RAGAM GAYA BACA PUISI
Seorang Penikmat puisi terkadang mendapatkan informasi bagaimana cara menikmati puisi, dari berbagai sumber, baik sumber resmi semacam di artikel berbagai jurnal ilmiah sastra, di kelas kursus sastra, ataupun sumber tidak resmi semisal dari hasil obrolan di komunitas komunitas sastra, terutama tatkala membahas puisi.
Ketika disuguhkan seperangkat puisi, biasanya seorang penikmat puisi akan segera memindai global profil puisi, sambil merasakan kira kira dari sisi mana puisi tersebut bisa enak dibaca, dan enak juga ditelusuri dari Judul sampai ke baris terakhir. Jika diperlukan peralatan pikir penikmatan dibawa serta, maka biasanya seorang penikmat puisi akan segera menelaah peralatan pikir yang berasal dari hasil kajian ilmiah para pakar dari banyak sumber pustaka ilmiah, atau karya populer dari sumber tertulis, maupun video yang beredar di media sosial (medsos).
Hal ini dilakukan sebagai upaya agar bisa memperkecil timbulnya subyektifitas dari si penikmat. Namun demikian, sisi subyektifitas ini, agak sulit untuk dihindari, misal bagaimana mendapatkan rasa tentang enak tidaknya bait bait puisi ketika dibacakan. Berdasarkan pengalaman membaca medsos ada pendapat bahwa dari sisi enaknya puisi tatkala dibaca, bisa dibedakan menjadi beberapa macam, antara lain sebagai berikut [1]:
1. Puisi kamar
Puisi yang hanya enak ketika dibaca pelan di kamar, baik di kamar tidur, atau pun di kamar mandi.
2. Puisi Curcol
Puisi Curcol (Curahan hati colongan) merupakan puisi semacam curcol pribadi yang disampaikan dalam bentuk puisi. Seolah-olah menyolong tempat di kawasan puisi agar karya tulisnya dapat pengakuan sebagai Puisi, atau bisa diakui sebagai Puisi. Perkara kualitas isinya seperti apa, itu nomor kesekian, yang penting enak dibaca berulang ulang oleh si penulis, ataupun orang lain, dan biasanya bisa bikin plong di hati.
3. Puisi Buku Harian
Puisi dijadikan sebagai catatan harian, semacam buku harian yang mencatat semua aktifitas sehari hari, dari bangun tidur sampai tidur lagi. Jika dibaca di lain hari bisa bikin tertawa atau pun sedih sendiri.
4. Puisi Deklamatif
Puisi seperti ini biasanya enak dibaca untuk panggung deklamasi, atau pun panggung baca puisi. Semua diksi dan rimanya dipilih yang sekiranya tepat untuk dibaca secara terbuka di depan umum.
5. Puisi Deklaratif
Puisi ini berisi pernyataan yang bersifat deklaratif semacam menyampaikan pengumuman atas suatu obyek maupun subyek tertentu. Biasanya untuk menarik minat pembaca atau pun pendengar, dipilih kata atau pun kalimat yang bombastis, terutama untuk keperluan pembacaan puisi di panggung di hadapan masyarakat pemirsa. Atau misalnya.bisa menjadi semacam puisi untuk unjuk rasa, dan atau pernyataan sikap yang lain.
6. Puisi Investigasi
Yaitu puisi yang cenderung melahirkan pertanyaan, baik disertakan tanda tanya atau tidak. Bisa juga tanya jawabnya diserahkan pada pikiran pembaca. Puisi ini biasanya enak dibaca tatkala memasuki sesi penutupan di acara debat.
7. Puisi Konklusif
Yakni puisi berisi kesimpulan atau pernyataan, baik disertai argumentasi atau pun tidak. Biasanya tidak terlalu terikat permainan rima maupun pilihan diksi. Yang penting pernyataannya bisa dimengerti oleh pembaca. Bisa jadi enak dibaca sambil minum kopi sendiri, atau pun bareng sesama pecinta puisi.
8. Puisi Impian
Puisi dijadikan sebagai tempat menyimpan cita cita, baik secara terang terangan atau pun tersembunyi di metafora maupun di simbol simbol diksi. Puisi seperti ini cenderung tidak memperhatikan enak tidaknya ketika dibaca, tetapi lebih kepada isinya bisa menjadi semacam pengingat untuk terus berusaha mewujudkan impian dari Penulisnya
9. Puisi Abstrak
Puisi yang isinya sulit dimengerti oleh Pembaca, bahkan Penulisnya pun kadang tidak pernah mengerti apa maksud dari puisi yang ditulisnya sendiri. Pembaca dipersilakan untuk mengartikan sendiri, bebas, sesuai ungkapan masing masing pembaca. Puisi seperti ini memberikan kebebasan pembaca dalam bergaya, apakah dibaca di hati, bersuara, terserah, enaknya bagaimana, silakan saja. Pilih gaya se-enaknya saja dalam membaca puisi seperti ini.
Tentu kemungkinan besar masih ada beberapa jenis puisi jika ditinjau dari sisi enaknya ketika dibaca. Satu diantara contoh puisi yang mungkin akan melahirkan berbagai pendapat bagaimana sebaiknya cara membacanya agar terasa enak ketika dibaca.
Puisi yang dimaksud adalah puisi guritan Penyair MH. D. Hermanto yang telah tayang di rubrik sastra puisi di jurnal online mbludus.com, yakni berjudul /AKU TANPAMU/. Puisi ini bersama puisi puisinya yang lain telah terbit di https://mbludus.com/puisi-puisi-mh-d-hermanto/.
Di laman ini Penyair memperkenalkan diri lahir di daerah Keraton Nusantara—(Soengenep). Pada saat ini tahun 2023 yang bersangkutan mengaku sebagai Mahasiswa UINSUKA, Prodi Akidah dan Filsafat Islam. Ada pun puisi lengkapnya seperti di bawah ini.
AKU TANPAMU
Aku tanpamu
Hanyalah abu yang di hitamkan
Aku tanpamu
Selaksa biji yang lupa kulit
Aku tanpamu
Hikayat doa di tebing malam
Aku tanpamu
Seberkas kisah yang berserakan
Aku tanpamu
Jantung tanpa tubuh
Aku tanpamu
Mata yang buta warna
Aku tanpamu
Hanyalah mimpi dikesunyian
Saat aku tanpamu
Semuanya hanyalah aku tanpamu
Yogyakarta 2023.
TELUSUR BAIT BAIT PUISI
Puisi yang berjudul /AKU TANPAMU/ besutan Penyair MH. D. Hermanto menampilkan tokoh /AKU/ lirik, dan /MU/ lirik. Kedua tokoh lirik ini sepertinya masih tersembunyi rapi di pikiran penyair, atau jangan jangan justru tidak terpikirkan sama sekali, ibaratnya puisi ini ditulis mengalir begitu saja. Bait bait puisi yang tampil pun bisa terprediksi tidak ada isyarat atau minimal tanda tanda, siapakah sesungguhnya mereka ini?, dan apa hubungannya satu sama yang lain?.
Begitu juga pertanyaan berikutnya, berpotensi akan timbul setelah membaca diksi di judul /AKU TANPAMU/, ternyata diksi ini diulang di bait bait puisi dengan menggunakan huruf kecil yaitu /Aku tanpamu/, kecuali di bait terakhir menjadi /Saat aku tanpamu/. Penayangan diksi yang berulang biasanya Sang Penyair berharap akan timbul efek penegasan yang bisa menghasilkan sugesti pembaca maupun pada diri Penyair itu sendiri, atau sebagai penambah ikatan emosional tentang ungkapan yang disampaikan di bait bait puisi [2].
Walaupun demikian jika berulang sampai sepuluh kali termasuk judul puisi /AKU TANPAMU/, dan ditambah baris terakhir di bait terakhir /Saat aku tanpamu/, sepertinya efek sugesti bisa berpotensi berubah menjadi ritme yang membosankan bagi pembaca, kecuali jika pembaca bisa membacanya dalam irama transenden yang hanya bisa dirasakan oleh indra ke enam di luar panca indra [3].
Oleh karena itu bait bait puisi tersebut sepertinya masih bisa disederhanakan, agar lebih hemat dalam penggunaan kata yang bermakna sama atau hampir sama. Dengan asumsi bahwa diksi judul yang berhuruf kapital /AKU TANPAMU/, dan diksi di beberapa bait yang berhuruf kecil /Aku tanpamu/ memiliki personifikasi yang sama, dalam arti tokoh /AKU/ lirik huruf kapital sama dengan tokoh /aku/ lirik huruf kecil, serta tokoh /MU/ lirik sama dengan tokoh /mu/ lirik, maka timbul pertanyaan:
“Apakah penulisan bait bait puisi bisa disederhanakan menjadi dua bait?”
Jika jawabannya bisa, berarti demi keperluan pembacaan puisi, agar diperoleh nikmat, maka bait bait tersebut akan disusun ulang menjadi seperti di bawah ini. Selanjutnya untuk lebih memudahkan penelusuran penikmatan puisi, maka bait dan barisnya diberi nomor urut.
/AKU TANPAMU/
/1.
Aku tanpamu (1)
Hanyalah abu yang di hitamkan (2)
Selaksa biji yang lupa kulit (3)
Hikayat doa di tebing malam (4)
Seberkas kisah yang berserakan (5)
Jantung tanpa tubuh (6)
Mata yang buta warna (7)
Hanyalah mimpi dikesunyian (8)
2.
Saat aku tanpamu (1)
Semuanya hanyalah aku tanpamu (2)/
Bait 1 baris (1) diksi yang tertulis /Aku tanpamu (1)/ memberi peluang pikiran logika bahwa diksi /Aku tanpamu (1)/ mengandung dugaan pikir beberapa kemungkinan, yaitu:
- Tokoh /Aku/ lirik pernah bersama dengan tokoh /mu/ lirik
- Tokoh /Aku/ lirik pernah berinteraksi dengan tokoh /mu/ lirik/
- Tokoh /Aku/ lirik sedang bersama dengan tokoh /mu/
- Tokoh /Aku/ lirik akan bersama dengan tokoh /mu/
- Tokoh /Aku/ lirik tidak pernah bersama dengan tokoh /mu/
Dari kelima kemungkinan di atas, kira kira manakah yang relatif tepat, dan andal untuk dijadikan pondasi berpijak dalam menuju langkah penelusuran selanjutnya, yaitu ke tahap penikmatan sajak demi sajak dari baris pertama sampai dengan baris terakhir?.
Ternyata semua baris di bait 1 atau pun bait 2, cara ungkapnya mirip mirip, yakni berupa pernyataan saja, tanpa argumentasi yakni mengapa jika terjadi /Aku tanpamu (1)/, maka berlangsung peristiwa seperti di baris (2) sampai dengan baris (8) yaitu /Hanyalah abu yang di hitamkan (2), Selaksa biji yang lupa kulit (3), Hikayat doa di tebing malam (4), Seberkas kisah yang berserakan (5), Jantung tanpa tubuh (6), Mata yang buta warna (7), dan Hanyalah mimpi dikesunyian (8)/?
Demikian juga di bait 2 baris (1) pada /Saat aku tanpamu (1)/ maka yang terjadi adalah /Semuanya hanyalah aku tanpamu (2)/ seperti tertuang di baris (2) bait 2 tersebut, dalam hal ini juga tidak ada argumentasi mengapa peristiwa atau kenyataan itu terjadi?.
Oleh karena itu, dari uraian di atas dapat dimengerti bahwa layak diperkiraan jika tokoh /aku/ lirik sebenarnya termasuk tokoh yang tangguh, tidak mengenal peristiwa, ruang, dan waktu: Semuanya ditaklukkan!. Hal ini terbaca bahwa meskipun telah, akan, atau pun sedang terjadi kenyataan /Aku tanpamu (1)/ dan berlangsung juga konsekwensi dari kenyataan tersebut, yaitu berupa tujuh macam peristiwa seperti disampaikan di dalam baris (2) sampai dengan baris (8) di bait 1, yaitu /Hanyalah abu yang di hitamkan (2), Selaksa biji yang lupa kulit (3), Hikayat doa di tebing malam (4), Seberkas kisah yang berserakan (5), Jantung tanpa tubuh (6), Mata yang buta warna (7), dan Hanyalah mimpi di kesunyian (8), ternyata tokoh aku /lirik/ ini masih dalam posisi tegak mandiri.
Kemandirian tokoh /aku/ lirik ini tertelusur dari pernyataan pada /Saat aku tanpamu (1)/, maka /Semuanya hanyalah aku tanpamu (2)/ yang diungkapkan pada bait 2 di baris (1) dan (2)/. Sehingga seolah olah tujuh macam peristiwa di atas yang menyertai ketika terjadi /Aku tanpamu (1)/ boleh dirasa atau dipikir: tidak pernah ada, yang ada hanyalah Aku tanpamu!
Apalagi konsekwensi peristiwa yang menyertai ketika /Aku tanpamu (1)/ disampaikan dalam bentuk majas kesebandingan yang cenderung sebagai kiasan adanya kemungkinan bahwa kenyataan tidak sesuai dengan harapan [4], dan apa pun yang terjadi tetap saja /Aku tanpamu/.
Betapa mandirinya tokoh /aku/ lirik ini juga bisa diperdalam informasinya melalui logika bahasa dengan menganggap adanya deduksi induksi dari bait 1 sebagai data argumentasi dan bait 2 sebagai pernyataan kesimpulan, sehingga berlaku logika silogisme Aristoteles [5].
Disamping itu tokoh /aku/ lirik juga telah menaklukkan kondisi paradoks yang terjadi pada dirinya, yaitu adanya peristiwa kontradiksi di dalam diksi diksi puisnya [6] terutama yang tertuang pada bait 1 dan bait 2. Di satu sisi mengalami peristiwa yang tidak diharapkan, di sisi lain, sang Penyair masih merasa tegar menghadapi peristiwa tersebut yaitu dalam ungkapan /Saat aku tanpamu (1), Semuanya hanyalah aku tanpamu (2)/. Dengan mengusung diksi /hanyalah/ mengandung potensi pengertian bahwa semuanya itu sekadar peristiwa sekaligus kenyataan dari adanya /aku tanpamu/, tidak lebih, dan tidak kurang, pas!
Dari sinilah Sang Penyair menawarkan aroma paradoks dalam kesuksesannya mengatasi peritiwa yang tidak menyenangkan akibat adanya kenyataan /Aku tanpamu (1)/ dan bagimana cara keluar dari kemelut /Aku tanpamu (1)/ ini, yakni sang Penyair berusaha berada di jalan /Saat aku tanpamu, Semuanya hanyalah aku tanpamu/.
Paradoks di balik kesuksesan memang kadang perlu dibayar mahal [6]. Dan tanda tanda sebagai orang yang tangguh adalah selalu bisa berusaha menaklukkan paradoks yang ada pada dirinya.
BACA PUISI SEKALI LAGI
Setelah menikmati telusuran bait bait puisi sampai di baris terakhir, biasanya akan timbul prasangka baik, bagaimana jika Puisi ini dibacakan sekali lagi? Kira kira lebih sesuai dengan gaya yang mana: dibaca di dalam hati, bersuara, atau perpaduan antara dibaca di dalam hati sekaligus bersuara. Selanjutnya terserah pembaca, maunya seperti apa.
Selamat berpuisi, dan teruslah berpuisi!
Penulis: Kek Atek
Pegiat Komunitas Dapoer Sastra Tjisaoek, & Penikmat Puisi, tinggal di Rumpin, Kab. Bogor, Jawa Barat, Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
- Kek Atek, 2022, Tanpa Judul, Mbludus Group, Face Book https://web.facebook.com/search/top?q=macam%20ragam%20puisi
- Haydarov Anvar Askarovich, 2022, Some Comments On The Stylistic Repetition, Novateur Publications, Journalnx- A Multidisciplinary Peer Reviewed Journal, Issn No: 2581 – 4230, Volume 8, Issue 1, Jan. -2022
- Gunta Wirawan, 2018, Dimensi Transendensi Dalam Antologi Puisi Rahasia Sang Guru Sufi Karya Odhy’s, Dialektika: Jurnal Bahasa, Sastra, Dan Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia, 5(2), 2018, 196-218
- Sahrul Umami, Puji Anto, 2020, Gaya Bahasa Perbandingan Pada Kumpulan Puisi dalam Pembelajaran Sastra di SMA, El-Banar: Jurnal Pendidikan dan Pengajaran, Volume 03, Nomor 01, April 2020
- —, Aristoteles, Pendiri Filsafat Ilmu, Maret 31, 2023, https://prenadamedia.com/aristoteles-pendiri-filsafat-ilmu/
- I Gusti Agung Sri Rwa Jayantini1, Ronald Umbas2, Ni Nyoman Ayu Dewi Lestari, 2020, Paradoks dalam Antologi Puisi Rupi Kaur The Sun and Her Flowers, Wanastra : Jurnal Bahasa dan Sastra, Volume 12 No. 2 September 2020, P-ISSN 2086-6151 E-ISSN 2579-3438