Ibuku bilang, aku seperti mayat hidup yang memiliki otak cemerlang. Tubuh kurus tak bergizi karena tak suka makan ikan, dan rambut tipis kusam karena tak dilulur lidah buaya sewaktu kecil. Namun Tuhan masih beri kelebihan, dilimpahilah otak di dalam kepala kecil dengan berbagai ide brilian. Undur diri sebagai seorang Akuntan karena tergoda tawaran kontrak platform digital. Siapa yang menolak tawaran gaji dua kali lipat dan berkutat di istana kamarnya? Tentu tak kutolak. Meski banyak pertanyaan menyerbu dari kawan-kawan, kenapa memilih resign dari pekerjaan yang kudambakan. Kujawab, aku manusia realistis yang butuh banyak uang. Meski tak punya tujuan, mau diapakan uang sebanyak itu.

Kutandatangani dua kontrak novel digital, dan mulai membagi waktu di antara kedua genre novel yang berbeda. Tidak ada hari libur, karena itu membuat hari esok tambah beban sebab banyaknya utang kata. Berusaha untuk mengejar target tiap bulannya, dan mendapat bayaran seminggu setelahnya.

Bulan pertama kujalani dengan riang gembira. Jari-jari mengetik di atas keypad laptop. Radio menyala sepanjang waktu, hanya salat dan makan yang bisa menjeda kegiatanku. Berbagai jenis minuman kaleng menemaniku selama menulis. Dua kontrak terselesaikan dalam kurun waktu empat bulan. Selama waktu itu, bibirku selalu merekah. Rekening tabunganku akhirnya sampai dua digit. Angka yang menggiurkan. Sudah tak terhitung berapa tawaran nongkrong yang kutolak.

Di bulan keempat, Editorku menawarkan hal yang lebih gila lagi. Menjadi seorang Ghost Writer. Pesan yang dibuntuti dengan gambar selebaran membuat jantungku berdebar. Mataku bersinar saat melihat nominal yang jauh lebih besar dibanding platform digital. Memang, namaku tak akan terkenal bila jadi Ghost Writer, tapi profesi menjanjikan itu lebih mampu menggendutkan rekeningku. Tanpa basa-basi aku menerima tawarannya. Tantangannya memang lebih terjal dibanding sebelumnya. Menulis sebanyak delapan ribu kata tiap harinya. Dilakukan reviu tiap minggu oleh Editor pusat. Terkadang mereka memintaku untuk merevisi beberapa diksi. Pekerjaan itu benar-benar menguras tenaga, waktu, dan kondisi kesehatanku.

Bulan pertama menjadi Ghost Writer membuat kantung mataku menghitam dan mengendur. Berat badanku turun tiga kilo. Nafsu makan berkurang. Bahkan media sosial satu-satunya yang kumiliki berhasil kuhapus dari ponsel karena takut mengganggu konsentrasi. Melihat instastory kawan yang pergi liburan, atau sekadar bercengkrama dengan kawan dan keluarga di tempat wisata. Apakah aku sebelumnya anti sosial? Tentu tidak. Aku memiliki banyak circle pertemanan. Mulai dari sekolah dasar hingga semester akhir kuliah. Namun sekarang, rasanya seolah mereka telah jauh dari jangkauanku. Hidupku dipenuhi kata-kata fiksi yang bergelantungan di kepala.

Kontrak menjadi Ghost Writer lebih singkat, yakni dua bulan. Selanjutnya, aku bisa memilih apakah ingin dilanjutkan atau dihentikan. Karena kupikir rekening tabunganku sudah gemuk seperti sapi betina yang siap melahirkan, dan belum kuapa-apakan, maka pada minggu akhir kontrak aku memutuskan untuk menghentikan kegiatan gila yang mengganggu kewarasanku. Selang kurun waktu enam bulan tanpa bersosialisasi rasanya sangat mengerikan. Menghirup udara saja sudah jarang.

Suara ketukan di pintu kamar terdengar, saat aku masih berkutat di laptop. Itulah Ibuku, yang sering mengunjungi kamarku hanya sekadar mengingatkan waktu salat atau makan.

“Nak, ada temanmu yang datang,” ujarnya begitu pelan. Sampai aku meyakini nada bicaranya sedikit bergetar.

“Siapa?”

“Rani.”

Rani, teman kuliah di semester akhirku. Bersama dua teman lainnya –Ani dan Maya. Dia pernah lima kali ke rumahku hanya untuk keperluan kampus. Selebihnya kami sering kumpul di luar. Kutarik kursi hidrolikku, beranjak turun ke teras rumah. Melihat Rani yang mematung di bangku. Wajahnya menatap lantai tanpa suara berisik yang biasa kudengar.

“Ran, ada apa? Tumben sekali ke rumahku.” Aku duduk di sebelahnya.

Sontak wajahnya menoleh padaku. Di sanalah aku bisa melihat raut menyedihkan yang begitu mendalam. Sampai rasanya hatiku ikut tersayat melihatnya.

“Kamu apa kabar, Na? Kamu kelihatan lebih kurus, kantung matamu juga semakin menghitam. Sudah hampir setengah tahun kita nggak ketemu.”

“Ya begitu, ternyata menulis juga ada bosannya. Tapi tenang saja, minggu ini adalah minggu terakhir kontrakku. Jadi, kita bisa kumpul-kumpul lagi seperti dulu.”

“Kumpul?”

Aku mengangguk antusias. Meraih bahunya, memeluknya dari samping. “Iya, sama Ani dan Maya. Aku akan traktir kalian sepuasnya, bagaimana?”

Setelah aku berkata begitu, Rani malah menjatuhkan setetes air matanya. Membuatku kebingungan dan bertanya, “Kenapa, Ran?”

“Sejak kapan kamu uninstall Instagram, Na? Aku tahu kamu suka melakukan itu ketika ada pekerjaan penting yang butuh waktu panjang.”

“Dua bulan lalu, sejak aku menjadi Ghost Writer. Memangnya ada apa, Ran?”

Rani bangkit dan melepaskan pelukanku dari samping. Menyeka air matanya yang keluar semakin deras. “Aku saranin kamu untuk install Instagram.”

Sebelum pergi, Rani membalikkan tubuhnya, “Aku tunggu kamu di rumah Maya nanti malam. Aku harap kamu datang.”

Dengan cepat aku menahan lengan tangannya. “Kamu tahu aku nggak bisa. Nanti malam tulisanku direviu, kalau ada revisi bagaimana? Aku harus membereskannya malam itu juga.”

Rani tampak semakin banjir air mata. “Kamu pasti akan datang, Diana. Kamu nggak mungkin melewatkan malam pertama tahlilan Maya.”

Seketika otakku terjeda. Malam pertama tahlilan Maya? Apa maksudnya?

“Maya? Ada apa dengannya?” tanyaku seperti orang bodoh. Sebab di kepalaku masih terbeseit alur cerita fiksi yang masih kukerjakan.

“Kemarin Maya kecelakaan, dan … tadi pagi dinyatakan meninggal dunia.”

Deg!

Tubuhku mematung. Bibirku kelu. Seketika telingaku berdengung. Bahkan Rani yang pergi dengan sepeda motornya tak kuhentikan. Kepalaku seperti melayang. Rasanya badanku akan tumbang beberapa detik lagi. Beruntung Ibu berada tepat di belakangku yang sudah jatuh pingsan.

Malamnya, benar saja. Aku melihat bendera kuning di depan rumah Maya. Orangtuaku sengaja mengantarkanku dengan mobil, karena kondisi tubuhku yang lemah. Tulisan-tulisan di laptopku tak kupikirkan lagi. Sekarang hanya ada rasa penyesalan yang mengerumuni dadaku. Di sana sudah ada Rani dan Ani yang siap tahlilan. Keduanya menatapku penuh kebencian. Aku tahu, aku salah. Enam bulan adalah waktu yang paling lama kami tak bertemu. Biasanya kami akan berkumpul setidaknya dua minggu sekali.

Keesokan paginya, aku berlutut di tanah basah dengan papan nisan bertuliskan nama Maya. Mengusapnya perlahan hingga tak terasa air mataku sudah berjatuhan. Tak lama, isak tangisku mulai terdengar. Kubuka ponsel dan melihat berbagai pesan Instagram dari Maya. Dia mengirimiku sebuah postingan tempat rekreasi, memintaku untuk pergi bersama mereka karena sudah lama tak kumpul. Kiriman lain juga menunjukkan jokes atau meme sebagai bentuk penghiburannya untukku. Maya tahu, aku beralih profesi menjadi penulis yang menurutnya membosankan.

“May, kenapa kamu nggak datang ke rumahku. Kita bicarakan semua rencana liburanmu ke tempat-tempat yang kamu inginkan.” Tangisku semakin menjadi. “Maafkan aku, May. Harusnya aku nggak ambil tawaran yang kedua. Mungkin kita masih bisa kumpul seperti dulu.”

Ibu mengusap punggungku. “Semuanya sudah takdir, Nak.”

Untuk yang kesekian kalinya, aku mencium papan nisan sebelum pergi meninggalkan makam Maya. Kembali pada pekerjaanku yang sedikit lagi akan tuntas. “Temui aku, May. Aku menunggumu,” ucapku pelan sebelum akhirnya benar-benar melangkah pergi.

Malam itu, rasanya hampa. Ide tak muncul, sehingga aku terkena writer’s block. Sudah tujuh kaleng minuman yang kuhabiskan malam ini. Rentetan pesan dari Editorku tak kubuka satu pun. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Semua lampu di rumah sudah dimatikan. Tersisa terang bulan masuk dari jendela yang sengaja kubuka gordennya, dan cahaya laptopku sebagai penerangan.

Aku kembali mendudukkan pantatku di kursi hidrolik. Menari-narikan jari di atas keypad laptop. Berharap kaleng minuman terakhir bisa menjadi obat lancar otakku yang tersendat. Rasanya malam ini lebih dingin dibanding sebelumnya. Padahal AC di kamarku hanya menyala di suhu dua puluh tujuh derajat. Dari bilik jendela terdengar ketukan pelan yang berhasil menarik atensiku. Dan di sanalah aku bisa melihat Maya yang menggelantung –kamarku berada di lantai dua. Tersenyum menyeringai sambil berkata, “Semangat nulisnya, Diana!”

Putri Oktaviani lahir di Tangerang Tahun 2000. Alumnus Akuntansi, Perguruan Tinggi Swasta. Penggiat literasi sejak Tahun 2020. Novel-novelnya terbit ekslusif di platform digital. Cerpennya tersebar di beberapa media seperti; Literasi Kalbar, Takanta, Marewai, Cerpen Sastra. Peminat fiksi genre thriller dan misteri. Pendengar podcast horor. Instagram @putri.oktavn

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *