka berdua pun berjalan keluar dari kuburan menuju ke bangku di pinggir jalan. Jalanan saat itu terasa sangat sepi dan dingin sekali bagi lelaki.

“Engkau dapat mengajakku berbicara?” Tanya Perempuan dengan heran.

“Yaa, pasti saja bisa kenapa bertanya seperti itu? Sebelumnya boleh aku bertanya perihal namamu perempuan?” Utas lelaki.

“Namaku Siti Aisyah, ada apa mengajakku berbicara?”

“Aku selalu heran dengan kedatanganmu, mengapa wajahmu selalu sedih padahal makam itu sudah cukup lama terkubur?” Tanya lelaki dengan wajah yang penuh curiga, tetapi ia merasakan hawa yang berbeda kali ini. Setiap kali ditatapnya wajah Siti Aisyah, seakan dirinya masuk dalam lautan hampa nan sedih.

“Engkau tidak perlu mengetahui alasanku selalu sedih tatkala datang ke makam itu, yang perlu dan mampu engkau ketahui bahwa rasa penyesalanku amatlah besar. Demikian yang membuat diriku selalu bersedih,” perempuan itu berhenti sejenak dan meneruskan tangisannya yang sempat ditahan.

“Tidak ada lagi rasa senang. Yang tersisa hanya keeping-keping penyesalan. Andaikan saja aku dapat melakukan petunjuk dan tuntunan-Nya,” sambung perempuan.

“Mengapa engkau bersedih dengan penyesalan, bahwa sebenarnya kesalahan yang telah lalu tidak bisa diubah dan akan tetap seperti itu. Yang dapat kita lakukan adalah melakukan hal terbaik di masa depan,” ucap lelaki sedikit menasihati.

“Sudah aku bilang, engkau tidak perlu tahu banyak hal mengenai diriku,” perempuan menjawab dengan tersendu-sendu.

Lelaki sempat terdiam sejenak agar perempuan bisa meneruskan tangisannya terlebih dahulu. Tidak banyak yang bisa dilakukan untuk menguatkan perempuan, mencoba memberi nasihat saja menurut lelaki tidak cukup.

“Lalu mengapa engkau selalu datang saat hari Jum’at dan sehabis salat Asar? Apakah aku boleh mengetahui alasan mengenai hal tersebut?” Lelaki itu mencoba memenuhi hasrat penasarannya tatkala perempuan tersebut sedikit reda dalam tangisannya.

Perempuan tersebut sempat melihat lelaki sebelum menjawab. “Aku berharap, berharap hari itu adalah Jum’at. Aku berharap sekali hari itu adalah hari Jum’at,” lelaki tersebut sangat penasaran sekali dengan hari Jum’at yang dimaksud oleh perempuan.

“Namun, tak ada lagi yang bisa kulakukan. Mengenai Jum’at sore, apakah engkau tahu bahwa waktu ini adalah waktu mustajab untuk berdoa sehingga aku masih terus mencoba untuk selalu berdoa,” jawab perempuan tersebut.

Perempuan serbahitam pamit untuk pergi karena sudah waktunya. Lelaki hanya terdiam melihatnya pergi dan perlahan menghilang dibelokan jalan. Tidak sempat bertanya mengenai pakaiannya, ia berencana akan bertanya lagi Jum’at depan. Namun, karena rasa penasarannya masih tinggi. Lelaki memutuskan untuk pergi ke makam yang selalu didatangi perempuan serba hitam.

Lelaki beranjak menuju makam yang selalu dikunjungi perempuan serbahitam. Hawa dan perasaannya semakin terasa berbeda dari biasanya, sepi, dingin, dan gelap padahal matahari masih sedikit menyemburkan cahayanya.

Tatkala lelaki sampai di makam tersebut, dibacanya nama yang tertera. Terpampang jelas nama Siti Aisyah.

Aliawan Ghozali Isnaen. Tumbuh dan besar di Bantul. Sudah lulus dari Universitas Negeri Yogyakarta. Memiliki kecintaan terhadap bermain alat musik dan mencintai kegiatan menulis.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *