Pak Miun Gila

Bulan Nurguna

“Woy, saya bukan orang gila!” seru lelaki tua itu pada gerombolan anak perempuan yang saling bercanda sambil menyebrang, takut berpapasan dengannya tapi menjadikannya sebagai obyek lelucon.

Anak-anak itu pura-pura tidak mendengar, dan tetap menyebrang di jalan yang memang sepi. Anak-anak itu tidak mengenal si lelaki tua, sejak awal mereka geli, melihat lelaki yang ke sana kemari selalu sendiri, dengan pakaian sedikit kumal, dan tongkat kayu yang sepertinya dia buat sendiri. Karena tidak kenal, tetapi lumayan sering dilihat, akhirnya mereka menyebutnya ‘orang gila’, meskipun orang gila pada akhirnya tidak perlu dikenal.

Anak-anak perempuan itu bukanlah anak-anak yang tinggal di lingkungan yang sama dengan si lelaki tua. Mereka, yang usianya sekitar sembilan atau sepuluh tahun, suka berjalan-jalan ke perumahan tempat tinggal si lelaki tua. Mereka anak-anak kampung sebelah yang begitu padat, sehingga berjalan-jalan ke lingkungan perumahan sebelah adalah semacam rekreasi, sebab di dalam kampung mereka jalannya begitu sempit, hanya selebar satu meter.

Pak Miun, lelaki tua itu, tinggal di  rumah yang lumayan besar, dengan sedikit halaman depan. Walaupun besar, sebenarnya rumah itu setengah jadi, rumah seorang pensiunan pegawai negeri sipil yang memiliki beberapa rumah sebagai investasi masa tua. Pensiunan itu membelinya dari seorang pemuda yang gagal menikah, tetapi telanjur sudah membuat rumah. Karena belum cukup uang untuk menyambung pembangunannya, oleh si pensiunan rumah itu dibiarkan begitu saja. Pak Miun sudah tinggal di sana sebelum si pensiunan membeli rumah itu, jadi tak enak bila harus menyuruhnya keluar.

Pak Miun meletakkan nasi bungkus yang baru dibelinya di atas meja bambu. Dia tidak langsung makan. Dia masih kesal pada anak-anak perempuan tadi. Dulu tidak ada yang memperlakukannya begitu rupa. Mungkin baru setahun ini mulai ada anak-anak yang menganggapnya gila. Mereka seperti ketakutan, tapi pada akhirnya malah menjadikannya olok-olok. Mereka sering bicara pada sesama teman sambil menunjuk-nunjuk, “Itu pacarmu, itu pacarmu,” atau, “Itu ayahmu, itu ayahmu.”

Sebenarnya Pak Miun punya pekerjaan. Sejak hampir dua puluh tahun lalu, dia sudah bekerja sebagai tukang kebun hampir di setiap rumah di perumahan itu. Hasil kerjanya bagus dan  dia tak pernah mengeluh diberi upah berapa saja. Ada orang yang memberinya sangat sedikit, bahkan dia juga pernah tak diberi makan atau minum. Tetapi tidak jarang juga ada yang sungguh baik, memberinya uang cukup banyak, memberinya kopi, dan makan tiga kali di hari dia membersihkan dan merapikan taman. Sehingga walaupun marah pada orang-orang yang pelit, orang-orang yang tidak pelit akan membersihkan sakit hatinya. Cukup imbang, pikirnya.

Nasi itu belum juga dimakannya, perkataan anak-anak tadi membuat nafsu makannya hilang. Walaupun tak sekali itu didengarnya, tetapi entah kenapa yang tadi menyentak pikirannya. Seakan titik kesadarannya yang paling inti telah tersentuh; kesadarannya tentang harga diri, kesadarannya tentang masa-masa jaya yang telah lewat, juga kesadarannya pada rasa sakit yang disebabkan oleh apa-apa atau siapa-siapa yang telah meninggalkannya.

Dulu dari hasil kerjanya, dia sampai bisa membeli tanah di kampung lalu membangun rumah. Walaupun saat itu dia sudah tidak muda lagi, banyak perempuan yang bersedia menjadi istrinya. Tetapi menurut beberapa orang, perempuan-perempuan itu tidak sungguh-sungguh mencintainya. Setelah menikah dengan Pak Miun dan mendapatkan perhiasan emas, perempuan-perempuan itu pergi meninggalkannya. Memang Pak Miun sudah menikah lima kali, tetapi tak satu pun istrinya yang setia, semua ingin cerai. Dari kelima pernikahan itu, tidak ada satu pun yang membuahkan anak. Ditambah lagi, setelah istrinya yang terakhir meninggalkannya, rumahnya di kampung dijual oleh keluarganya tanpa sepengetahuannya. Awalnya dia sungguh marah, tetapi akhirnya dia menerima saja, merelakan tanah dan rumahnya yang belum bersertifikat itu. Tidak ada untungnya melapor ke polisi, toh itu keluarga sendiri. Dia takut menyesal melaporkan mereka. Lagi pula melapor itu tidak gratis, butuh ongkos ke kantor polisi, butuh ini dan butuh itu. Dia tidak mau.

Tiba-tiba seekor kucing masuk, mungkin mencium makanan yang baru dibeli. Kucing itu lalu mendekat dan duduk di samping kakinya. Memang kucing-kucing sering mampir, sebab Pak Miun tak pernah mengusir mereka, malah kerap memberi makan. Tetapi kali ini hatinya begitu dingin. Dia mencoba mengusir kucing tersebut, tetapi binatang itu bergeming, tetap duduk di tempat semula.

Pak Miun ingat dua puluh tahun lalu saat di puncak kejayaannya. Dia hidup dengan seorang istri yang amat disayanginya, mendapat banyak panggilan pekerjaan, dan tak ada anak-anak yang takut padanya, malah sering bermain dengannya. Pernah suatu hari setelah membuang sampah sisa tanaman ke ceruk yang memisahkan kampung sebelah dan perumahan, anak-anak perumahan yang melihat Pak Miun membawa gerobak kosong mengatakan padanya bahwa mereka ingin naik ke gerobak. Pak Miun mengizinkan. Ada sekitar lima anak, berumur lima sampai tujuh tahun. Anak-anak itu sangat menghormati Pak Miun dan cukup tahu diri untuk tidak lama-lama naik di gerobaknya.

Salah seorang anak bernama Nia. Ia yang paling ramah di antara anak-anak lainnya, bahkan hingga dewasa. Ia sering membawa makanan untuk Pak Miun, kadang memberi uang, dan bila bertemu di jalan selalu menyapa dan mencium tangan.

“Ah, Nia,” katanya pada diri sendiri.

Tetapi sudah beberapa bulan ini Nia tak pernah lagi berbicara dengannya. Rumahnya selalu sepi. Setiap Pak Miun keluar dari rumah, mobil Nia juga keluar. Nia tak pernah lagi mengantar makanan dan memberi uang. Sementara ceruk tempat Pak Miun dan orang-orang sering membuang sampah telah menjadi jalan yang lebar, sekitar lima meter, jalan yang pada akhirnya menjadi penghubung antara kampung sebelah dan perumahan. Di kepala Pak Miun semua penderitaannya seperti saling bersahutan, bekerja sama merusak hari-harinya.

Miauw… miauw… miauw…

Kucing itu rupanya mulai tidak sabaran. Ah, Pak Miun juga ingat dua hari yang lalu, si pensiunan tua mengatakan akan segera memperbaiki rumah itu. Tentu dia harus mengerti, jangan sampai kesabaran si pensiunan tua itu hilang dan dia diusir dari sana. Dia harus segera pergi. Tapi pergi ke mana? Ke kampung yang dia benci? Dia akan bertemu kekalahannya di sana; kalah karena perilaku curang keluarganya, dan pembiaran orang-orang atas nasib buruknya.

Miauw… miauw… miauw

Kucing itu melompat ke atas meja, mengendus-endus makanan. Kucing itu membuat Pak Miun sampai di puncak marah. Dilemparnya nasi bungkus ke tembok. Bukannya kaget, kucing itu malah berlari, mengendus-endus, lalu menggigit-gigit bungkus nasi itu. Pak Miun ingat pada keluarganya, yang bersenang-senang di atas penderitaannya. Pada orang-orang pelit yang tidak mengeluarkan apa-apa tapi ingin tamannya seperti taman surga. Pada Nia yang sepertinya telah menganggapnya tak ada. Pada gerombolan anak-anak perempuan, yang merendahkannya walaupun sebenarnya mereka juga miskin.

Pak Miun mendekati kucing itu, dibukanya bungkusan nasi. Ada nasi yang tidak pulen, sedikit suwiran ayam, tumis kacang panjang, tempe, dan sambal. Ditariknya kucing itu, dibuka paksa mulutnya, diambilnya semua sambal, lalu dibalurkan di lidah si kucing. Binatang itu menjerit dan berlari sempoyongan.

“Hahaha…Aku gila! Aku orang gila! Hahaha,” seru Pak Miun sambil menangis.

Gunung Sari, 6-8 Maret 2020 

Bulan Nurguna, lahir di Mataram, Lombok, 4 Juni 1990. Alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta. Kini turut terlibat di Komunitas Akarpohon, Mataram, Nusa Tenggara Barat. Cerpen-cerpennya terbit di beberapa media cetak dan digital.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *