Pekan Raya Urban dan Konsumtif, Menuju Masyarakat Hedon

Andi Hidayat

Perjalana adalah hal yang esensial dalam peradaban umat manusia. Tidak ada satu manusia pun yang tidak melakukan perjalanan dalam hidupnya. Catatan sejarah sekalipun telah membuktikan sejak masa homo sapiens, manusia telah ditakdirkan sebagai mahluk yang bergerak, melakukan perpindahan dari satu tempat ketempat lain.

Dalam kitab suci agama-agama besar di dunia terdapat banyak kisah bagaimana tokoh-tokoh di dalamnya melakukan perjalanan. Nabi Muhammad saw. melakukan perjalanan dari Mekah ke Madinah, demekian pula Yesus yang berjalan dari Nazerath ke Galilea. Buddhisme pun menceritakan bagaimana Siddharta Gautama melakukan perjalanan yang sangat jauh dan melelahkan hingga akhirnya menjadi seorang Buddha.

Perjalanan dalam ruang modernitas meskipun terbuka pada perubahan, manusia, nyatanya sering tertangkap dalam kebiasaan, dan akhirnya, dalam ketidakberubahan. Memasuki zaman modern, kita tetap saja melakukan mobilitas dari satu ruang keruang lain, dari kolong langit yang satu ke kolong langit yang lain. Akan tetapi, perjalanan modern punya alasan dan motivasi yang semakin kompleks serta beragam. Kompleksitas manusia tercermin di sini: di satu sisi ia tidak berubah, di sisi lain ia berubah.

Seiring berjalannya waktu, perjalanan menjadi sebuah wisata meskipun pada mulanya di dominasi oleh kalangan tertentu yang mampu mengakses aktivitas tersebut, kini perjalanan tersebut sudah tidak hanya dinikmati oleh kalangan tertentu saja. Berbagai lapisan masyarakat mulai mengakses untuk melakukannya. Perjalanan tersebut tidak lagi menjadi hal yang eksklusif meski tetap ada hierarki di dalamnya. Tentu saja dalam hal ini, perjalanan wisata mulai meninggalkan jejak paradoksnya. Di satu sisi ia menghindarkan manusia dari “kehidupannya”, tetapi di sisi lain perjalanan wisata disadari dan diterima menjadi hal penting dalam aspek kehidupan manusia.

Sebagai sebuah gelaja modern, perjalanan lahir dan tumbuh di kota karena memang identik dengan perkotaan. Oleh karena itu, perjalanan bisa dikategorikan sebagai fenomena urban. Dalam konteks Indonesia saat ini, dapat kita setujui bahwa maraknya fenomena jalan-jalan mengambil tempat lahir dalam suasana urban. Gejala itu tentu tidak terjadi di ruang lingkup pedesaan. Pada masyarakat urban, yang berbeda dengan masyarakat rural, menekankan hubungan sosial antarpenghuninya pada sesuatu yang kontraktual. Individu di formalisasi menjadi semacam mesin yang dituntut untuk memenuhi obligasi-obligasi sistemis yang dibebankan padanya karena pada dasrnya masyarakat kota  bergantung satu sama lain secara fungsional. Spesialis pembagian pekerjaan yang terdapat di dalamnya hadir sebagai penyebab kebergantungan tersebut. Individu seperti telah disebutkan sebelumnya merasakan apa yang pernah disebut Karl Marx sebagai alienasi. Saat itu Marx mengapungkan konsep itu dalam konteks buruh-buruh di pabrik yang membanting tulang kerja demi sebuah benda, misalnya sepatu, tetapi tidak pernah merasakan produk yang ia ciptakan sendiri. Sang proletar terasing dari apa yang dikerjakannya.

Pada konteks perkotaan hari ini, alienasi secara tidak sadar juga menjadi awan hitam yang menaungi kehidupan yang mewah, gemerlap dengan lampu-lampu kota yang menyilaukan mata. Di tengah senyum dan tawa dalam kehidupan kota , manusia-manusia urban sebenarnya sedang terasing dari perbuatannya seriap hari. Lebih parah lagi, mereka terasing dari dirinya sendiri akibat terlalu asik hidup dalam sistem. Tidak seperti masyarakat pedesaan yang pada umumnya kebih intim, integratif dan komunal, masyarakat kota cenderung lebih individual, kompetitif, dan artifisial dalam hubungan sosial.  Kondisi kota sudah seperti pabrik raksasa, yang setiap orang tak perlu mengenal orang lain karena yang terpenting adalah pemenuhan kebutuhan pribadi untuk tetap hidup.

Dengan adanya fenomena seperti yang telah di paparkan di atas tentu kita akan mengerti, bahwa dengan adanya fenomena urban dan modernitas membuka ruang untuk tumbuh pesatnya sifat konsumtif dan perilaku hedonisme pada masyarakat kota tanpa mengenal golongan. Tidak hanya dalam lingkup perkotaan, tetapi tumbuh pula dalam hidup masyrakat pedesaan. Sifat konsumtif dan hedonis jenjalar pada setiap tatan masyarakt desa ataupun kota karena pertembuhan modernitas yang pesat dan industri penyiaran selalu menyajikan kemewahan warga kota dan tanpa kita sadari bedampak pada masyarakat pedesaan. Semua dapat kita lihat dari kebutuhan tersier yang telah bergeser menjadi kebutuhan primer.

[iklan]

Upaya mencapai kehidupan yang lebih mudah menimbulkan lebih banyak kesusahan, dan bukan untuk kali terakhir. Itu terjadi pada kita kini. Beberapa pemuda lulusan perguruan tinggi yang mengambil pekerjaan penuh tuntutan di perusahaan-perusahaan ternama, bersumpah bahwa mereka akan bekerja keras demi meraup uang yang memungkinkan mereka pension dan mengejar minat sejati ketika berusia tiga puluh lima tahun. Pada usia itu, mereka ternyata memiliki utang KPR yang besar, anak-anak yang mesti disekolahkan, rumah di pinggiran kota yang mengharuskan setiap orang memiliki satu unit mobil, dan merasa bahwa hidup tidak layak dijalani tanpa anggur dan berwisata keluar negeri. Mereka melipatgandakan upaya dan terus menghambakan diri.

Kemewahan cederung menjadi kebutuhan dan melahirkan kewajiban-kewajiban baru. Begitu orang terbiasa terhadap satu kemewahan tertentu, mereka pun menerimanya sebagai suatu kewajaran. Lalu mereka mulai mengandalkannya. Akhirnya mereka mencapai di satu titik, di mana mereka tidak bisa hidup tanpa kemewahan itu. Sebagai contoh yang akrab pada kehidupan sehari-hari yang sering kita temui. Selama dasawarsa terakhir zaman telah melahirkan banyak inovasi-inovasi baru dengan tujuan penghematan waktu yang dimaksudkan untuk membuat hidup lebih santai, mesin cuci, telepon genggam, komputer, dan kendaran bermesin. Kebutuhan tersier yang akhirnya menjadi sebuah kebutuhan yang primer. Masyarakat dituntut untuk bekerja lebih lama dengan tutujuan meraup uang lebih banyak agar dapat terpenuhi kemewahan tersebut. Kota hidup tanpa istirahat dan bandul waktu memacu masyarakat untuk tetap menjadi robot yang terus bekerja tanpa henti.

Budaya massa sendiri dianggap bukan hal yang tidak nyata dan lebih dimaknai sebagai budaya yang diberikan, tidak spontan, tereifikasi dan palsu. Budaya massa tampaknya patut untuk dicermati. Budaya massa lahir dari industri budaya yang merupakan struktur rasional dan birokratis, misalnya, televisi, tanpa kita sadari telah mengontrol kehidupan modern. Budaya massa ini erat kaitannya dengan upaya kapitalisme  untuk menghimpun massa agar terseret arusnya.

Perjalanan dan hingar-bingar hidup modern dalam masyarakat mengambil tempat dalam rupa eskapisme dan gaya hidup. Keduanya merupakan saluran yang berbeda bentuk dan nilai. Meskipun demikian, keduanya dapat berdampingan dan tidak bias di lepaskan. Individu atau kelompok bukan tidak mungkin meresapi perjalanan dan hingar-bingar kehidupan modern yang dilakukan sebagai konsumsi gaya hidup sekaligus upaya melarikan diri. Meskipun demikian, masyarakat harus mulai memikirkan kembali bahwa gaya hidup yang mereka “beli” itu mungkin saja bagian dari sekenario yang telah disusun suprastruktur tertentu yang mengontrol kehidupan modern dan menjadikan praktik gaya hidup masyarakat sebagai budaya massa.

Akhirnya, penting rasa untuk berulang kali mempertanyakan kembali makna gaya hidup dalam modernitas yang tiap kali digeluti. Kesadaran untuk memahaminya sebagai bagian yang tidak terpisahkan akan menuntut manusia dalam mencari esensi dari kehidupan di setiap zaman.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *