Jalanan Musikku

Mungkin dalam benak sebagian besar masyarakat masih memandang sebelah mata dengan ‘pengamen’. Padahal, jika diindahkan bahwa mereka sedang melakukan pekerjaan atau itu memang profesi mereka. Di mana mereka melakukan pekerjaan dengan hobi dan keahlian mereka yaitu bermain musik. Mengabdikan hobi ke dalam pekerjaan di jalanan, yang disebut sebagai musisi jalanan. Dan kita tahu bahwa orang yang melakukan pekerjaan itu sama halnya dengan ibadah. Sebagai manusia yang berusaha.

Apakah perlu ditindak? Bahkan memang ada pengamen yang terlihat keras, berlagak jagoan di jalanan dan sebagainya.

Mari kita telisik ke dalam. Mereka hidup di jalanan. Ada yang sejak lahir memang sudah ditakdirkan di jalanan. Seperti yang kita ketahui, sebagian besar kehidupan di jalanan itu keras. Di mana mereka harus survive dalam menjalani kehidupan mereka. Jika mereka tidak bisa bertahan hidup, maka ‘alam akan menyeleksinya’.

Nah, di sini kita bisa mengartikan bahwa bertahan hidup di jalanan bukan menjadi jagoan atau penguasa di jalanan. Melainkan siapa yang bisa bertahan hidup dengan menjadi diri mereka dan sebagai ‘manusia’.

Kenyataan sebagai ‘manusia keras’ itu dimungkinkan berasal dari banyaknya orang yang ditemui. Orang di dunia ini sangat beragam wataknya. Jadi tak heran, jika mereka yang hidup di jalanan harus bisa menyesuaikan diri mereka dalam bergaul dengan banyak orang. Watak keras para ‘manusia jalanan’ pun juga bisa saja terjadi dari banyaknya marabahaya di jalanan. Berbagai bahaya di jalanan itu bisa melatih mereka dalam bertahan hidup. Namun, bukan berarti kita membenarkan mereka yang berwatak keras dan berbuat semena-mena di jalanan.

Dari situ kita tahu, bahwa musisi jalanan memang sudah ditakdirkan menjalani kehidupan seperti itu. Terkadang masyarakat hanya melihat dari permukaannya saja, tanpa mengetahui isi lautan. Bahwa di dalam lautan terdapat terumbu karang yang indah. Begitu juga dengan kehidupan para ‘manusia jalanan’, yang di dalamnya terdapat terumbu karang yang indah.

Emperan Pamulang (EMPANG), Manusia Jalanan

[iklan]

Ya, seperti halnya di dalam lautan yang terdapat terumbu karang. Kita bisa menyelam dan melihat pemandangan di dalamnya.

EMPANG (Emperan Pamulang) yang merupakan kelompok anak-anak muda yang hidup di jalanan. Mereka memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Ada yang sejak lahir sudah di jalanan sebagai pemulung, pengamen, ada juga yang broken home dari faktor keluarga.

Namun mereka berkumpul bukan berarti memberontak ingin keluar dari rumah. Melainkan mereka mengumpulkan keresahan mereka masing-masing dengan segala masalah masing-masing. Karena pada dasarnya mereka berkumpul, dan pada akhirnya akan sendiri-sendiri.

Di dalam EMPANG terdapat para musisi jalanan yang setiap harinya menjalani kehidupan dengan nada dan irama. Mereka menyadari bahwa kehidupan di dunia ini harus dijalani dengan irama dan nada dalam artian, bahwa hidup ini harus dijalani sesuai arus. Biarkan melodi kehidupan mengantar mereka di mana mereka berada.

Kehidupan mereka tak jauh dari nada-nada. Setiap hari mereka menyanyikan kegelisahan mereka dengan irama yang lembut. Ada yang menikmati, mendengarkan, bahkan ada yang acuh. Ya, inilah hidup. Suara mereka tergantikan dengan kebutuhan mereka setiap hari. Meski di mata orang mereka terlihat kurang, tapi pada dasarnya kebutuhan hidup manusia memiliki porsinya masing-masing. Dan rasa syukur itulah yang selalu mereka sebutkan.

Hingga mereka pun mulai mengepakkan sayap mereka ke panggung-panggung, untuk menyuarakan nada-nada mereka. Mereka mulai mencintai hidup.

Dari berbagai panggung di daerah-daerah mereka menampilkan apa yang ingin mereka tampilkan. Dan puisi pun mulai mendekati. Mereka bertanya, apa itu puisi? Puisi satu di antara genre sastra, sederhananya begitu. Karena puisi terdiri dari kata-kata yang menyimbolkan kehidupan. Di sinilah alasan mereka tertarik dengan puisi. Hingga terlahirlah musik puisi yang mulai digandrungi EMPANG.

EMPANG kini mengepakkan sayapnya bersama puisi dengan membawakan lagu-lagu dari puisi. Tak sedikit sudah puisi yang mereka jadikan lagu.

Jadi, apakah kita masih memandang para ‘pengamen’ atau ‘musisi jalanan’ itu layak di pandang sebelah mata? Bahkan bisa jadi mereka lebih ‘terhormat’ dibandingkan kita yang masih berpikir pendek. Semua itu tergantung dari sudut kaca mata kita. (HC)

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *