Karya  sastra  merupakan  karya  yang  diciptakan  dari  hasil  pemikiran  manusia  yang  dapat dinikmati dan dapat pula dijadikan sebagai bahan apresiasi bagi para pembacanya. Masing-masing penyair memiliki karakteristik sendiri untuk mengungkapkan ide atau gagasan yang akan diciptakan. Karya sastra sudah menjadi rahasia umum dimana penyair menciptakan sebuah karya sastra. Isi didalam karya sastra menggambarkan latar belakang sang penyair yang berisi tentang kondisi dan lingkungan penyair dilahirkan. Karya sastra juga dapat menjadi wadah untuk mencurahkan keluh kesah sang penyair melalui kreatifitas menulisnya. Salah satu karya sastra ialah novel. Novel merupakan hasil pemikiran sang penyair yang memiliki ciri khas tersendiri dalam karyanya, baik dari segi bahasa maupun prosa yang mengisahkan tentang kehidupan sang penyair. Khas inilah yang tidak mungkin dimiliki oleh penyair lain.

Dalam perjalanan hidup yang dilalui oleh setiap orang pasti memiliki kisah yang menarik atau bahkan kisah yang tragis atau tidak baik. Manis dan pahitnya pengalaman hidup itu banyak memberikan kenangan dan banyak hikmah yang dapat diambil untuk memperbaiki diri di masa yang akan datang. Dengan adanya masa lalu akan memberikan banyak pelajaran yang penting untuk setiap orang. Masa lalu tak hanya memberikan kenangan, tetapi juga mampu mengenalkanmu tentang makna dalam kehidupan. Masa lalu mengajarkan kita untuk belajar memahami, ikhlas, dan tetap semangat untuk masa depan.

Fenomena di atas memiliki keterkaitan yang sama dengan karya sastra yaitu novel Museum of Broken Heart karya Brian Khrisna. Dalam novel tersebut menceritakan tentang masa lalu yang dialami oleh penyair. Ada salah satu lagu yang dibenci karena dapat mengingat masa lalu penyair. Dalam kutipannya yaitu:

Pernahkah kalian membenci suatu lagu hanya karena tiap lagu itu terputar tanpa sengaja, seluruh kenangan yang sudah kalian kubur dalam-dalam mendadak menyeruak dan menyebar di seluruh relung ingatan di kepala?

Nah itulah yang aku rasakan sekarang. Tulis Brian Khrisna dalam novel Museum of Broken Heart.

Dalam kutipan tersebut menggambarkan bahwa penyair yang belum dapat move on terhadap masa lalu yang telah dialaminya. Penyair merasa mengingat kembali kejadian yang sudah lama di kuburnya hanya dengan sebuah lagu yang dulunya pernah disukai bersama kekasihnya. Alur cerita masa lalu yang dibuat penyair dapat menampilkan sesuatu yang berbeda dalam setiap partnya, meskipun ceritanya sama yaitu tentang masa lalunya penyair.

Membaca novel Museum of Broken Heart karya Brian Khrisna mengingatkan saya pada karya-karya Tere Liye, khususnya novel yang berjudul Sunset dan Rosie. Kisah dalam novel tersebut mengisahkan tentang tokoh yang bernama Tegar. Dalam kisahnya memiliki masa lalu yang kelam karena telah melewatkan kesempatannya untuk mengungkapkan perasaannya kepada tokoh yang bernama Rosie. Tokoh Rosie di sini adalah sahabat sejak kecil Tegar. Hal yang menarik dari kisah Tegar yaitu Tegar mengikhlaskan Rosie menikah dengan sahabatnya sendiri, meski ia ketahui bahwa Rosie adalah sosok perempuan yang ia cintai.

Tokoh Tegar menggambarkan kekuatan penyair Tere Liye dalam bercerita dalam novel. Dengan kata lain, tokoh yang ada dalam novel menjadi faktor yang penting dalam novel. Di samping itu bahasa yang digunakan pun mudah dipahami oleh para pembacanya. Tere Liye merasa leluasa untuk menghadirkan konflik dalam setiap part yang ada dalam novelnya. Konflik yang ada bersifat batin. Di sini juga pembaca merasa seneng dan puas dengan hasil karya sastra Tere Liye yang tidak mengecewakan para pembacanya.

Penyair Brian Khrisna mencoba merealisasikan kehidupan yang sering terjadi pada masyarakat umum khususnya remaja-remaja, yaitu masa lalu. Masa lalu tak jauh dari persoalan remaja yang sudah menjadi kebiasaan yang cukup ramai pada kalangan masa kini. Pada dasarnya setiap orang memiliki masa lalu. Dalam novel Museum of Broken Heart karya Brian Khrisna telah membawa para pembaca ikut merasakan apa yang telah dialami oleh penyair. Saya sendiri menikmati ketika membaca novelnya. Karena pembaca dibuat seolah-olah berada di posisi penyair yang kebetulan seperti sedang menguraikan apa yang sedang terjadi oleh para pembacanya.

Brian Khrisna sangat leluasa dalam memilih kata disetiap partnya. Cerita yang dibawakan seolah sedang bercerita kepada temannya sendiri. Hal inilah yang membuat pembaca lebih tertarik dan merasa ingin tahu untuk kelanjutan cerita setiap partnya. Kelebihan dari novel ini memiliki gaya bahasa yang mudah dipahami sehingga pembaca dapat langsung menangkap dari maksud yang ada. Selain itu, novel ini juga mengandung makna yang sangat dalam bagi pembaca. Sedangkan kekurangannya yaitu banyak mengulang kata yang sama dalam setiap partnya.

Lely Nur Tachi. Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *