Semburat cahaya kuning yang turun dan menyelinap masuk di sela gedung menjulang telah menggubah sore yang khusyuk. Seperti lukisan kesenduan, cahaya itu tak hanya menyalurkan energi kepada para penikmatnya, bahkan keberadaannya telah membuat beton bertulang dan jembatan gantung menjadi berkilat keemasan. Ketika itu pula, jalanan dipenuhi dengan lalu lalang kendaraan. Ada berbagai macam transportasi darat, diantaranya adalah bus PT yang mengantar para karyawan pulang ke peraduan.
Jika cahaya sudah menjadi keunguan, maka para orang tua akan menutup jendela dan menyuruh anak-anaknya untuk pulang. Anak-anak yang tengah bermain petak umpet, lompat tali, gobag sodor dengan terpaksa menyudahi dan buru-buru masuk ke rumah masing-masing. Namun, tidak dengan gadis kecil yang masih asyik meniup saksofon. Ia memainkan saksofonnya dengan membawakan All The Things You Are, sebuah lagu yang sering ditampilkan oleh Charlie Parker, sang pencetus sub-genre jazz bernama bebop.
Cornelia sesekali melirik keluar. Matanya menembus rumah kaca dan melihat sore yang sudah bermandikan lampu merkuri. Tak begitu peduli, ia masih saja meniup saksofon dengan piawai. Menciptakan suara-suara yang mendendangkan kejujuran. Setiap orang yang mengenal Charlie Parker akan terpukau jika mendengarkan suara yang dihasilkan oleh saksofon Cornelia. Lantas, orang-orang akan bergumam, “kekaguman seperti apa yang telah membawanya untuk begitu menyelami sosok Charlie Parker?”
Namun, siapa sangka, yang mengagumi Charlie Parker bukanlah Cornelia. Tapi, seekor anjing peliharaannya. Anjing yang selalu menemaninya dalam bermain saksofon. Anjing yang dengan gonggongannya mendendangkan kesedihan. Cornelia justru mengagumi Louis Armstrong, seorang yang berpengaruh dalam dunia jazz. Aneh. Ini sangat bertolak belakang dengan Armstrong yang membenci genre bebop.
Hidup memang selalu dipenuhi dengan kejutan. Seperti jazz, eksistensinya bukan untuk didefinisikan. Jazz adalah bukan ini dan bukan itu. Lagipula jazz dan hidup hanya untuk dirayakan, bukan? Maka, rayakanlah suara saksofon Cornelia yang saling kejar-mengejar dengan suara lolongan anjing. Raungan suara itu telah menciptakan sebuah instrumen dialog yang paling jujur. Ya, barangkali tak perlu ada idealisasi dalam dunia jazz sekali pun.
***
Di luar kamar, sang mentari sudah tenggelam dan singgasana langit sudah temaram. Kini digantikan oleh buaian lampu-lampu listrik. Sahut-sahutan alunan jazz sudah tak terdengar lagi. Cornelia dan anjingnya telah menyudahi ritual mereka. Cornelia mendekat ke anjingnya, ia berkata; “jangan pernah tinggalkan aku lagi, Musso”. Anjingnya memahami bahwa suara Cornelia adalah suara yang benar-benar tulus. Cornelia sadar bahwa ia tak mau ditinggal anjingnya untuk yang kedua kali, meskipun sesaat.
“Benar, Musso tak akan meninggalkanmu lagi, sayangku. Ayah punya segalanya, dan Musso pasti akan hidup bahagia. Kau dan Musso bisa mengisi malam dengan berlatih saksofon di bar hotel-hotel yang Ayah miliki. Kau bebas menyambangi klub di mana tempat para saksofonis ternama itu bekerja. Kau bebas berlatih dengannya”. Sahut Broto yang berjalan sambil menenteng segelas brendi. Ia mendatangi keduanya dan berusaha untuk menepis segala keraguan.
Ya, keraguan yang selalu berbising di kepala Cornelia. Semacam firasat yang terus-menerus membuatnya tergeragap. Sebab, tempo hari anjingnya pernah mati suri. Benar-benar tak bernafas selama beberapa hari. Cornelia sadar bahwa bukan semua itu yang ia dan anjingnya inginkan. Buktinya hidup dengan segala kemewahan ternyata bisa membosankan. Anjingnya itu barangkali mati karena stres hidup dalam kehampaan, ia tak tahu lagi cara menikmati hidup yang terlampau parlente tanpa penderitaan.
Kini semenjak mati suri, Musso hanya mau makan dengan sepotong dendeng bandeng yang dibeli di pasaran. Ini tak akan pernah terpikir oleh siapapun, sekoyong-koyongnya. Dulu pernah Broto coba menjejalkan sirloin wagyu pada Musso, bukannya doyan anjing itu malah sekarat. Akhirnya, demi menghindari kesedihan Cornelia yang menjadi-jadi, Broto tak berani memberi makanan Musso lagi. Ia tak mau melihat Cornelia bermuram durja, toh lagian Broto akan selalu girang jika melihat anaknya bermain saksofon.
“Lusa malam, Ayah menggelar grand launching salah satu hotel yang ada di daerah pesisir. Kau dan Musso datang bareng Ayah, ya. Bermain saksofon di sana. Nanti Ayah kenalkan dengan para pejabat Negara. Semuanya teman Ayah. Pasti mereka semua akan kagum terhadapmu, sayang”. Tak sempat memberi waktu Cornelia untuk merespon, Broto buru-buru mengajak anaknya itu untuk makan malam. Karena malam itu juga, Broto harus keluar menghadiri acara lain.
Broto masih ada meeting untuk membahas kelanjutan pabrik bir yang digadang-gadangkan launching bulan depan. Ia termasuk orang yang juga terlibat penting di dalamnya. Sebab, ia adalah seorang pemilik saham yang menginvestasikan dananya separuh lebih dari dana pembangunan. Begitulah kehidupan Investor, tidak ada hal lain yang lebih diinginkan daripada return lebih dan keuntungan besar secara signifikan.
Malam setelah makan, akhirnya Broto bergegas meninggalkan rumah dengan mengenakan jas yang serba necis dan mahal. “Ayah akan segera pulang jika semuanya sudah selesai”. Ia mengecup manja anaknya dan berjalan menuju lantai bawah. Ketika Broto hendak menaiki mobil, Cornelia berteriak sambil mendekati Broto “Ayahhh. Parfumnya tertinggal”. Wajah cantik itu tampak memesona ketika tangannya menyodorkan parfum Dior Homme Intense milik Broto.
“Kau persis seperti mendiang Ibumu, Nak. Dulu, Ibu adalah orang yang selalu perhatian dan paling tahu kalau-kalau barang bawaan Ayah ada yang tertinggal. Ayah bangga padamu”.
“Ayah cepat pulang, ya”. Cornelia merengek.
“Pasti, Corneliaku. Ayo, kembali masuk ke dalam dan temani Musso”.
Cornelia mengangguk dan berbalik masuk ke rumah. Matanya yang bening itu berubah sayu dan makin meredup. Ia berjalan limbung sembari merasakan tekanan di tengah-tengah keglamoran sebuah rumah. Sementara Broto telah memberi instruksi pada sopir untuk segera berangkat. Mereka hanya memiliki sedikit waktu di sela hari-harinya, belum lagi ketika Broto di rumah tapi rekan bisnisnya selalu datang silih berganti. Mafhum saja, ia adalah seorang Investor besar yang dikenal luas oleh para pemilik usaha.
Semenjak kepergian Broto, gadis kecil itu tak melihatnya lagi sampai jelang acara grand launching tiba. Sesekali Broto menelepon Cornelia untuk menanyakan kabar. Sebuah obrolan singkat yang terjadi hanya beberapa menit. Begitulah kehidupan Cornelia, malam-malamnya selalu dirajam sunyi. Ia hanya menunggu waktu yang beringsut berdenyut untuk menemani Musso yang sangat ia gandrungi.
***
Malam itu Broto menemui Cornelia, hendak mengajak kembali untuk menghadiri grand launching yang tempo lalu sempat dibicarakan. “Ayah membawakan ini. Pakai lah, pasti kau akan terlihat lebih anggun, Corneliaku”. Bibir tebal yang mengapit cerutu itu seperti cerobong yang mengepulkan asap lantas tersenyum percaya diri, sembari tangannya menyodorkan sebuah gaun mewah berbahan sifon yang sudah kembali terlipat rapi.
Gaun itu memiliki model full skirt dress yang sengaja dirancang lebih lebar di bagian pinggang dan model halter yang mengikat lehernya. Dengan warna putih dan motif bunga yang dirajut, gaun itu tampak serasi dengan Cornelia yang memiliki rambut ikal kemerah-merahan. Agaknya Broto ingin melihat anaknya jadi makin terlihat feminin dan mengalahkan kecantikan noni-noni Belanda. Busyet.
“Terimakasih, Ayah. Tapi, Cornelia mau izin ke Musso dulu. Tak mungkin juga kalau Cornelia kesana tanpa mengajak Musso”. Tandas Cornelia yang berbicara sembari mengelus-elus kepala Musso. Ia lantas memeluk dan membicarakannya. Anjing itu mengangguk paham dan ekornya bergerak-gerak. Konon katanya anjing yang ekornya bergerak-gerak menandakan bahwa dia sedang berbahagia. Musso seolah-olah ingin mengatakan kalau ia bahagia selama masih bisa bersama Cornelia. Broto ikut bergembira dan nyeletuk “Bagus, anjing pintar”.
Broto keluar dan Cornelia bersejingkat mengunci pintu dan mengganti pakaian. Ia kenakan gaun dari Ayahnya, sembari bersolek ria di depan cermin. Sebenarnya Cornelia tak terlalu suka untuk berhias diri. Namun, Ibunya sengaja memasang lukisan Frederic Chopin tepat di atas cermin. Dulu, Ibunya sering berkisah tentang kegetolan komponis dan pianis zaman Romantik itu. Ia menceritakan Chopin sebagai seorang pianis virtuoso yang sangat memedulikan penampilannya di muka umum. Hal ini barangkali yang pada akhirnya menginspirasi Cornelia.
Corelia lakukan semuanya dengan mandiri, tanpa mau dibantu oleh peladen yang ada di rumahnya. Lantas, ia raih saksofon yang saban senja dimainkan. Meskipun Cornelia tak pernah berfikir tentang asal-muasal terciptanya sulfur cahaya kuning itu, tapi ia sungguh menikmati. Lagipula melihat sumber cahaya kuning di tengah-tengah kawasan metropolitan adalah suatu hal yang tak mudah, di balik jendela seseorang hanya akan mendapati gedung-gedung yang menjulang gagah seperti Talos dari mitologi Yunani.
“Aduhai, dikau sungguh cantik malam ini”. Suara Broto yang muncul dari belantara neon yang cahayanya berkelindan. Ia sudah siapkan segalanya termasuk menyiapkan mobil mana yang mau dipakai. “Ayo, kita berangkat, sayangku”. Ujarnya. Cornelia bersitatap dengan Musso dan mendekapnya kembali. Mereka lantas keluar rumah, di belakangnya terdapat seorang peladen yang sedang mengusung barang-barang bawaan Cornelia.
Dalam mobil yang meluncur tenang, Cornelia mencoba untuk memangku Musso dan mengajaknya untuk memandangi jalan. Ia melihat halimun hitam yang membentuk sayap kesunyian. Membuat bangunan di sepanjang jalan jadi terlihat seolah-olah ingin terbang dan bergeser ke kota-kota keabadian. Mobil terus meliuk dan menembus kekelaman yang penuh misteri. Di dalamnya, ada Broto yang tertidur pulas sampai perjalanan itu tiba.
***
Hotel sudah ramai oleh tamu undangan. Banyak mobil mewah dan para wartawan yang sibuk menggali informasi. Kanan dan kiri bibir pintu lobi hotel juga telah dipenuhi bunga papan congratulation. Mereka turun dari mobilnya dan berjalan memasuki hotel. Sejumlah greeter dan bellboy berderet menyambut hangat dan mengantar Broto menuju aula utama, tempat acara itu berlangsung. Mereka sudah disediakan sofa di depan barisan kursi-kursi yang tertata rapi. Tentu saja, sofa-sofa yang berbanjar sengaja disediakan untuk orang-orang terpenting dalam acara itu.
Acara dimulai dengan khidmat. Orang-orang menikmati jamuan dan sedikit berbicara dengan gaya, melemparkan senyum kepada waitress. Ada sebagian dari tamu undangan yang meminta untuk dibuatkan segelas bir pada bartender. Mereka barangkali memang penikmat bir atau sekedar minum untuk menghangatkan badan. Entahlah. Namun, yang jelas di luar malam sedang berhujan. Seluruh kaca-kaca gedung terlihat jelas telah mengembun.
Kini tiba saatnya Broto memberi sambutan. Punggung lebarnya berdiri tegak tepat di hadapan mimbar. Ia memang tidak berbicara di depan para demonstran, tetapi seperti sedang berorasi. Suaranya yang serak menggebu-gebu seperti ada sekat di kerongkongannya. Ada saat-saat di mana Broto menelan ludah, lantas melihat kembali kearah audiens. Kali ini nadanya menurun, bagaikan mantra yang ingin mengguna-guna seluruh hadirin.
“Well,well,well,well. Saya sudah melihat akan adanya potensi wisata yang besar di wiliayah pesisir ini. Karena itu, saya berinisiatif untuk membuka dan mengembangkan hotel sebagai rujukan para wisatawan. Apalagi hotel ini berdiri di atas lahan yang hanya dipakai untuk rawa-rawa. Kiranya ini sebuah alasan saya untuk mengubah tempat ini, dan menggantikannya dengan hotel yang bisa dimanfaatkan oleh para wisatawan, baik lokal maupun mancanegera. Tentunya dengan bangunan yang eksotis dan cozy, hotel ini akan menjadi objek wisata yang sangat memadai. Saya yakin dengan seyakin-yakinnya”.
Grand launching berjalan lancar. Sesudah memberi sambutan dan memotong pita tanda resmi hotel telah dibuka, Broto kembali ke tempat duduknya. Para pejabat, pimpinan tinggi aparutur sipil negara, pimpinan perusahaan, dan tamu undangan lainnya sangat antusias dan menikmati acara tersebut. Ada beberapa tari-tarian daerah, keroncong, dan suara saksofon Cornelia serta lolongan Musso yang ditampilkan untuk memeriahkan acara.
***
Ketika Cornelia dan Musso menampilkan pertunjukannya, maka semuanya terperangah dan memberi keplokan meriah. Mereka mendengarkan suara lembut yang memenuhi seisi ruangan, lalu membubung naik dan keluar mengepung seluruh sudut kampung pesisir. Seperti ingin menyampaikan pesan, suara itu berkisah dengan dingin dan penuh rahasia. Orang-orang dibuat makin terpesona, sedang Broto tersenyum bangga dan banjir pujian sebab penampilan anak semata wayangnya, setenggak margarita yang ingin ditelannya tiba-tiba jadi lebih legit daripada tequila jenis apa pun.
***
“Kau suka dengan acara tadi?”
“Suka, Ayah. Sebab, Cornelia dan Musso bisa menghibur banyak orang di sana”
“Sudah Ayah bilang, pasti banyak orang yang bangga padamu”
“Cornelia bisa begitu karena ada Musso”
“Dia memang Anjing yang hebat. Baiklah, sekarang kau ganti pakaian dan istirahatlah! Selamat tidur, Corneliaku”
“Selamat beristirahat juga, Yah”
***
Dari tahun ke tahun, kunci kebahagian Cornelia ada pada seekor anjing. Hari-harinya adalah sebuah harapan dan pengabdian. Sebelum akhirnya Musso jatuh sakit di atas ranjang. Inilah hari paling nestapa, di mana garis pedih dan hitam melingkar serta mengikat kencang hidupnya. Keadaan ini barangkali tak lebih melankolis seperti puisi pucat pasi, atau tak lebih menusuk dan menghujam melebihi desing peluru Dai Nippon.
Semenjak itu, Cornelia berubah menjadi lebih murung. Ketika melihat Musso yang tersungkur lemas, Cornelia jadi melepuh, rapuh, dan ikut tak berdaya. Musso sakit lantaran kehabisan stok daging bandeng. Walaupun Musso kelaparan, ia tetap tak mau makan apapun, meskipun sejumput daging bandeng yang dibeli dari pasar lain. Peladennya sudah kesana kemari mencari makanan untuk Musso. Tapi, tak pernah menuai penerimaan.
Pernah waktu itu salah satu peladennya menanyakan pada satu-satunya pengepul ikan yang biasa jadi pemasok bandeng. Pengepul itu menjawab bahwa kawasan tambak budidaya bandeng sudah tenggelam bercampur air laut. Tampaknya, banyak kisah yang disembunyikan oleh gedung-gedung menjulang, dan kampung pesisir itu dipaksa berjuang untuk hidup di tengah permukaan tanah yang terus menurun. Alangkah menyedihkan, jika di mana-mana penduduk dunia mengalami perebutan dan perampasan ruang hidup yang meledak-ledak.
Selepas mendengar jawaban pengepul ikan, peladen itu hanya mampu menggerutu, “Ah, betapa pendeknya waktu kehancuran lingkungan? Lantas, siapa yang bertanggung jawab atas bencana ini?”
Abdurrahman Hidayat Ramadani, lahir di kampung kecil sudut kota Pemalang, Jawa Tengah. Saat ini menjadi Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam, UIN Sunan Kalijaga. Penulis merupakan kader PMII Rayon Pembebasan dan pegiat seni di Sanggar Nuun, Yogyakarta.