Suatu hari, saya membaca buku ‘Isyarat’, kumpulan esai yang ditulis oleh Sutardji Calzoum Bachri. Di halaman 116, pada judul ‘Sajak-Sajak Cerah’ saya membaca sesuatu hal yang menarik tentang pandangannya pada perkembangan persajakan atau perpuisian di Indonesia, kira-kira begini tulisannya:
Elaborasi terhadap kata-kata yang marak dilakukan oleh para penyair di tahun 1970-an, dengan berbagai upaya pembebasan kata serta pemanfaatan musikalitas serta kandungan nuansa kata yang didapat dari akar tradisi, di awal tahun 1980-an mulai dianggap selesai atau telah sampai pada titik jenuh. Tahun 1980-an perhatian utama para penyair cenderung beralih pada imaji. Kata-kata cenderung diberi peran terutama sebagai alat menciptakan dan menyampaikan imaji-gambar dalam pikiran serta hati-dari penyair atau sajak untuk para pembacanya. Bila pada dasawarsa sebelumnya dilakukan upaya pembebasan bagi kata-kata, pada periode berikutnya, tahun 1980-an, imaji-lah yang ingin dibebaskan. Kata-kata hanya sekadar alat untuk membangun kehadiran imaji yang kebebasannya bisa begitu ekstrem sehingga tak perlu diperhitungkan apakah sinkron dengan imaji-imaji pada ungkapan-ungkapan dari larik-larik atau bait-bait sebelum dan sesudahnya.
Pada tulisan di esai itu pun, Sutardji mengutarakan tentang puisi yang lahir di tahun 1990-an, terasa seolah kembali memperhatikan kata dan tidak selalu menekankan atas kebebasan imaji sebagai yang utama. Kata-kata diupayakan menciptakan keutuhan puisi sehingga menjadi terbaca jelas secara semantik.
Lalu bagaimana dengan puisi-puisi Tatan Daniel, seorang penyair yang puisi pertamanya dimuat tahun 1975 di harian Waspada, dan kemudian puisi-puisinya lahir hingga tahun 2000-an (sekarang ini), meskipun ia baru menerbitkan buku puisi tunggal tahun 2021 dengan judul ‘Pada Suatu Hari yang Panjang’ dan jika dicermati, 60 puisi yang tertanam di buku itu ditulis di tahun 2020-an. Bisa jadi, pada masa pandemi corona yang tinggi dimana hampir setiap orang tidak dengan leluasa keluar dari rumah, sehingga segala aktivitas semuanya dilakukan di dalam rumah. Akan tetapi, proses kepenyairannya bukan hanya mengembara di tahun-tahun ini, ia telah melintasi tahun 70-an, 80-an, 90-an dan dua ribuan yang tentu saja, pengembaraannya di dunia perpuisian Indonesia cukup matang.
Ya, proses panjang itu pun tidak sia-sia, buku puisi ‘Pada Suatu Hari yang Panjang’ mendapatkan anugerah Hari Puisi Indonesia di tahun 2021, dan masuk pada jajaran 5 buku puisi pilihan. Pencapaian ini, perlu juga kita rayakan bersama dengan membuka beberapa puisinya di buku itu sebagai bentuk apresiasi.
Magrib berselawat di hutan
Setelah maklumat kematian
lirih azan
bersahutan
Hayya ‘alashshalaah
Ini senja mengapa nyeri?
Di manakah hujan berhenti?
Bunga tanjung berserakan
Hayya ‘alalfalaah
Udara gigil
Derik jangkrik
di jambangan
rebana katak
di kejauhan
Pada puisi ‘Ini Senja Mengapa Nyeri?’ sebagai pembuka buku ini seolah sudah mengisyaratkan bahwa Tatan Daniel bisa memanfaatkan kata-kata sebagai tampilan kehidupan sehari-hari, sehingga puisinya dapat menikam dada lalu menyebar untuk dimaknai secara dalam. Kata dan imaji pada puisi ini membentuk pola makna dalam pikiran saya. Misalkan Ini senja mengapa nyeri?, lalu siapakah yang merasa nyeri? senja atau penyairnya? Mengapa senja? Sebab di awal puisi ini telah menunjukan sebuah subjek yaitu Magrib yang berada di hutan. Kemudian, mengapa penyairnya? Karena puisi bisa saja sebuah pengalaman penyairnya. Ini bisa menjadi ukuran bagaimana seorang Tatan Daniel telah berproses panjang menekuni dunia puisi.
Meskipun pada puisi di atas terbaca lebih gamblang, namun maknanya menjadi luas, puisi itu seolah hanya menggambarkan suasana senja di tengah hutan, nyata. Tapi, bukankah di tengah hutan dalam kehidupan yang nyata belum tentu ada masjid dan pengeras suara, apalagi suara azan? Inilah yang membuat saya tertarik untuk membaca puisi-puisi lainnya di dalam buku itu.
Kini tak ada lagi jarak dan ruang
Apalagi waktu. Kita bersembunyi di
dalam bungker. Menunggu. Di ceruk gelap
serupa manusia purba. Kita menggali
kubur masing-masing. Tanpa suara
Bagai amuba, kerdil, nelangsa, berdosa
Senyap. Kota-kota menjadi goa. Hanya
sirine yang melintas tak henti
Ambulans dan peti mati. Maklumat
bagai sangkakala kiamat
Hendak kemana kau sembunyi?
Jiwa-jiwa merapuh. Doa pertobatan
tumbuh. Mekar bagai mawar. Seperti asal
mula penciptaan manusia. Tanpa kuil,
masjid, sinagoga, gereja, dan biara
Langit biru. Hutan berkabut. Ungu
kelabu. Hujan, matahari, lumut, dan
sulur pepohonan. Seperti déjà vu
Fana. Amat fana
Sudah jam berapa?
Tinggal berapa kita?
Puisi ‘Protokol Kematian’ ini menjadi tanda bagaimana pikiran, rasa dan gerak hidup Tatan Daniel terpengaruhi oleh pandemi corona, apalagi ia tinggal di ibukota yang kasusnya tinggi. Kegelisahan itu menjadi bahan kreatif. Kejujurannya dalam menulis puisi yang memiliki napas sama dengan tema di atas pun terbaca pada puisi Halo. Halo. Apa Kabarmu?, Menunggu Vaksin, Petualangan Bondan, dan lainnya. Dengan kata lain, puisi memang hadir pada manusia normal yang dihadapakan pada peristiwa tertentu. Dengan tehnis penulisan beragam; prosaik atau lainnya puisi akan selalu hadir ke wilayah kepekaan penyair. Di sini, Tatan Daniel telah menunjukan bahwa kerja menulis puisi tidak hanya sekadar menyusun kata, berimajinasi, menempelkan simbol-simbol tanda baca, bermain gambar atau menyusun kode-kode rumus melainkan membaca peristiwa yang hadir di sekitar.
Penulisan puisi yang seperti itu dibutuhkan kemampuan membaca kosa kata sehigga dapat ditempatkan dengan pas di kalimat-kalimat di setiap baitnya. Ada semacam realitas yang ngacak, terbaca naturalis namun terasa surealis, misalkan pada puisi ‘Ratih, Ninuk, Bernadette, Ketty Kemanakah Mereka Pergi?’ yang menggambarkan peristiwa kematian; Alangkah sayat perjalanan ke makam/Langit kelam/Hati gerimis/Di kiri kanan jalan bagai patung gerabah/sejawat tegak/rapuh/terisak/Tubuh dan mata basah/Penghormatan yang gundah/Sukma yang lelah/Ada yang memukul-mendekam/Seperti angin/di luar musim/Rejam/Berdentam. Pada bait itu, sebuah peristiwa sederhana menuju pemakaman menjadi perjalanan yang diliputi berbagai rasa dan peristiwa; dalam dan gelisah.
Sementara di puisi ‘Pada Suatu Hari yang Panjang’ saya dapat menangkap banyak peristiwa berseliweran, bertumpuk-tumpuk seolah memang peristiwa itu hidup dalam lingkaran pikiran Tatan Daniel; antara peristiwa keseharian di luar rumah dan di dalam rumah, peristiwa berita televisi, buku-buku yang dibaca dan pengetahuan yang tersimpan dalam ingatan menjadi gelisah dalam gerak hidupnya Tatan Daniel. Puisi ini cukup panjang, dan sengaja dibiarkan tumbuh liar di penulisan, atau memang pikiran penyairnya sedang zig zag dan ia hanya melepaskan gambaran peristiwa yang bertumpuk-tumpuk itu untuk tersusun maknanya sendiri. Misalkan pada bait di bawah ini :
Kartu undangan perkawinan keemasan sudah
dimakan ngengat. Kau termangu di instagram
seperti penderita alzheimer. Seorang menulis
buku harian, tulisannya nyaris tak tereja;
Mulai besok, aku akan mengampuni diri sendiri
Memaafkan semua orag. Mengubur rasa
tak berguna ini. Hah. Di Zoom orang-orang
bergenggaman. T-shirt bergambar Bob-Dylan
di jemuran. Bau rindu mengambang bagai serbuk
sari mencari putik kembang. Pelukan hangat
Tepukan pada bahu, dan persahabatan
Seperti batu safir di cakrawala
Kepak helikopter memecah udara. Salak anjing
Melintas pemulung dan gerobaknya. Loper
melemparkan koran, aneka gambar di halaman 16
Polisi militer di Heroes Square, Budapest, dan tulisan,
“Mati Suri karena pandemi”. Waktu mengelupas
seperti potret tempo dulu
Tentu saja bisa dikatakan peristiwa-peristiwa itu terhubung dengan imajinasi. Pemikiran seperti itu pun boleh terjadi, sebab imajinasi akan hidup pada setiap penyair, namun penyair memiliki bahasa ucapnya sendiri, ia menemukan bahasa yang memiliki kedalaman makna untuk digali. Tatan Daniel pada posisi ini bisa dikatakan berhasil, terbukti bahasa puisi ya diungkapkannya.
Lingkaran bahasa puisi itu pun seolah telah menyatu pada kehidupan Tatan Daniel, sehingga label penyair bisa dikatakan tumbuh di dalam keluarganya, dalam kehidupan keseharian. Ada semacam dialog yang membawa tanda pada kita, bahwa Tatan Daniel memang telah memilih menjadi penyair. Itu terasa pada bait selanjutnya di puisi ‘Pada Suatu Hari yang Panjang’.
Kami kini berpindah, di ruang tengah
Sambil menyetrika, isteriku berkata, “Para penyair
mestinya menulis ulang I La Galigo. Atau Gilgamesh
Dengan metafora yang baru. Seperti anak-anak
mencari jejak. Biarkan saja gagasan liar berenang
di bawah permukaan pikiran. Boleh juga, sambil
mendengarkan Kurt Cobain.”
Suaranya yang lirih, bergetar
seakan belum pernah kudengar
Hampir di setiap puisinya kita bisa menemukan kata-kata asing, atau tokoh-tokoh dari luar negeri. Ya, seorang penyair memang sudah seharusnya menjadi pembaca yang baik, sehingga ia mengenal isi dunia. Dengan begitu, karya-karyanya akan semakin beragam dan kaya makna.
Pada puisi ‘Waktu Melambat dan Berhenti’ saya menemukan semangat Albert Einstein yang serupa di dalam buku ‘Mimpi-Mimpi Einstein’. Suatu perenungan untuk menerjemahkan waktu dengan menghadirkan peristiwa-peristiwa. Ya, bahwa waktu berjalan, melambat atau terhenti dapat ditandai dengan peristiwa yang terjadi, meskipun terkesan absurd, tetapi puisi ini cukup membawa pikiran ke dalam nuansa waktu yang melambat dan berhenti.
Di dunia yang hujan tiba-tiba membeku
dan sehelai daun mengapung diam di udara
kini waktu setiap kali melambat dan berhenti
Ia berjalan seperti laju kenderaan
di kemacatan. Pada saat tertentu,
semua yang bergerak terhenti sejenak
bagai adegan mannequin challenge
Sepasang suami isteri lanjut usia
terdiam berpegangan tangan di trotoar
yang sepi, seperti potret berwarna sepira
di album keluarga. Seekor kucing yang
tengah melompat dari kursi beranda
di bawah berkas kuning matahari pagi
tiba-tiba seperti patung Stravinsky
Puisi itu memang memiliki banyak kaki, atau berpintu-pintu, dari kata satu ke yang lainnya mengajak kita untuk terus menggali, misalkan semua yang bergerak terhenti sejenak bagai adegan mannequin challenge, dalam kalimat itu telah jelas bahwa semua yang bergerak terhenti, namun disusul dengan bagai adegan mannequin challenge, lalu seperti apa adegan tersebut? Ini membuat lorong lagi untuk memaknai makna terhenti pada puisi itu.
Perjalanan penciptaan puisi oleh Tatan Daniel memang bisa dikatakan tumbuh dalam setiap gerak, pikiran dan rasa di dalam diri Tatan Daniel sendiri. Setiap apa yang ia rasa, dengar, lihat dan sebagainya, ditangkap lalu diolah menjadi bahasa puisi. Ia selalu melatih kepekaan inderannya, itulah sejatinya yang dibutuhkan oleh penyair. Pengembaraan-pengembaraannya pada dunia asing, dunia di luar lingkungannya tidak membuat Tatan Daniel peka terhadap lokasi-lokasi seputar kehidupannya. Terbukti, sebuah puisi yang menarik diciptakan dengan nama lokasi yang tak asing bagi kita, ‘Lorong Panjang ke Cawang’.
Lorong panjang ke Cawang
di ujungnya jalan panjang ke Surabaya
di utara, petunjuk menuju pelabuhan raya
Aku menyusur lorong ini
bagai pengembara mencari kata-kata
di antara baliho iklan, spanduk peringatan,
rambu, wajah penyintas kota yang menua
Di lorong panjang menuju ke Cawang
Kutinggalkan bau busuk di Senayan
Semanggi sudah lama sunyi
Slipi telah menjadi catatan kaki
Di Daan Mogot, di tembok terminal dan
tiang-tiang jalan layang gemuruh grafiti
Di lorong pannjang menuju Cawang
sunyi, bagai wajah gelandangan yang sekarat
kosong, bagai suara anjing menggonggong
di hutan. Sirine ambulans. Liang kuburan
Kini kota kian terasa seperti
instalasi gawat darurat
Dalam puisi itu, setiap nama lokasi seolah menjadi simbol untuk menghantarkan pembaca pada peristiwa-peristiwa besar yang pernah terjadi di sana. Di sini, saya bisa mengatakan bahwa Tatan Daniel sangat selektif dalam menulis puisi, ia tidak ingin sekadar menulis puisi. Tatan Daniel meyadari betul bahwa menulis puisi berarti menciptakan makna melalui kata-kata. Puisi itu pun ditutup dengan sangat sempurna seiring dengan proses penciptaannya pada situasi pandemi Covid-19 di kota Jakarta.
Membaca keseluruhan puisi-puisi Tatan Daniel dapat terungkap bahwa kata-kata adalah sebagai senjata utama untuk menghadirkan gambar atau imaji, membangun peristiwa untuk diteruskan menuju penggalian makna puisi. Meskipun demikian, Tatan Daniel tidak terpaku pada satu ragam puisi, ia telah menjadi penjelajah puisi dan mengikuti perkembangan perpuisian Indonesia sejak tahun 70an hingga 2000an.
Perjalanannya mengenal puisi seolah-olah tertuang di dalam judul ‘Kian Lama Ia Seperti Puisi’.
Kian lama aku merasa ialah sesungguhnya puisi
Diracik di tuala tembikar. Dengan jisim dan empedu ular
Tersimpan di sarkofagus para leluhur. Dan ditemukan
oleh Greta Thunberg. Puisi yang menggandakan dirinya
Ke dalam kitab yang tak mudah dibaca. Bahkan oleh
otak kiri para Don Kisot. Ia menjadi algoritma
Mengabarkan nubuat. Perang dan revolusi
Maka depan adalah sekadar tempat
yang nyaman untuk bermimpi
Kian lama ia terasa seperti puisi. Puisi tanpa kata
Nyeri dan nestapa. Kegelisahan naluri, ketika gulita
gerhana matahari. Seperti sebuah pagi tanpa jendela
Toko roti yang menjual cenderamata. Balai lelang
memutar Serenade. Kedai minuman yang menawarkan
keranda tanpa nama. Kredo. Teks pidato
Apakah makna kehidupan bagimu, setelah semua ini?
Angka kematian. Persediaan makanan dan demokrasi
Kini, siapakah tuhan favoritmu? Setelah laporan
demi laporan. Kutub mencair. Perkuburan tenggelam
Ikan sarden dalam pop-art. Sementara puisi itu terus
membelah diri. Mencari indung di antara tayangan
opera sabun. Omong kosong partai politik. Di jakun
kerumunan pemabuk yang ususnya bernanah. Nalar
membusuk, seperti himpunan spermaprotozoa
yang tersesat di kandung kemih
Ya. Puisi ini tidak menunggu. Ia lembut dan indah
Mengapung gentayang bagai kabut, ke segala penjuru
Melawan gravitasi. Ia adalah doa yang merapalkan diri
Seperti Severn Suzuki yang meminta ikan dan hutan
Seperti Greta yang marah kepada dunia
Tapi siapa yang sempat membacanya?
Itulah puisi-puisi Tatan Daniel, tercipta dengan perjalanan yang matang, mengembara di setiap lekuk kehidupan, membaca buku ini seperti memasuki puisi yang panjang tak bertepi.
Januari 2022
Nana Sastrawan, seorang penulis yang senang membaca puisi.