BAHASA; PINTU MASUK MENUJU NEGERI YANG LAIN
DAN KISAH ORANG-ORANG LALU
Nana Sastrawan
/1/
Nusantara, ialah kesukubangsaan yang bisa dimaknai sebagai wilayah entik dan budaya. Dari sisi etnik, Nusantara memayungi ribuan suku bangsa dengan berbagai macam bahasa etnik yang dipergunakan untuk komunikasi. Sebagai wilayah budaya, Nusantara memiliki berbagai tradisi sosial budaya yang kelahirannya terhubung erat dengan alam. Namun, siapa sangka, konsep membentuk Nusantara pada awalnya hanya tercetus dari seorang berdarah ‘rakyat’ pada permulaan abad ke-14 yang terlahir di daerah aliran Sungai Berantas, mengalir dengan deras menuju ke arah selatan dataran Malang dan di kaki Pegunungan Kawi-Arjuna yang indah dan sejuk. Para ahli sejarah pun tidak dapat mengusut hari lahirnya dengan pasti, bahkan ibu dan bapa serta nama desanya tempat dia dilahirkan terlupakan begitu saja. Seseorang itu bernama Gajah Mada.
Pada awal Gajah Mada menyerahkan tenaganya kepada negara ketika menjadi kepala prajurit sesudah diangkat menjadi kepala daerah, dia selalu mendapat perhatian dari pusat pemerintahan karena keberanian dan kebijaksanaan memerintah. Gajah Mada dipindahkan ke pusat pemerintah dengan jabatan itu. Pada masa itu, terjadi pemberontakan yang mengacaukan pusat negara sehingga kepala negara, yaitu raja harus diungsikan. Hanya lima belas orang pada saat itu yang ikut berjaga dan mengikuti Gajah Mada untuk mengawal raja keluar dari istana. Pekerjaan yang sangat berbahaya, darah mesti tumpah dan kebijaksanaan harus berlaku.
Gajah Mada hidup dan berjuang pada kerajaan Majapahit yang badan pemerintahannya sudah tersusun rapi, dan Gajah Mada dapat menggerakkan bagian-bagian badan itu untuk kemajuan negara dan kepentingan rakyat. Pemerintah negara Majapahit terbagi atas bagian bawahan, tengahan, dan bagian atasan. Bagian bawahan dijalankan oleh susunan persekutuan adat di seluruh Nusantara, seperti desa di pulau Jawa. Desa yang beribu-ribu banyaknya itu menyusun diri sendiri secara adat dan mementingkan kepentingan negara.
Sebagai kaki tangan pemerintah negara, bagian tengahan dilaksanakan oleh bupati dan patih, meliputi wilayah daratan dan pesisir. Ada juga raja atau ratu daerah yang memegang kekuasaan atas beratus-ratus desa atau persekutuan lain. Bagian tengahan ini yang menghubungkan pemerintahan desa dengan pemerintahan pusat yang berkedudukan di kota Majapahit.
Di puncak pemerintahan, di atas singgasana seorang Prabu menjungjung kedaulatan negara dan rakyat. Gajah Mada berada pada zaman lima raja dan memiliki permasalahn negara yang berbeda-beda. Yaitu, Kertarajasa (1294 – 1309), Jayanegara (1309 – 1328), Seri Teribuana (1328 – 1350), Hayam Wuruk (1350 – 1387).
Lalu, apa pentingnya mengenal Gajah Mada di masa sekarang? Gajah Mada adalah sosok kharismatik yang mempersatukan wilayah-wilayah di Nusantara hingga menjadi kerajaan besar, dan wilayah-wilayah itu sebagian besar masih menjadi bagian pemerintahan sekarang. Tidak hanya itu, pada zaman Gajah Mada, banyak loyang dan batu ditulis memperingati kejadian-kejadian penting sebagai tanda, piagam-piagam baru dan lama dikumpulkan dan dijaga. Beberapa candi dihiasi dengan pahatan cerita Ramayana, Kresynayana, Bubuksah dan Satyawan. Kitab undang-undang Kutaramanawa digunakan; kitab ini berasal dari zaman Kediri bersandarkan kepada dua kitab, yaitu Kutarasyatra dan Manawasyastra, sebagai salinan dari kitab Darmasyastra karangan Manu. Di pulau Jawa memang memiliki undang-undang Hindu lain, seperti Syiwasyana yang disusun oleh Raja Darmawangsa dan kitab Adigama, yang disusun di bawah pimpinan Patih Mangkubumi Kanaka (1413 -1430).
Perhatian Gajah Mada kepada wilayah budaya tulis dan pengarsipan ini menjadi Majapahit memiliki kekayaan Intelektual dan disegani oleh kerajaan-kerajaan lainnya. Bahkan Sumpah Gajah Mada yang disebut Sumpah Palapa, belakangan diyakini memiliki muatan sastra dengan syarat makna yang dapat menggerakan seluruh komponen badan pemerintahan negara pada saat itu. Sumpah yang diucapkan ketika Gajah Mada mendapat kekuasaan, jawatan yang luar biasa. Di tangannya, tersimpan tenaga politik yang biasanya terbagi atas patih mangkubumi, perdana menteri, dan penganjur rakyat. Pada tahun 1331 tanggung jawab itu menyatu dalam satu kebijakan yaitu, Gajah Mada. Pada akhirnya, Sumpah itu menyatukan seluruh wilayah Nusantara, melahirkan gerakan dan perubahan besar-besaran dari sisi politik, budaya, sastra, ekonomi, sosial dan lainnya. Meskipun pada awalnya diragukan dan ditertawakan oleh kalangan pejabat penting di Istana Majapahit.
Disebabkan tabiat dan tingkah laku yang kuat itu, tujuan hidup Gajah Mada sangat cenderung memiliki tujuan politik yang luhur dan jelas. Politik Gajah Mada adalah politik kebangsaan yang hendak menunjukan Negara Merdeka yang meliputi tumpah darah Nusantara, dan sebagian besar berhasil.
Saya baru akan berhenti berpuasa makan palapa, jikalau seluruh Nusantara bertakluk di bawah kekuasaan negara; jikalau Gurun, Seram, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, dan Tumasik sudah dikalahkan.
–Gajah Mada—
/2/
Selepas hancurnya Majapahit, Nusantara memiliki wilayah politik yang paling penting dalam lingkaran perekonomian dunia dengan penghasilan rempah-rempah, kekayaan laut dan tanah yang subur menjadikan berabad-abad kawasan Nusantara dikuasai oleh bangsa-bangsa lain. Konsep Nusantara secara geografik melingkupi wilayah yang luas, kemudian tersekat oleh ketentuan politik pemerintahan ketika terjadi kolonisasi.
Portugis yang datang lebih awal ke wilayah nusantara, abad ke-15 kalah bersaing dengan Inggris dan para pedagang VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), yaitu Perserikatan Perusahaan Hindia Timur yang berdiri 20 Maret 1602 dan mulai memainkan peranannya menguasai perdagangan laut di wilayah Nusantara. Dimulailah pembagian wilayah bukan berdasarkan kesamaan ras, budaya, dan bahasa, melainkan ditentukan menurut kepentingan kolonial, dengan ditandai Traktat London, Mei 1824. Perjanjian antara Inggris dan Belanda yang secara geografis memisahkan masyarakat Sumatra dari saudaranya, masyarakat melayu; sebuah perjanjian politik di mana Inggris berhak menguasai Singapura dan Malaka terhitung 1824.
Persatuan dan kesatuan Nusantara yang dibangun oleh Gajah Mada setelah majapahit hancur telah tersekat-sekat kembali, dengan munculnya penjajah dari Eropa seketika porak-poranda. Kepentingan pribadi dari setiap wilayah menjadi sesuatu yang menonjol, sehingga terjadi perang saudara, pertumpahan darah. Cukup lama Nusantara mengalami masa perpecahan, hingga pada tahun 1920an muncul seorang bernama Muhammad Yamin.
Dalam sejarah kesusastraan Indonesia, khususnya bidang puisi, ada dua kepeloporan penting yang telah ditanamkan Muhammad Yamin (1903 – 1962). Pertama, dalam hal tema yang dikedepankan, dan kedua dalam hal bentuk yang digunakan. Beberapa puisinya yang diterbitkan pada kisaran tahun 1920-1928 di media massa, misalnya Jong Sumatra, Soeloeh Ra’jat Indonesia pada waktu itu menegaskan bahwa suatu gagasan kemerdakaan dan cinta tanah air telah menjadi wacana publik.
Muhammad Yamin menempatkan puisi tidak sekadar alat untuk mengekspresikan perasaan pribadinya, melainkan menjadi puisi sebagai alat perjuangan dan menyimpan pemikiran-pemikiran besar tentang konsep kebangsaan dan negara. Perkembangan pemikirannya mulai dituangkan pada puisi-puisinya; Bahasa, Bangsa, Tanah Air, Indonesia Tumpah Darahku. Selain bentuk persajakan pantun dan syair yang cenderung lebih banyak menggunakan kalimat-kalimat naratif, bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu, sehingga mulai terbuka peluang baru untuk memanfaatkan bahasa Melayu secara lebih kreatif. Bahasa Melayu semakin berkembang menjadi bahasa budaya yang modern. Satu puisi Muhammad Yamin yang ditulis ini menunjukan keseriusan dan konsistensinya menempatkan puisi sebagai alat pergerakan.
Indonesia, Tumpah Darahku
Bersatu kita teguh
Bercerai kita jatuh
Duduk dipantai tanah yang permai
Tempat gelombang pecah berderai
Berbuih putih di pasir terderai,
Tampaklah pulau di lautan hijau,
Gunung gemunung bagus rupanya,
Dilingkari air mulia tampaknya:
Tumpah darahku Indonesia namanya.
Lihatlah kelapa melambai-lambai
Berdesir bunyinya sesayup sampai
Tumbuh di pantai bercerai-berai
Memagar daratan aman kelihatan;
Dengarlah ombak datang berlagu
Mengajari bumi ayah dan ibu,
Indonesia namanya, tanah airku.
Tanahku bercerai seberang-menyeberang
Merapung di air malam dan siang
Sebagai telaga dihiasi kiambang,
Sejak malam di hari kelam
Sampai purnama terang benderang;
Di sanalah bangsaku gerangan menompang
Selama berteduh di ‘alam nan lapang.
Tumpah darah Nusa-India
Dalam hatiku selalu mulia
Dijunjung tinggi atas kepala
Semenjak diri lahir ke bumi
Sampai bercerai badan dan nyawa
Karena kita sedarah-sebangsa
Bertanah air di-Indonesia
Bangsa Indonesia bagiku mulia
Terjunjung tinggi pagi dan senja,
Sejak syamsiar di langit nirmala
Sampaikan malam di hari kelam
Penuh berbintang cahaya bulan;
Mengapatah mulai, handai dan taulan,
Badan dan nyawa ia pancarkan.
Selama metari di alam beredar
Bulan dan bintang di langit berkisar
Kepada bangsaku berani berikrar;
Salam awan putih gemawan
Memayungi telaga ombak-ombakan,
Selama itu bangsaku muliawan
Kepada jiwanya kami setiawan.
Ke Indonesia kami setia
Di manakah ia di hatiku lupa,
Jikalau darah di badan dan muka
Berasal gerangan di tanah awal;
Sekiranya selasih batang kemboja
Banyak kulihat ditentang mata
Menutupi mejan ayah dan bunda?
Di batasan lautan penuh gelombang,
Mendekati pantai buih berjuang,
Terberai tanahku gewang-gemewang
Sebagai intan jatuh terberai
Dilingkari kerambil lembai-melambai
Menyanyikan lagu dan indah permai
Di sela ombak memecah ke pantai.
Duduk di pantai tanah permai
Tempat gelombang pecah berderai
Berbuih putih di pasir terderai,
Tampaklah pulau di lautan hijau
Gunung gemunung bagus rupanya,
Dilingkari air mulia tampaknya:
Tumpah darahku Indonesia namanya.
Memandang ‘alam demikian indahnya
Ditutupi langit dengan awannya
Berbilaikan buih putih rupanya,
Rindulah badan ingin dan rewan,
Terkenangkan negeri dengan bangsanya
Berumah tangga selama-lamanya
Penuh peruntungan berbagai sejarahnya.
Pasundan, 26 Oktober 1928
Pada masa itu, bangsa dan negara Indonesia masih dalam angan-angan, dalam gagasan Muhammad Yamin, terwujud pada puisi yang dituliskannya. Bahasa, khususnya karya sastra memang menunjukan peristiwa sosial pada zamannya sekaligus menyimpan persoalan psikologi penulisnya.
Kepeloporan Muhammad Yamin sesungguhnya pada muatan puisi-puisinya yang bergerak dari tema kedaerahan menuju nasionalisme, meskipun pola soneta kemudian diikuti oleh para penyair pujangga baru. Tetapi, pada masa itu kebahasaan menuju semangat persatuan, cinta tanah air dan menyadari pentingnya memiliki bangsa yang merdeka adalah suatu keharusan. Sesuatu yang mendesak ketika di setiap wilayah terjadi pemerasan dan kekejaman dari bangsa penjajah.
Perkembangan gagasan Muhammad Yamin mengenai bahasa menjadi cita-cita untuk mempersatukan bangsa yang terkotak-kotak. Gagasan mengenai bahasa persatuan tentulah tidak datang secara tiba-tiba, pemikiran itu melalui proses yang sangat panjang. Sebab secara tegas Muhammad Yamin mengungkapkan kebesaran tokoh-tokoh atau kerajaan masa lalu yang tercatat dalam deretan kemegahan Nusantara, seperti Sriwijaya, Pasai, Hang Tuah, Malaka, Cindur Mata, Imam Bonjol dan Gajah Mada.
Bagi Muhammad Yamin, keagungan masa lalu tidak sekadar sebuah nostalgia, perayaan atau hura-hura semata untuk diperingati, melainkan sebuah kebangkitan, pembangunan kembali reruntuhan Nusantara. Terbukti dalam Kongres Pemuda Indonesia I, tahun 1926, Muhammad Yamin menjadi salah seorang yang memperjuangan bahasa Melayu agar menjadi bahasa persatuan, bahasa untuk mempersatukan suku-suku bangsa. Setelah melewati proses yang panjang, dalam Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928. Perjuangan Muhammad Yamin dan para pemuda pada masa itu tentang konsep tanah air, kebangsaan dan bahasa persatuan mewujud dalam Sumpah Pemuda. Bumi Nusantara yang dikenal sebelumnya menjelma kata ‘Indonesia’.
Nama Indonesia pertama kalinya dituliskan oleh James Richard Logan dalam karangannya (1869), kemudian dipakai pula oleh pengarang Jerman bernama Bastian. Sejak itu, banyak pengarang-pengarang Eropa yang termasyhur menggunakan nama itu hingga pada akhirnya terdengar lazim. Nama itu terbentuk dari dua kata Inde (Hindia) dan Yunani nesos berarti pulau.
Pertama : Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia.
Kedua : Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Ketiga : Kami putra dan putri Indonesia menjungjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
/3/
Setelah dideklarasikan Sumpah Pemuda, harapan baru sebagai bangsa yang merdeka dan bersatu semakin menguat dari berbagai kalangan. Dengan penyebutan Indonesia sekaligus berarti menjadi tempat berbagai kebudayaan etnisitas. Indonesia menjadi ruh, spirit, ekspresi dan elan kebangsaan dalam arti kultural. Indonesia adalah Aceh, Bali, Bugis, Dayak, Jawa, Madura, Melayu, Papua, Sunda dan seterusnya. Kelahiran sumpah pemuda mencapai momentum politis ketika tumbuh menjadi gerakan kebangsaan. Bahasa Indonesia seketika berfungsi sebagai alat membangun sentimen kebangsaan. Karya sastra mulai mendapatkan tempat sebagai media komunikasi yang luhur dan berintelektualiatas. Para penulis, penyair pun bermunculan, menyuarakan gagasan, pemikiran. Satu di antaranya adalah puisi, karya sastra yang paling mujarab untuk membangkitkan gelora kebangsaan dan kemerdekaan.
Sikap tersebut melanjut pada Chairil Anwar (1922 – 1949), ia berhasil menanam pohon kreativitas yang sampai sekarang masih berkembang-berbuah. Sikap Chairil Anwar yang paling tersorot adalah hasrat mencipta yang didasari oleh semangat kebebasan, tanpa sekat, konvensi dan segala bentuk borgol-borgol kreatif. Sikap itu ditunjukan pula dengan kebenciannya terhadap kebijakan politik pemerintahan Jepang yang menguasai tanah Indonesia.
Sinismenya itu ditunjukan pada sejumlah seniman yang tergabung dalam Kantor Pusat Kebudayaan yang dijadikan alat propaganda. Dalam pemberontakan ini, Chairil tidak hanya menolak segala bentuk penjajahan, namun tampil sebagai pelopor yang awal pertamanya mengubah konvensi berkesenian, khususnya sastra pada masa itu dan sebelumnya yang diusung pujangga baru. Segala hal dalam masa pujangga baru dengan gaya keluh-kesah yang ditandai sebagai perilaku keseharian mesti ditinggalkan. Chairil memberikan penyadaran kemasyarakat sekelilingnya untuk ‘tegak berdiri’.
Gagasan Chairil Anwar, dalam sejumlah puisi dan esainya menegaskan sikap hidup yang tidak hanya mempengaruhi teman-teman sesama sastrawan, seniman. Namun, karya-karyanya menjadi bagian penting dalam menghidupkan bahasa Indonesia sebagai bahasa perjuangan melawan penjajahan dan menyatukan bangsa, menjadi negara merdeka.
Sikap menolak penindasan, penjajahan dan hasrat ingin membentuk negara yang bersatu, kuat dan maju dalam segala bidang pun terwariskan pada WS. Rendra (1935 – 2009) hanya berbeda zaman, jika masa-masa sebelumnya sikap kebangsaan hadir untuk melawan bangsa penjajah dari negara lain, WS. Rendra muncul untuk melawan kebijakan-kebijakan yang tidak adil dari pemimpin bangsanya sendiri.
Puisi-puisinya lahir dengan bahasa-bahasa yang gamblang dan bernuansa perlawanan, kritik sosial. Rendra menjadikan puisi sebagai media pemberontakan terhadap kesewenang-wenangan, menggambarkan peristiwa-peristiwa sosial pada masanya. Karena sikapnya ini, kerap kali Rendra mendapatkan tekanan politik, berurusan dengan aparat pemerintah hingga meski mendekam dalam penjara. Tidak hanya Rendra yang terus melawan ketidakadilan di zaman kemerdekaan, di mana semestinya persatuan dan kesatuan yang dibangun sejak zaman kerajaan, penjajahan oleh leluhur menjadi bagian yang memakmurkan. Wiji Thukul yang lahir pada tahun 1963 hingga sampai saat ini tidak diketahui rimbanya, apakah masih hidup atau sudah meninggal pun menyuarakan sangat keras dan lantang.
Wiji Thukul mengupas kehidupan rakyat kecil yang hidup dibawah kepemimpinan otoriter pada masa Orde Baru melalui puisinya. Rasa-rasa pahit kemiskinan dan penderitaan terasa begitu pilu terurai melalui untaian kata yang Thukul tulis. Bagi dia puisi adalah media yang mampu menyampaikan permasalahan rakyat kecil dan juga bagi kaum tertindas di masa Orde Baru. Semenjak itu, Thukul kerap kali dituding sebagai dalang demonstrasi, puisi-puisinya dicurigai sebagai penggerak rakyat kecil melakukan protes, hingga meledaknya peristiwa reformasi 1998, Wiji Thukul dinyatakan hilang, dan menjadi korban penculikan oleh aparat pemerintah.
Sederet peristiwa itu tentu membuat kita berpikir ulang, bahwa kekuatan bahasa khususnya karya sastra dapat menjadi sebuah gerakan perubahan besar pada perkembangan kehidupan bernegara dan berbangsa. Dari sumpah palapa, sumpah pemuda dan perjuangan para penyair melalui bahasa dapat menyatukan suatu kekuatan untuk menjalin persatuan dan kesatuan, sehingga kesadaran keberagaman, kesejahteraan yang berkeadilan tidak merupakan omong kosong. Jauh sebelumnya, para leluhur, tokoh bangsa, para sastrawan telah hadir, berbuat nyata untuk kepentingan bangsa Indonesia agar menjadi negara yang beragam dalam berkesatuan. Merdeka dalam kemakmuran maupun dalam kesengsaraan.
Darah rakyat telah membentuk Nusantara dari seorang Gajah Mada yang lahir dari rakyat dan diteruskan cita-cita tersebut oleh para pemuda di masa penjajahan, hingga para penyair yang terus berkarya untuk menyuarakan kebenaran. Suatu rangkaian peristiwa yang tak bisa dikesampingkan begitu saja.
Lalu, apa hubungannya dengan zaman sekarang? Di mana perkembangan teknologi semakin pesat, percampuran budaya terjadi di setiap wilayah di negeri ini. Di saat sebagian para penyair, sastrawan, seniman dan budayawan mulai mengedepankan popularitas di tengah politik anggaran para birokrat kebudayaan. Di saat badan-badan pemerintah menjadi lumbung emas para koruptor. Di saat pergerakan ekonomi tidak stabil, di saat pandemi covid-19 melumpuhkan sumber penghasilan rakyat Indonesia.
Tentu saja, peran bahasa khususnya karya sastra menjadi suatu hal yang paling penting pada saat sekarang. Karya sastra yang ditulis akan melahirkan permusuhan maupun pergerakan menuju kebaikan. Ia adalah mata tombak yang akan menancap ke setiap pikiran dan melahirkan gerakan tanpa bentuk, namun nyata dirasakan oleh khalayak umum. Hanya, siapa yang akan menggunakan bahasa khususnya karya sastra tersebut untuk mencapai tujuan yang memakmurkan, menyejahterakan dan menyampaikan suatu kebenaran.
Di tangan para penulis, penyair, sastrawan, seniman, budayawan bahasa menjadi suatu gerakan perubahan, gerakan untuk melahirkan suatu kekuatan demi kepentingan bersama. Bukan hanya menjadi perayaan sesaat; dituliskan, dikumpulkan, dibukukan, diumumkan kemudian diperjual-belikan. Sejatinya, di berbagai negara mana pun, kelahiran dan peranan sebuah karya sastra sering kali menjadi pioner dan sekaligus sebagai agen perubahan. Tak sedikit pula yang pengaruhnya justru mengubah paradigma, pola pikir, dan membuka berbagai kemungkinan yang lebih luas bagi kemajuan kebangsaan, kebudayaan dan kemanusiaan.
Secara kuantitas, ada peningkatan signifikan: jumlah penyair, penulis dari berbagai daerah di Indonesia. Dari daerah-daerah terpencil hingga kota-kota besar. Secara kualitas, karya yang terpublikasikan atau puisi-puisi, cerpen-cerpen yang terhimpun pada kegiatan komunitas, baik yang berbasis industri media maupun komunitas-komunitas yang tumbuh secara alami. Menunjukan keberagaman tema dan pengucapan atau gaya penulisan. Dengan begitu, makin memperkaya peta kesusastraan Indonesia. Sudah semestinya, seiring tumbuh kembangnya karya-karya sastra di masyarakat, semakin cerdas dan beradabnya suatu bangsa dan menghargai setiap perbedaan di lingkungannya. Bukankah gedung-gedung pendidikan pun semakin menjamur di setiap daerah di negeri ini, dan selalu ramai diisi oleh para pembelajar. Belum lagi, akses internet yang sudah meluas, dan hanya menggunakan ibu jari untuk melihat dunia luas di layar ponsel.
Bahasa, khususnya karya sastra merupakan pintu masuk ke suatu negeri yang lain, negeri baru di masa depan atau negeri masa kini dan masa lampau. Sebab dalam karya sastra terdapat suatu gagasan, pemikiran dan konsistensi dalam mewujudkan impian, seperti juga yang dilakukan oleh orang-orang terdahulu. Gajah Mada menyimpan impiannya pada bahasa, sebuah teks perjanjian yang diucapkan oleh dirinya sendiri dan diwujudkan olehnya, namun perwujudan itu pun berdampak untuk kelangsungan suatu negara.
Muhammad Yamin menyimpan gagasan dan pemikirannya pada puisi-puisi bertemakan kebangsaan, kemudian diterjemahkan kembali menjadi teks perjanjian, yaitu sumpah pemuda yang disepakati oleh para pemuda dari berbagai suku untuk dijalankan sehingga menjelma suatu bangsa, yaitu Indonesia.
Itu pun terwariskan pada para penyair, sekadar menyebutkan nama Chairil Anwar, WS. Rendra dan Wiji Thukul. Mereka tidak pernah mati setelah karyanya selesai dituliskan, tetapi malah hidup, bangkit, mendampingi karyanya, tulisan-tulisannya sebagai representasi tanggung jawab moral, dan sebagai agen perubahan bangsa, pahlawan tanpa medali emas, piagam dan sertifikat bernomor dari pemerintah. Mereka sadar betul sebagai pengarang, bahwa jika berdiam diri apa bedanya pengarang dengan pengkhayal, tukang cari sensasi. Padahal, para koruptor pun bekerja dengan sangat ulet untuk membangun mimpi-mimpinya menimbun harta kekayaan.
Akhir-akhir ini, dunia kepenulisan memang semakin ramai, sejak pasca reformasi penerbitan pun bertebaran. Kebebasan berpendapat menjadi ‘jargon’ semua orang, mereka bebas mengekspresikan dirinya melalui media sosial, dengan bergaya penulisan puisi, cerita atau sekadar artikel pendek. Perpaduan bahasa semakin gamblang, dari kalimat campuran Indonesia-Inggris, atau bahasa daerah dan bahasa-bahasa popular, yang sering disebut tulisan kaum ‘alay’. Ini sebenarnya kabar baik bagi perkembangan kesusastraan Indonesia, bahwa pada dasarnya sebuah karya sastra mengajak setiap orang dapat meraih kesadaran akan makna dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi sekaligus kabar yang mengkhawatirkan untuk suatu tatanan kebangsaan ketika bahasa disusupi kepentingan-kepentingan untuk menghancurkan, memporak-porandakan persatuan dan kesatuan bangsa.
Namun, selama kesadaran akan sejarah leluhur dan tokoh-tokoh perjuangan dalam menyatukan bangsa ini masih tertanam dalam hati dan pikiran, terus disebarluaskan sebagai produk intelektual serta terimplementasikan dengan baik, harapan akan selalu ada untuk kehidupan bangsa ini yang akan hidup sehidup-hidupnya. Sebab melalui bahasa, khususnya karya sastra akan melahirkan manusia-manusia bermanfaat bagi sesama manusia dan makhluk lainnya, karena menulis adalah kerja intelektual, kebudayaan dan sosial.
Aku bertanya:
Apakah gunanya pendidikan
Bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing
Di tengah kenyataan persoalannya?
Apakah gunanya pendidikan
Bila hanya mendorong seseorang
Menjadi layang-layang di ibukota
Kikuk pulang ke daerahnya?
Apakah gunanya seseorang
Belajar filsafat, teknologi, ilmu kedokteran, atau apa saja
Ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata:
‘Di sini aku merasa asing dan sepi.”
(Penggalan Sajak Seonggok Jagung, Rendra 1975. Potret Pembangunan dalam Puisi)
Agustus 2020
Daftar Bacaan :
Muhammad Yamin, Gajah Mada Pahlawan Persatuan Nusantara (Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 2010)
Maman S Mahayana, Jalan Puisi dari Nusantara ke Negeri Poci (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2016)
Sutardji Calzoum Bachri, Isyarat, Kumpulan Esai (Yogyakarta: Penerbit Indonesiatera, 2007)
Nana Sastrawan, peraih penghargaan Acarya Sastra IV Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Kemendikbud 2015.