Menimbang Aras Puisi Kontemporer Indonesia Abad 21

Shiny.ane el’poesya 

Dengan nada yang dekaden, setelah 30 tahun sejak puncak kreativitasnya, berpijak pada buku yang ditulis Korrie Layun Rampan yang coba mengusung penyair-penyair generasi 2000-an awal, Sutardji Calzoum Bachri pernah menyampaikan demikian, “Bolehlah dikatakan hampir selalu sejarah perpuisian modern (Indonesia–pen) sebagai suatu estafet (dari–pen) generasi berikutnya. Meski berlari sekencang abad teknologi ini, tetaplah masih saja memegang tongkat estafet dari generasi pendahulunya … Pemikiran dan pembebasan puisi dari generasi sebelumnya, tahun 70-an, masih merupakan landasan tempat bergerak dan bertumpunya kreativitas penyair dari angkatan 2000nya Korrie Layun Rampan.” Dan ia pula mengungkapkan, bahwa “Semakin panjang sejarah sastra modern dari suatu bangsa semakin sulit bagi generasiberikutnya untuk melakukan eksplorasi sastra. Seakan-akan lahan untuk melalukan pembaharuan semakin sempit.”[Sic!]

[iklan]

Apa benar? Anggaplah sampai pada saat terbitnya buku Korrie Layun Rampan pernyataan yang dikeluarkannya masih relevan–dengan argumen (tertentu) yang coba dibangun olehnya. Hanya saja, di sini kita akan coba melakukan sebuah pembacaan retroaktif demi mendapatkan sebuah landskap kesusastraan yang menurut penulis penting untuk difahami dalam-dan-bagi dasawarsa kedua kesusastraan milenial Indonesia.

Pertama–Sastra era portal dan medsos.

Paling tidak selama lima belas tahun ke belakang, perpuisian Indonesia telah mengalami satu fase peralihan media-pengungkapan perpuisian yang baru dari masa sebelumnya, di mana kita menemukan sebuah gejala maraknya puisi generasi cyber–portal, hingga puisi-puisi yang diungkapkan di media sosial. Bukan berarti kemudian media konvensional telah ditinggalkan. Penerbitan puisi melalui surat kabar dan majalah-majalah masih terus berlangsung. Hanya saja, di era ini, kita melihat bagaimana spirit kreatif perpuisian tidak lagi sama layaknya era sebelumnya yang melulu harus terarah pada satu media publikasi tertentu.

Di sisi lain, pada era ini juga kita melihat beberapa cara pengungkapan kesusastraan yang kembali beragam. Kita seakan melihat bagaimana banyak penyair-penyair “muda” semakin berani dan tak canggung-canggung mendeklarasikan model-model pengungkapan puisi yang coba diusung–melalui dinding(Facebook)–nya sendiri. Beberapa di antaranya mencirikan–seperti yang diungkapkan SCB–kembalinya watak kesusastraan (tak jauh-jauh dari model) generasi kesusastraan sebelumnya: hadirnya kembali gaya mbeling, puisi konkrit dan visual, sebagian lain mengusahakan tata puitik yang diadopsi dari negara-negara lain–New Haiku (Japang), puisi Nazam (Arab-Parsi), sebagian yang lain mulai “mencoba-coba” membuat jenis puisi dengan teori dan konsep-konsep “struktur”nya sendiri: Sonian, Dukotu, Putika.

Kedua–Gerakan kembali ke struktur.

Meskipun kelihatannya masih terkesan reaksioner dan cenderung menandakan fase “masyarakat panik” atas kondisi makin membanjirnya kebebasan berekspresi dan bersastra yang makin “liar” di awal era reformasi hingga awal era “cyber kita kemarin”, fenomena gerakan “kembali ke struktur” seolah hendak menandakan satu proses siklik dari era awal pembentukan kesusastraan Indonesia modern sebagaimana pernah kita alami; tentu dengan ruh zamannya yang berbeda. Era ini memiliki kecenderungan motivasi kreatif seperti era Pujangga Baru yang mencoba menemukan bentuk kesusastraan Indonesia dengan masih menggunakan cara penuturan dan moralitas “lama” dalam wawasan estetik sajak-sajaknya. Generasi yang menadai satu fase transisi menuju fase yang memang memiliki kemandirian kreatif dan sebuah wawasan moral serta estetik yang baru.

Ketiga–Teori dan penggarapan konsep struktur.

Selain dari lingkungan sosial-budaya yang lebih mapan (kita memiliki puisi Nazam Sofyan R.H. Zaid yang berperan sebagai “juru-bicara” tradisi pesantren di hadapan era gegap gempita pasar bebas ide millenium ke 2 ini), dari puisi-puisi yang tengah coba merumuskan strukturnya sendiri itu, secara konseptual, termasuk jika dibandingkan dengan Sonian, Dukotu dan sejenisnya, jenis Putika milik Indra Intisa-lah yang benar-benar memperlihatkan keseriusan dalam merumuskan konsep struktur puitiknya. Di mana penulisnya, menerbitkan satu buah buku puisi lengkap dengan berbagai penjelasan teknis (dalam lembar demi lembar) soal apa dan bagaimana puisi Putika mesti dibuat; sempatkan ketik juga “50.000 Ma’(w)ar–” (dan “Kotak Cinta”–fill noted 2018) dalam mesin pencari google sebagai bahan bandingan.

Keempat–Dua mata kesusasteraan kita.

Terlepas dari sepakat atau tidak, patut kita simak pernyataan yang pernah dilontarkan oleh Dami N. Toda mengenai SCB yang konon merupakan mata kiri kesusatraan Indonesia di mana Chairil Anwar merupakan mata kanannya. Ini berkaitan dengan kredo puisi (ala sufi mabuk–pen, dan) mantra yang pernah dilontarkannya.

SCB pernah menulis dalam esainya yang berjudul “Chairil”, bahwa Chairil selalu berbanding sejajar dan konsisten dengan modernitas dengan mengandalkan rasionalitas. Dengan pandangan yang masih sama ia juga mengatakan, “… suatu modernitas, atau katakanlah rasionalitas, yang (memang–pen) belum mendapatkan atau belum diperdalam dengan counter kritik.” (Kompas: 2000).

Kita tahu, bahwa melalui pandangan yang seperti itu Sutardji mencoba menggiring tradisi “puisi mabuk ala sufinya itu” ke dalam kesadaran budaya daerahnya (: Mantra), di mana, kebetulan atau seakan dengan kesepakatan tak terucap pada zamannya (tahun 60-70an awal) dari para pegiat kesusastraan memang tengah dilakukan semacam gerakan pematangan akan hubungan antara tradisi (Timur?) dan modernitas (Barat?).Melalui kredonya itu kemudian SCB menulis puisi-puisi mantranya ke berbagai media.

Ia pula meletakkan Chairil sebagai perwujudan “manusia Indonesia modern” yang pernah dibayangkan oleh Sutan Takdir Alisyahbana; Menempatkan Chairil sebagai penyair yang amat begitu mengangung-agungkan fikiran. Ia mengutip ungkapan Chairil, “Pikiran berpengaruh besar dalam hasil seni yang tingkatnya tinggi. Berfikir yang mengandung menimbang serta memutus dengan sehat-cermat.” Ia memberikan kutipan yang menunjukkan bahwa Chairil amat menolak seni yang menopangkan dirinya pada improvisasi, “Seni improvisasi tetap jauh di bawah dan rendah dari hasil seni-cipta (dalam hal ini Chairil direportoarkan menyindir pantun melalui pembedaan dirinya sebagai penyair dengan para pengibing ronggeng).” Dan dalam proses kreatifnya (membuat sajak-sajak modern–pen), Chairil digambarkan sebagai penyair yang ketika mencari (baca: memburu) kata-kata, kadang harus berhari-hari bahkan berminggu-minggu untuk mendapatkan kata yang tepat itu.

SCB alih menyindir balik Chairil dengan ungkapan, “Ia rupanya tidak pernah merasakan sebaliknya kata-katalah yang mencari-memburu penyair yang tepat untuknya. Ia tidak pernah merasakan tangan dan bolpoin penyair sempoyongan di atas kertas karena sedang disergap kata-kata.” SCB mengatakan bahwa Chairil (baca: masa Chairil) belum sampai pada “menemukan sesuatu” yang melampaui modernitas atau rasionalitas pada unsur pantun, meskipun SCB pun akhirnya mereda dan mengungkapkan bahwa Chairil adalah keniscayaan sejarahnya di mana ia lahir di zaman saat para intelektual dan seniman yang menunjukkan kepada anak-anak zaman pada generasi SCB, betapa pentingnya visi modernias bagi gerakan baru bernama Indonesia.

Dalam tulisannya yang lain yang berjudul “Mengenang Chairil” sebuah catatan yang sempat terbit pada rubrik Catatan Kebudayaan majalah Horison edisi XVIII tahun 80an (note: artinya pada tulisannya yang lebih lama 20 tahun), SCB mengungkapkan berbagai pendapat pribadinya yang positif mengenai sikap kecermatan Chairil tersebut, “Menulis sajak cara Chairil, merencanakan dan memikirkan kata-kata tepat untuk sajak, dalam proses penciptaan masa kini mungkin tidak terlalu menarik perhatian ataupun tidak lagi begitu penting. Improvisasi kini (telah–pen. Pernyataan berikut keluar pada era 10tahunan pasca kredo mantranya) menjadi utama. Namun, bagaimanapun keseriusan Chairil itulah bagi saya sangat menarik. Apalagi mengingat penyair masa kini gara-gara salah kaprah dengan spontanitas, improvisasi, serta penulisan ‘automatic’ sering terperosok pada kerja gampang-gampangan.” Pada sikap yang demikian, SCB justru mencoba menggunakan sosok Chairil untuk menghajar para “penulis puisi” yang lebih mengedepankan dalih ketimbang kerja kreatif; lebih mengedepankan legitimasi dari kegiatan eventual yang diadakan melalui komunitas-komunitasnyaketimbang keseriusannya memikirkan sebuah tradisi kesusastraan yang akan membekas bagi-dan kemajuan kebudayaan bangsanya.

Nah, mungkin dari situlah kita kembali telah melihat secara “terang” pemaknaan dari kredo puisi Mantra Sutardji dalam seting hermeneutis yang lebih antropormis ketimbang hanya sebagai kredo yang telah mendeklarasikan “Kata” yang tak terbebani oleh “Makna” belaka. Tetapi memang SCB sendirilah berkali-kali mencoba untuk memisahkan antara dirinya dengan tradisi pengungkapan puisi yang pernah diletakkan oleh Chairil Anwar. Padahal jika dibuktikan, tidak akan selalu memang pada puisi-puisinya ditemukan perbedaan tersebut, bahkan belakangan SCB pula tidak menampik-nampikkan diri dari menulis sajak-sajak dengan gaya puisi modern ala Chairil yang lebih menekankan pada aspek penguatan makna kata ketimbang membebaskannya dari berbagai beban makna sebagai mana kredonya sendiri.

Keenam–kita akan mulai!

***

Akar Kesusastraan Kontemporer Kita

Banyak pembaca, pengulas nun seringkali hanya pandai menamplok teori atau bahkan meniru-niru suara burung dari dalam gua. Hal ini misalnya dibuktikan dengan masih banyaknya salah kaprah di sana, terkait dengan puisi-puisi SCB yang dibuat di bawah kredo Mantranya itu. Berkali-kali puisi SCB “diwacanakan” sebagai bagian dari jenis puisi ala Apollinaire, atau Mallarme, Arno Holz, Ezara Pound, Carlos Williams dan E.E. Cummings yang menulis puisi-puisi “konkrit” pada awal abad XX sebab hanya melihat pada beberapa puisi SCB, yang memang jika dilihat dari wujud visulanya yang “tidak konvensional” sebagaimana tradisi syair dan persajakan yang sudah berjalan lama di Nusantara, bahkan tradisi perpuisian sejak era puisi Indonesia modern ala Chairil–yang banyak mengerahkan teknik pemenggalan (: enjambemen) untuk memperkuat sajak-sajaknya. Mereka cenderung terkesan hanya melihat aspek kesamaan ciri fisik tanpa mendalami lebih jauh aras aesthetic dan konsep kepenyairan yang coba diusung oleh SCB sebagaimana sudah disampaikan di atas. Dan dari kekeliruan semacam itulah kemudian seolah-olah puisi “konkrit” Indonesia lahir [!] yang lebih konyol lagi konon dari tangan SCB sendiri [?!?]; hal yang sama dituduhkan pula kemudian kepada Afrizal Malna soal buku “Musium Penghancur Dokumennya” yang akan disinggung di bagian pamungkas.

Pada tahun 70an akhir, memang SCB pernah mengungkapkan (dengan argumen yang juga katung melihat mulai munculnya puisi-puisi konkrit dan visual yang dituduhkan akibat “ulahnya” itu) bahwa salah satu masa depan puisi Indonesia terletak pada jenis puisi konkrit. Meskipun, penulis agaknya melihat pernyataan tersebut hanya sebagai sebuah bentuk “ketercerabutan” epistemologis SCB dari kredo mantranya sendiri dan tenggelam ke dalam arus “obrolan pasar” yang terlanjur terbentuk, dan itu sangat disayangkan sebab pada dasarnya ia telah secara tidak langsung “meninggalkan” kapasitas intelektual dari kredo yang dimilikinya, yang mana bagi penulis, kredo mantra SCB adalah sebuah kredo yang hakikatnya telah membuka pintu bagi jalan baru kesusastraan kita dengan begitu lebarnya.

Pada kredonya, ia bicara mengenai sesuatu yang amat begitu mendasar dalam dunia sajak, yaitu “Kata”. “Kata” yang coba dilepaskan dari “makna”nya, bahkan jauh-jauh sebelum Derrida mewartakan konsep mengenai Dekonstruksi-tanda di belahan eropa. Artinya, benih kesusastraan kontemporer kita telah memiliki aras ontologis yang cukup kuat untuk melanjarkan sebuah lagi jalur tradisi perpuisian.

Pada saat itu, melalui kredo mantra SCB, kita “diandaikan” telah memahami bahwa bahasa–Indonesia yang masih dalam proses pembentukannya, adalah bahasa yang pada dasarnya bisa “dimainkan” dan bahkan dilepas-lucutkan dari kode-kode linguistik(nasional)nya. Watak bahasa dalam kredo SCB, seolah-olah telah memperlihatkan kepada kita bahwa kita sebenarnya tidak hanya bisa berada di titik ekstrim dari tempat duduk Chairil di kanan–kita di kiri, tetapi kita juga bahkan bisa duduk sebagai mata ketiga pada axis yang lain melalui proses pembentukan berbagai macam kode (permainan) “bahasa-bahasa” lainnya yang baru; tidak hanya bahasa sastra yang berlaku sebagai bahasa nasional/bahasa kesusatraan Indonesia modern (sebagaimana menjadi perhatian sastrawan angkatan 60an. ex. Potret Penyair Sebagai si Malin Kundang, Goenawan Mohammad yang “bingung” dalam penggunaan bahasa kesusastraan antara bahasa kelahirannya atau bahasa Indonesia).

Tidak hanyabahasa kesusastraannya para “Chairillian”, bukan juga hanya bahasa sebagai sebuah mantrasebagai sebuah panembra bunyi sebagaimana SCB mendeklamasikannya di berbagai perfoma panggung, tetapi juga bahasa sebagai sebuah “wadah”-yang-bukan-“wadah” bagi proses yang terjadi dalam diri kebudayaan manusia; bahasa, adalah sebuah kontur sekaligus gerak yang terdapat di dalam tubuh yang terus meliuk-liuk dan mabuk ke segala arah.Ia “muncul” tidak sebagai sebagai sebuah proses pengkristalisasian. Ia mensublimasi terus menerus. Bukan pula merupakan proses agar dirinya menjadi “mapan”. Artinya ia tidak untuk sekedar “dialihkan” di dalam sebuah bentuk yang tetap melalui sebuah “badan bahasa”, tetapi ia merupakan sebuah “O!” yang terus berkeliaran dan berpindah-pindah, sebuah “Amuk” dan sekaligus sebuah “Kapak” kepada kanunnya sendiri. Artinya, dengan kata lain kemudian nilai dari kepenyairan tidak dilihat dari seberapa “setia”nya ia pada sebuah bentuk yang sudah ia gariskan, tetapi seberapa “bandal”nya ia dalam proses kreatif!

Oleh karenanya pula saya rasa, seorang penulis puisi yang bagus tak cukup menulis “sekali puisi” kemudian “mati” (noted: Chairil), untuk menunjukkan betapa jiwa kreatif kebangsaan kita memiliki daya yang kuat dalam sebuah pergaulan global, tetapi sebagai sebuah avangarda bagi generasinya. Sebab hal inilah yang akan membuat, mengapa kepenyairan–yang tak “keruan” secara hitung-hitungan ekonomis itu, menjadi berguna; dan tentu bukan karena slogannya.

3 Contoh Jalan “Sesa[a]t” Sastra Kontemporer Indonesia

Puisi adalah “permainan”; JokPin

Melalui sajak-sajak-humornya yang sederhana, bisa kita katakan saat ini JokPin adalah salah satu penyair yang sedang “dikagum-kagumi” para penulis muda, sebagaimana Sapardi dulu dikagumi oleh anak-anak muda melalui sajak-sajaknya yang dipopulerkan oleh musikalisasi Ari-Reda. Apakah ini salah? Tentu tidak. Tapi mari kita duduk sejenak, dan bicarakan mengenai hal-hal yang paling sederhana mengenai kemungkinan fikiran-fikiran JokPin.

Pada suatu hari, dalam sebuah program talkshow pada salah satu stasiun TV bersama Najwa Syihab (2016), setahun yang lalu, di sana terlihat JokPin duduk sebagai seorang penyair “baru” dan bersanding bersama Sapardi, seniornya, untuk membahas (baca: ditanya-tanya) mengenai “Apa itu puisi?”

Pada kesempatan tersebut sembari membacakan puisinya yang berjudul “Kamus Kecil,” JokPin mengatakan (sekali lagi) bahwa puisi adalah sebuah cara untuk bermain-main dengan bahasa. Sebuah “kredo” yang ia terus dengungkan pada hampir setiap esainya mengenai puisi;Cek misalnya pengantar buku “Sisa Cium di Alun-alun” Weni Suryandari.

Kamus Kecil

Saya dibesarkan oleh bahasa Indonesia yang pintar dan lucu
Walau kadang rumit dan membingungkan
Ia mengajari saya cara mengarang ilmu sehingga saya tahu
Bahwa sumber segala kisah adalah kasih
Bahwa ingin berawal dari angan
Bahwa ibu tak pernah kehilangan Iba
Bahwa segala yang baik akan berbiak
bahwa orang marah tak mudah marah
Bahwa untuk menjadi gagah kau harus menjadi gigih
Bahwa seorang bintang harus tahan banting
Bahwa orang lebih takut kepada hantu ketimbang kepada Tuhan
Bahwa pemurung tidak pernah merasa gembira
sedangkan pemulung tidak pelnah melasa gembila
Bahwa orang putus asa suka memanggil asu
Bahwa lidah memang pandai berdalih
Bahwa kelewat paham bisa berakibat hampa
Bahwa amin yang terbuat dari iman menjadikan kau merasa aman

Bahasa Indonesiaku yang gundah
Membawaku ke sebuah paragraf yang merindukan bau tubuhmu
Malam merangkai kita menjadi kalimat majemuk yang hangat
Di mana kau induk kalimat dan aku anak kalimat

Ketika induk kalimat bilang bilang pulang
Anak kalimat paham
Bahwa pulang adalah masuk ke dalam palung
Ruang penuh raung
Segala kenang tertidur di dalam kening

Ketika akhirnya matamu mati
Kita sudah menjadi kalimat tunggal
Yang ingin tinggal
Dan berharap tak ada yang bakal tanggal

Dengan mengabaikan aspek ironinya, secara implisit [seoalah-olah] ia ingin mengatakan bahwa puisi berarti bermain-main [hanya] dengan kosa kata. Apakah hal tersebut menjadi masalah? Tentu tidak. Hanya saja, dengan gaya sederhana mengikuti kesederhanaan Sapardi, JokPin hendak memboyong model stilistika pemilihan kata dengan mengulang-aling kosa-fonetasi ala “guru SMA” dalam mebuat sebuah sajak. Puisi di atas menunjukkan, bagaimana JokPin benar-benar membawa kita pada hal-hal yang biasa dikerjakan oleh murid SMA di kelas bahasa yang memang benar-benar amat menjemukan.

Kita coba tengok salah satu sajak lainnya yang lebih tua, yang berjudul “Selamat Malam Jakarta”,

Selamat Malam Jakarta

Aku mencari Alwy, Beny, Hendry di warung kopi.
Semuanya sedang bobo di atas tumpukan puisi.

Maka ngumpet saja aku di kamar mandi,
membaca dukaMu abadi.

Aku ingin cepat pulang ke Yogya,
menemui kata-kata yang sering kukhianati isinnya

1997

Dalam puisi di atas JokPin bahkan secara terang-terangan hendak mengatakan–secara anakronik sebagaimana dikatakan oleh Sapardi dalam pertemuan tersebut, bahwa puisi adalah bunyi–bunyi rima akhir sepertimana dalam tradisi kesusastraan lama (abab, aabb, aaaa, bbbb, dsb.) dengan penyair bisa saja menghianati isinya: “Aku ingin cepat pulang ke Yogya, menemui kata-kata yang sering kukhianati isinya”.

Lantas, apakah ini kembali masalah? Sekali lagi, tentu tidak. Bahwa JokPin dalam puisi-puisinya, dalam konsep kepenyairannya tengah mengusung “gaya klasik” semacam itu adalah sah, dan hak bagi penyairnya untuk menuangkan segala tenaga kreatif yang dimilikinya. Hanya saja agaknya kita sedikit boleh gelisah ketika puisi-puisi JokPin mendapatkan tempat melalui komentar-komentar yang muncul belakangan, tetapi masih hanya mengusung hal-hal elementer semacam itu. Terlebih komentar yang diberikan atasnya masih terkesan “sama terlalu sederhananya.” Dananehnya, komentar-komentar tersebut telah juga membawa JokPin berkali-kali mendapatkan penghargaan dengan tingkat kesederhanaan yang diusungnya itu; menghawatirkan bagi keberlanjutan kesusastraan Indonesia saat ini.

Misal kita simak, dalam empat paragraf panjang “Pinurbo dan Dinar“ (TEMPO No. 44/XXXI 30 Desember 2002), Nirwan Dewanto yang mengawali pembicaraannya mengenai puisi awal tahun 2000an dengan cukup ketat, ia justru mengakhirinya dengan kesan yang cukup “gampangan” dalam mengaproviasi JokPin sebagai “antipoda puisi lirik sekaligus puisi protes”.

“SETIAP akhir tahun saya merasa lara dan terkutuk sebab saya tahu tak banyak karya sastra dalam bahasa nasional kita dalam setahun itu yang layak dikenang. Sebagian besar hanya akan tinggal sebagai bahan dokumentasi. Juga sepanjang 2002. Namun, takut menjadi anak durhaka di kampung halaman sendiri, saya berusaha toleran terhadap mutu sastra, lalu menghibur diri: lihat, bakat baru terus bermunculan. Ajaib, masih ada yang bisa meloloskan diri dari mediokritas yang kian merajalela dalam masyarakat saya. Bagaimana mungkin negeri yang tenggelam dalam kelisanan ini masih bisa menghasilkan penulis unggul?”

Sajak-sajak ditulis dari segala penjuru: sebagian besar hendak mendedahkan sunyi, muram, duka, dan maut, sering kali diberat-beratkan. Kesengajaan untuk berbeda dari bahasa sehari-hari? Tidak. Para penyair muda usia itu masih menulis puisi-emosi (ya, istilah ini pernah dipakai Asrul Sani setengah abad lampau). Seakan masih di zaman romantik, mereka berburu lambang segila-gilanya, tanpa kontrol-diri. Amat tipis keterampilan mereka mengolah bangun dan metafor. Sajak-sajak mereka seperti gampang ambruk, lantaran pelbagai anasirnya tak saling menopang. Ketimbang menguasai bahasa, apalagi mencari ungkapan baru, mereka terpenjara kosa-kata dan kosa-bentuk para pendahulu mereka.

Tentulah aneh kalau puisi tak merupakan puncak kesanggupan berbahasa. Namun begitulah kenyataannya. Mayoritas puisi kita abstrak dalam arti negatif: tidak sanggup menangkap apa yang konkret, yang dekat dengan nafsu dan daging, justru lantaran mengabaikan intelek dan keperajinan. Puisi yang tak sanggup menyegarkan bahasa. Bila penyair tidak lebih baik ketimbang pemamah biak atau pembuat kemubaziran, tidakkah lebih baik kita menyesali puisi? Untunglah kita masih bisa membaca para penyair cemerlang terdahulu, yang terus memberikan tenaga pada bahasa kita. Sebagian masih giat di gelanggang, bahkan terus memperbarui diri. Lebih penting lagi, masih ada Joko Pinurbo dengan kumpulan sajak Pacarkecilku terbitan Indonesiatera.

Penyair kelahiran 1962 ini adalah antipoda puisi lirik sekaligus puisi protes. Ia berhasil membangkitkan bahasa sehari-hari dengan frasa yang terang sebagai alat puitik, sementara kebanyakan penyair hanya mendedahkan keruwetan (dan bukan kompleksitas) dengan kalimat patah-patah yang sering mengabaikan logika. Ia menertawai “aku” yang dalam puisi lirik kita sering didramatisasi demi apa yang disebut puisi suasana. Namun humor dan main-main dalam Pinurbo tidaklah murahan seperti dalam puisi mbeling, misalnya, tapi berwatak subversif, ibarat cibiran iblis bagi umat yang suka berpura-pura serius dan suci ini. Berbeda dengan puisi lirik yang mengejar abstraksi, puisi Pinurbo bercerita dengan gamblang, tapi dengan aforisme yang mengejutkan di sana-sini.”

Hal tersebut–yang dilakukan oleh Nirwan D., seolah begitu saja mengabaikan misalnya ke-keketatan wawasan puisi mbeling yang pernah ada (Remy Sylado), dihadapan puisi-puisi JokPin, serta puisi-puisi non lirik–dan bahkan non naratif, lainnya.

Pada tahun setelahnya, “Jalan Setapak Berduri” (2003), masih dalam terbitan yang sama–Tempo (44/XXXII, Desember), dengan nada tak tanggung “mencibir” maraknya sastra di cunia cyber sekaligus dengan “innocent” Nirwan Dewanto kembali mengangakat nama JokPin dalam tajuk yang dibuatnya,

“Saya takjub kenapa, misalnya, pengaruh puisi Sapardi Djoko Damono begitu kuatnya hingga hari ini, sebagaimana terlihat pada Joko Pinurbo dan Dorothea Rosa Herliany: yang pertama meluweskan gaya Sapardi, yang kedua meruwetkannya. Benar, para penyair terbaru niscaya memerlukan dasar dari mana mereka bisa melompat tinggi-tinggi. Bahkan tak sedikit penyair, misalnya Ulfatin Ch., yang bergantung bukan hanya pada puisi Sapardi, tapi juga terjemahannya (antara lain penyair Yunani George Seferis). Tapi Pinurbo, Rosa, Ulfatin, juga para penyair Bali yang kini melimpahi gelanggang—pendeknya, seluruh generasi mereka—sudah sampai ke tahap jenuh, mahajenuh, masing-masing. Mereka mesti ”membunuh” Sapardi, Goenawan Mohamad, dan segenap warisan puisi lirik Indonesia. Mereka harus berpaling sepenuhnya ke sumber-sumber lain.

… …

Lihatlah sastra di dunia maya. Cyberspace tidak menjadi alternatif—apalagi subversi—terhadap dunia cetak, tetapi tong besar di mana kesedang-sedangan diperbolehkan, bahkan direstui. Seakan setiap manusia adalah pencipta kebudayaan, karya apa pun bisa tampil tanpa campur tangan otoritas tertentu. Inilah demokratisasi, kata para pembela sastra cyber. Tapi demokrasi adalah kompetisi dan kontrol mutu, bukan? Nyatalah cyberspace hanya menggandakan kelisanan juga. Tak terlihat di sana penciptaan hipertekstual, misalnya: hanya pemuatan karya yang entahlah mutunya. Tidak terlihat sikap baru dalam mengolah kepustakaan (yang tersedia online), sehingga makin teballah omong-omong gaya kampung itu. Tapi mari berpikir positif, Saudara: ruang maya adalah tempat penyemaian benih, sebentar lagi kita akan memetik buahnya.”

Sebentar…, mari kita juga tengok apa yang diknstruksi oleh Ayu Utami secara “romantik” mengenai JokPin pada tulisannya yang berjudul “Gereja dan Pabrik Cerita” (Kompas, 2004),

“Gereja Katolik punya kegundahan akan segala teknologi yang mengontrol tubuh ke dalam kehendak individu: kontrasepsi, atau juga anaestesi. Anaestesi atau pengebasan membuat rasa sakit menjadi tidak alamiah bagi manusia rasional. Dalam pandangan ini, prosesi maupun obsesi yang memberi penghormatan tinggi pada rasa sakit pun menjadi kelainan jiwa. Namun, sesungguhnya, dengan memberi penekanan terlalu kuat pada kebangkitan, kisah itu memberi pengebasannya sendiri: anaestesi akhir nan bahagia. Agama memang memberi telos, tujuan yang agung seperti sebuah happy ending. Pada saat yang sama, akhir nan jaya ini menjauhkan penderitaan ideal dari penderitaan manusia sesungguhnya.

Sajak-sajak Joko mengembalikan itu. Penderitaan menjadi milik manusia mortal. Kesakitannya lebih sering tak bisa dimengerti. Apa gerangan tujuan kesakitan? Karena itu, barangkali, ada beberapa hal yang obsesif dalam sajak-sajak Joko: tubuh yang sakit, manusia yang gagal, kuburan, dan selangkangan—berbeda dari Ayu, pada Joko tanpa erotisme. Sajaknya bercerita tentang celana yang hilang, burung di dalamnya yang terbang, Pak Guru yang resleting celananya melorot dan menjadi penjaga kuburan, celana bayi yang ia cari di makam ibunya. Kuburan dan kelamin tanpa erotisme seolah menekankan mortalitas manusia: dari kelamin ia keluar, ke dalam makam ia menyusup. Jika penderitaan dalam Kisah Sengsara Agung menjadi drama, penderitaan dalam sajak Joko menjadi ironi.”

Juga dalam tulisannya yang berjudul “Joko Pinurbo; Mengapa Kematian? Penyairku? (2005),

“Lantas di mana kekuatannya? Tentu ada sejumput sajaknya yang liris. Tetapi ia bukan Goenawan Mohamad atau Sapardi Djoko Damono—saya curiga ia dekat selera dengan dua sekawan penyair ini—yang secara keseluruhan menghasilkan sajak-sajak liris untuk dibaca dalam sunyi. Tidak Joko Pinurbo. Meskipun ia mengaku kagum pada karya liris penyair tua itu, kata-kata dalam sajaknya sendiri sering sungguh banal, sedang subjeknya sungguh sehari-hari. Ia bicara soal celana, toilet, kamar mandi—hal yang tidak menggugah, tidak erotis, dan terlalu domestik. Ia bukan Malin Kundang yang takjub pada bandar-bandar di penjuru dunia.[1] Pelesirnya hanya antara “kamar mandi dan ruang tamu”. Maka, kekuatan penyair ini ada pada alur sajaknya yang lateral, nyeleneh, namun serentak tulus. Ia istimewa sebab kenakalannya tidak politis melainkan apa adanya.

… …

Karya Joko dimungkinkan untuk nyeleneh lantaran bentuknya yang bercerita. Secara umum, sajaknya adalah sajak yang bercerita. Itu ciri utamanya. Barangkali sebagian bisa dianggap golongan cerita mini juga. Bentuk ini punya konsekuensi yang menguntungkan penyair. Yaitu, bahwa pembaca menduga sebuah alur dan sebuah akhir. Dari anggapan awal yang tak sepenuhnya disadari inilah Joko mengemudikan cerita mininya kepada alur dan akhir yang tak terduga, menyangkutkannya pada simpul-simpul yang aneh pula. Simpul-simpul ini kerap kali adalah tema-tema besar tersembunyi yang muncul secara ganjil seperti simptom ketegangan saraf.

Salah satu sajaknya yang paling dikenang orang, bahkan dibaca dan diapresiasi oleh anak-anak sekolah,[3] adalah sajak “Celana, 3”. Celana, benda sehari-hari ini—semua manusia modern memakai celana, adalah salah satu subjek penting, muncul berulang kali dengan peran utama maupun sebagai sekadar properti.”

Kemudian pada tulisan yang berjudul “Humor yang politis, humor yang tragis”, sebuah esai kritik sastra Bandung Mawardi yang juga ikut “mejeng” dalam bunga rampai “Sayembara Kritik Sastra DKJ 2007”, yang isinya memamah banyak komentar-komentar sebelumnya dari Nirwan Dewanto, Ayu Utami, Sapardi, bahkan Korry Layun Rampan dst. Tentang JokPin, yang seraya kembali menegaskan bahwa,

“Joko Pinurbo (Jokpin) layak dibicarakan sebagai penyair penting yang mungkin bisa diletakkan dalam wacana pasca-Afrizal Malna. Penempatan ini memiliki latar belakang dalam proses kreatif, pencapaian estetika, dan pembicaraan dari tukang kritik puisi Indonesia mutakhir. Joko Pinurbo hanya menjadi pembicaran kecil dalam rumusan Angkatan 2000 oleh Korrie Layun Rampan. Pembicaraan kecil itu seakan didesain dengan sadar ketika Korrie membicarkan Afrizal Malna dengan jatah besar dan melakukan pentahbisan sebagai pemimpin literer perpuisian mutakhir. Puisi-puisi Joko Pinurbo dinilai Korrie (2000) memperlihatkan penemuan estetika yang merupakan perkembangan aku lirik ke pengucapan epik dengan penguatan arus kisah dari sifat lirik murni. Pergeseran dan penemuan estetika oleh Joko Pinurbo bahkan cenderung menjadi suatu ikhtiar untuk keluar dari tradisi puisi lirik. Pembicaraan lirik sebagai narasi dalam perpuisian Indonesia belum berhenti karena ada ikhtiar untuk konstruksi besar untuk keberadaan dan pertumbuhan puisi lirik. Penilaian berulang dengan penekanan yang berbeda dinyatakan oleh Rendra, Sapardi Djoko Damono, dan Abdul Hadi W.M. (2001) yang menyatakan bahwa Joko Pinurbo berusaha untuk melepaskan diri dari tradisi lirik. Perbedaan puisi-puisi Joko Pinurbo dengan tradisi puisi lirik adalah penggunaan anasir naratif untuk menyampaikan penghayatan hidup tanpa kehilangan pesonanya sebagai dunia rekaan yang prismatis.”

Nah, pertanyaannya adalah, apakah sebelumnya dalam sejarah kesusastraan kita tidak pernah muncul “manusia-penyair” dengan ciri-ciri yang dipaparkan oleh Nirwan Dewanto, Ayu Utami, bahkan oleh Korrie Layun Rampan itu prihal: penyair antipoda puisi lirik, puisi protes, puisi naratif, puisi humor, puisi ironi, dst yang bahkan melibatkan hal-hal yang searusnya “sakral” dan dianggap “agung” dan “besar” dalam gereja tetapi dituturkan dengan gaya kepolosan sebagaimana seorang anak-anak memahami dan menceritakan ulang sebuah kisah seperti dalam salah satu sajaknya yang amat fenomenal berikut?

Maria sangat sedih
menyaksikan anaknya
mati di kayu salib tanpa celana
dan hanya berbalutkan sobekan jubah
yang berlumuran darah.

Ketika tiga hari kemudian
Yesus bangkit dari mati,
pagi-pagi sekali Maria datang
ke kubur anaknya itu, membawa
celana yang dijahitnya sendiri
dan meminta Yesus mencobanya.

“Paskah?” tanya Maria.
“Pas!” jawab Yesus gembira.

Mengenakan celana buatan ibunya,
Yesus naik ke surga.

(2004)

Joko Pinurbo
Buku: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi

Celana, 1

Ia ingin membeli celana baru
buat pergi ke pesta
supaya tampak lebih tampan
dan meyakinkan.

Ia telah mencoba seratus model celana
di berbagai toko busana
namun tak menemukan satu pun
yang cocok untuknya.

Bahkan di depan pramuniaga
yang merubung dan membujuk-bujuknya
ia malah mencopot celananya sendiri
dan mencampakkannya.

“Kalian tidak tahu ya,
aku sedang mencari celana
yang paling pas dan pantas
buat nampang di kuburan.”

Lalu ia ngacir
tanpa celana
dan berkelana
mencari kubur ibunya
hanya untuk menanyakan,
“Ibu, kausimpan di mana celana lucu
yang kupakai waktu bayi dulu?”

(1996)

Agaknya kita semua memang telah benar-benar melewatkan nama Remy Sylado yang telah memulai semua hal tersebut pada era di mana justru puisi liris mulai berkembang pada tahun 70an. Sehingga kita bisa melihat betapa para komentator di atas telah terlalu berlebihan “mengangkat” JokPin tidak pada panggungnya yang tepat. Untuk menunjukkan bagaimana sajak-sajak “semacam itu” telah dibuat oleh remy Sylado, mari kita sama-sama membaca kembali dua sajaknya yang terkumpul dalam Krygma & Martyria berikut,

Baju Untuk Satu Tradisi

Aku tidak suka hiruk-pikuk
dalam tradisi baju di nafas persekutuan
Dan kerohanian adalah pahlawan yang kalah
basah seluruh tubuh oleh air mata
Padahal doa mesti berjalan sendiri
lebih dari sunyi penyair di depan puisi

Aku merinding bukan di kuburan
tapi malah di gerja yang mentereng
di mana umatnya sepi karisma
melebihi nisan yang tak peduli badai

Betapa cantik, kau, masa kanak
Aku pejam mata membiarkan rohku berangkat
ke hari-hari kemarin yang menyenangkan
di Semarang, kota dengan dua candi
Burung-burung bangau hinggap di Srondol
bagai salju yang temangsang di khatulistiwa
Perahi-perahi ditambat di Pir
menunggu sepasang kekasih menyatakan cinta
Dan Natal atau Paskah di Blenduk adalah pesta

Kalau aku bisa balik ke rahim ibu
aku ingin mengulang kelahiran
dan membuat tradisi baru bukan dalam baju
Kerna baju, Adam dan Hawa jatuh.

Pragalba

Di rumah mewah orang Nasrani
kuliat Isa Almasih ditangkap
diusir lewat pintu belakang
Ia kembali di pintu depan
Mengetuk, “Spada, boleh masuk?”
Ia ditangkap lagi orang banyak
dibawa ke altar gereja, diadili
”Kau hanya diperlukan orang miskin!”
Mereka menyumbang uang bermilyar
membuat salib dari mas 24 karat
Ia disalib di hotel berbintang
Minggu pagi ia menyanyi di gereja
“I love Jesus, yes I know!”
Di rumah-rumah mewah orang Nasrani
kulihat Isa Almasih sudah diair-keras
digantung di bonang manalu jadi simbora.

Apakah kita tidak menemukan kesamaan gaya penuturan naratif dari apa yang ditulis oleh JokPin dalam Remy Sylado? Apakah kita tidak menemukan kecenderungan humor dalam sajak Remy Sylado? Apakah kita tidak menemukan “hal-hal sakral” diungkapkan dengan cara yang “biasa”, apakah kita tidak menemukan “humor” di sana yang dapat membuat kita bisa tergelitik? Apakah kita tidak menemukan kecenderungan narasi yang ironik dan tragis dari sebuah peristiwa yang sebelumnya dianggap “agung” dalam sejarah kekristenan? Apakah kita tidak menemukan di sana, Jesus digambarkan seperti seorang anak (sebagaimana dicitrakan dalam sajak Maria JokPin) yang “bengal” ketika diusir dari pintu depan dan muncul seraya berlarian dari pintu belakang? Apakah sajak-sajak Remy Sylado juga tak menggambarkan sebuah gaya kritik pada sebuah tradisi dengan tingkat ketulusan tanpa terjebak pada “keruwetan-keruwetan liris” tetapi menggunakan bahasa sehari-hari yang konkrit lagi terang? Penulis rasa pertanyaan-pertanyan tersebut jika kita hendak menjawabnya secara jujur akan “memojokkan” JokPin sebagai pembaharu kesusastraan kita dalam konteks dan sekarang ini.

Memang, JokPin tengah membawa kesegaran dalam pembawaannya sebagai individu yang kuat sebagai penyair–kita mendengar dari berbagai penuturan-penuturan orang banyak dan Sapardi misalnya yang kerap menceritakan bahwa JokPin dapat selalu menghibur “pendengarnya” ketika ia tengah membacakan sajak-sajaknya, tetapi dalam konsepsi, agaknya kita tidak dapat memaksakan sejauh pada batas-batas tertentu atas apa yang telah dicapai oleh JokPin sejauh ini. Lantas hal apakah itu?

Di sini kita bisa menggunakan peristilahan yang digunakan oleh JokPin sendiri dalam sajak Kamus Kecil: andai JokPin adalah sebuah kalimat, maka Remy Sylado adalah merupakan induk kalimatnya. Di mana ketika Remy Sylado mendeklarasikan puisi mbeling, JokPin membahasakannya dengan humor-humornya yang teratur dan berkala, ketika Remy Sylado mencoba untuk memberikan reaksi kepada masa kepenyairan teman sejawatnya yang pada saat itu tengah memulai tradisi puisi dengan bahasa-bahasa “terpelajar” bahkan tak jarang pada titik ekstrimnya hanya dapat difahami oleh kalangan terdidik, JokPin justru mewakili rasa humor “kalangan terdidik” di era kegaduhan dan ketegangan “agama”, ketika Remy Sylado mencoba untuk “melepaskan baju” yang dikenakan oleh Jesus pada momen-momen Paskah untuk digantikan dengan “pakaian Paskah yang baru”, JokPin menghadiahkan Jesus sebuah “Celana baru”. Ya, sebuah Celana Baru! Yang, penyairnya sendiri ragu, apakah itu “pas” atau bisa jadi juga “tidak.” [?]

JokPin, bukanlah sebuah “antipoda” sebagaimana dikatakan oleh Nirwan, atau juga sebuah pembaru sebagaimana digadang-gadang, tetapi ia merupakan sebuah kelanjutan dari sebuah tradisi yang pernah ada, dengan caranya sendiri. Hanya saja, agak sedikit disayangkan ketika pada tahun-tahun terakhir, ingkat “Humor” JokPin terlihat kehilangan “kelucuannya” sebab ia kembali kepada cara “mempermainkan bahasa” dengan gaya klasik yang terlalu sederhana sebagaimana Sapardi melakukannya; bermain-main dengan bunyi rima, bunyi kata, dan hal-hal remeh lainnya.

Apakah itu sah? Tentu sah-sah saja, seorang penyair mengarahkan proses kreatifnya ke arah bentuk manapun, tapi apakah itu akan dapat menjadikan[punggungnya]nya sebagai aras yang kokoh bagi perkembangan tradisi kesusastraan selanjutnya? Itu urusan lain yang lebih serius.

Ignas Kleden misalnya dari kacamata (perkembangan ilmu) “sosiologi-budaya” menawarkan pembacaan yang berbeda ketika melihat JokPin dalam setting naratif kesusastraan Indonesia, yang mana ketika biasanya para penyair Indonesia Modern memberikan perhatian kepada aspek “suasana”, sesuatu yang berada di luar yang bersifat “makro kosmos”, tetapi justru JokPin menjadikan “tubuh kecil” sebagai sebuah landscap dalam membaca sesuatu, atau bahkan “keber-tubuh-an” sebagai sebuah fenomena. Tetapi apakah benar sesederhana itu? Apakah dalam jurnal-jurnal, semisal pada Jurnal Perempuan yang memberi fokus kepada kajian gender kita tidak menemukan banyak puisi-puisi yang membahas mengenai tubuh? Atau dalam kajian-kajian Cultural Studies yang berkembang sejak tahun 80an tidak ada yang membicarakan masalah kebertubuhan sebagaimana landscap tersebut? Lantas apakah kita tidak pernah melihat banyak orang di pantai berjemur sekaligus memamerkan beragam seni tatto di tubuhnya seperti sebuah “pemandangan”, serta sebagai sebuah “pernyataan” visual? Sebagaimana JokPin juga mencatatnya sendiri dalam sajak “Celana” mengenai sebuah tatto di atas pantat? Mari kita berfikir ulang! Meskipun di sisi lain memang benar, dengan pembawaan karakter dirinya yang kuat lagi menyenangkan, JokPin mungkin jadi salah satu penyair belakangan yang mampu “memitifikasi” kesemua itu dalam sebuah artikulasi kesusastraan, terutama puisi sebagai yang khas “miliknya.” Inilah kelebihan JokPin, yang bisa dijadikan sebagai Sapardi kedua dalam kesusastraan kita.

Puisi adalah bunyi [?]; Sapardi

Pada kesempatan ini sebenarnya, sebagaimana diungkapkan oleh Nirwan dewanto, kita sudah seharusnya benar-benar meningalkan Sapardi–dan penyair sezamannya, sebagai salah satu penyair rujukan demi kemajuan kesusastraan kita ke depan. Kita harus menemukan rujukan-rujukan lain, atau bahkan menemukan di dalam diri kita masing-masing khazanah itu. Menemukan sebuah cara baru dalam pengungkapan kesusastraan, sehingga kita bisa menggali lebih dalam tradisi kesusastraan kita, atau bahkan melampaui semua yang sudah ada.

Satu hal yang membuat kita pesimis adalah, ketika publik luas kesusastraan kita lagi-lagi hanya kembali kepada sosok-sosok penyair populer dan kadang justru abai terhadap masa depan dan keberlanjutan konsespi kepenyairannya itu sendiri.

Sebagai contoh, kita sudah tahu bahwa Sapardi adalah salah satu penyair yang seringkali menggunakan konsepsi-konsepsi yang amat mendasar dan sederhana menganai puisi, yang terus-terus ia bawa ke depan publik hingga usianya yang semakin jauh saat ini.

Bayangkan, bagaimana bisa konsepsi-konsepsi dasar seperti, “puisi adalah bunyi”, “artinya begini tetapi maksudnya begitu” (ambiguitas), menjadi sebuah “kata mutiara” yang terus dislogankan tanpa memperhatikan konteks perkembangan ilmu sastra dan konsep kepenyairan yang sudah berkembang hingga saat ini. Dan hal ini terus berlanjut tanpa ada banyak perhatian serius dari banyak kalangan.

Kita bisa melihat misalnya, bagaimana konsep “puisi adalah bunyi” yang diterjemahkan sebagai bunyi rima di akhir larik, amat mempengaruhi JokPin dalam proses kreatif pembuatan dua puisinya di muka (Selamat Malam Jakarta & Kamus Kecil), yang membuat alam puisi kita seolah dikembalikan kepada masa-masa yang sudah lalu jauh sekali, dan bahkan kita seringkali masih melihat kesalahkaprahan akibat noise dari Sapardi (sudah disinggung pula di awal) bagaimana puisi-puisi Mantra Sutardji yang punya konsepsi sendiri mengenai “bunyi” (sebagai sebuah kekuatan sugesti–artinya psiklogis) tetapi masih terus dibahasakan sebagai sebuah “kekuatan” rima–artinya stilistik; Sapardi, benar-benar menghawatirkan!

Puisi (populer) kita, agaknya masih menampukkan diri pada kebesaran nama tokoh yang bisa jadi hanya relevan di zamannya, dan sudah tidak punya kekuatan lagi untuk dibahasakan dalam bahasa kesusastraan saat ini. Kecuali, jika kita masih ingin “memamah” puisi-puisi yang sama, pujian-pujian yang sama atas puisi, kajian-kajian, diskursus yang berputar di-itu-itu saja, sebagaimana kita memakan nasi setiap hari? Lantas apakah perkembangan dunia kesusastraan kita akan disamakan dengan “kebiasaan” kita dalam mengkonsumsi nasi? Atau bahkan beras mentah-mentah? [duh!]

Sebagai seorang pengamat budaya kontemporer, Nirwan Dewanto pernah pula mengeluarkan satu ungkapan menarik dalam tulisannya yang masih sama–Jalan Setapak Berduri. Kurang lebih ia mengatakan bahwa, di era pascamodern kita ini, alih-alih kita melangkah maju justru kita malah melihat yang “lalu-lalu” berkeliaran di hadapan kita dan jarang tanpa adanya otokritik sama sekali, apalagi pembaruan yang membawa pencerahan terhadap publik sastra.

“Tindak penciptaan dan penilaian sastra semestinya adalah semacam kritik diri. Sudah terlalu sering orang sastra merasa dirinya pembawa pencerahan, entah bagi masyarakatnya atau tradisi sastranya sendiri. Itu hanya dongeng, Saudara. Kita masih menderita buta huruf. Kita tidak membaca, kita cuma membolak-balik halaman buku. Kita tidak menguji pemikiran dari luar, namun menganggapnya sebagai jimat baru. Kita tak menulis, tapi mengarang-ngarang belaka. Kita tak bisa menilai diri, karena terpisah dari ukuran yang wajar dalam sastra-sastra dunia. Pascamodernisme konon akan melandasi kita sebagai kekuatan alternatif terhadap dunia: ternyata ia hanya membiakkan bawaan pramodern kita. ”

–nah!

Museum Penghancur Bahasa; Afrizal Malna

Bahasa adalah “permainan” tutur A. Wittgenstein dalam Philosphical Investigations (1922), di mana bahasa diposisikan sebagai sebuah medium “permainan” bagi satu kelompok. Tentu, bahasa dalam pengertiannya yang bermakna, adalah bahasa, yang memanfaatkan “medan makna” di mana setiap kelompok-kelompok itu memahaminya sebagaimana sekumpulan orang bermain permainan Ular Tangga, bermain Petak Umpet, atau bahkan bermain RPG secara bersama-sama dengan sebuah aturan yang mengatur setiap anggota yang masuk ke dalam permainan tersebut. Tetapi, yang lebih penting lagi adalah, dari penelitian yang dilakukan oleh Wittgenstein adalah, bahwa pada dasarnya bahasa memiliki potensi untuk digunakan oleh seseorang atau sebuah kelompok/komunitas sebagai sesuatu yang diposisikan sebagai yang “melampaui yang linguitik” (: meta linguistik); setiap kelompok pada titik tertentu bisa menciptakan sistem permainannya sendiri, untuk dimainkan baik oleh dirinya, atau oleh orang lain. Dengan arti, bahasa berarti bukan merupakan melulu sebuah permainan verbal–atau lebih sempit sebuah tata gramatik yang baku, tetapi melingkupi di dalamnya permainan simbol dan permainan hermenutis (pemahaman); Saya mencontohkan ada dua orang bisa saling mengerti tanpa sepatah katapun akan sesuatu, tetapi ia dapat berkomunikasi dengan kode-kode yang pada awalnya sudah difahami bersama. Wittgenstein pada masa itu, (lagilagi) sebelum datangnya dekonstruksi Derrida, telah membuka kemungkinan “yang linguistik” dipisahkan dari “yang makna”, untuk sebuah kepentingan permainan bahasa yang lebih luas. Ia membuat bahasa bersifat arbitrer (maksudnya bersifat terus berkembang) dari satu kelompok ke kelompok yang lainnya bergantung pada konteks bahasa itu sendiri.

Lantas, apa relevansinya dengan pembahasan kali ini?

Dalam sejarah kesusastraan kita, kita pernah mengalami satu periode, di mana “bahasa” telah digunakan sebagai sebuah praktik permainan (melalui praktik pembaharuan sekaligus praktik politik budaya) dengan patahan kreatif yang cukup “ekstrim” dan menggembirakan. Bahkan kita menyaksikan, bagaimana Chairil pertama-tama menggunakannya di era di mana perdebatan mengenai bahasa nasional masih coba diintrodusir dalam polemik pembentukannya. Chairil mencoba menggunakan praktik politik bahasa (kemerdekaan) juga praktik pembaharuan melalui sajak-sajaknya yang bersifat “keluar dari bahasa” (estetika) kesusastraan melayu. Kemudian di era di mana bahasa Indonesia modern pun belum benar-benar rampung dan menjadi b(a/e)ku, melalui kredonya, (meskipun sekali lagi setelahnya ia mengalami kemunduran kreatif) Sutardji datang untuk benar-benar membuka pintu permainan bahasa seleba-lebarnya melebihi apa yang dilakukan oleh Chairil melalui stilistika enjambemennya; Chairil berusaha menggunakan praktik permainan bahasa untuk “menjadi berarti” kemudian mati, sedangkan Sutardji menggunakan praktik permainan bahasa untuk “menjadi tak berarti” meskipun lantas kemudian bunuh diri!

Beruntung, kita lekas memiliki Afrizal Malna. Seorang penyair yang hidup di era 80-90an di mana Cultural Studies tengah berkembang (artinya ilmu linguistik telah benar-benar maju), dan ia mencoba mengerahkan seluruh perangkat-perangat yang ada guna kembali memberikan kesegaran bahasa dalam tradisi kesusastraan kita. Lebih penting, tentunya ia mampu menunjukkan sikap yang tidak “mundur”, tidak berbalik badan dengan-dan-kepada fikiran-fikiran tertutup, serta memiliki watak tidak nyaman dengan kemapanan dan romantisisme. Ia mampu menunjukkan dalam puisi-puisinya sebuah keberlanjutan estetik sekaligus “potret” yang simetris dengan perkembangan zamannya. Ia benar-benar membuka pintu gerbang kesusastraan kontemporer Indonesia, yang sebelumnya buru-buru “ditutup kembali” oleh pelopornya: Sutardji!

Mari kita lihat sekali lagi bagaimana praktik penyegran itu dilakukan dalam sajaknya “Mesin Penghancur Dokumen *:

Mesin Penghancur Dokumen

Ayo, minumlah. Tidak. Saya tidak sedang es kelapa muda. Makanlah kalau begitu, tolonglah. Tidak. Saya tidak sedang nasi rames. Masuklah ke kamar mandi saya, tolonglah kalau tidak haus, kalau tidak lapar, kalau bosan makan. Perkenankan aku memberikan keramahan padamu, untuk seluruh kerinduan yang menghancurkan dinding-dinding egoku. Bagaimana aku bisa keluar kalau kau tak masuk.

Kamu bisa mendengar kamar mandiku memandikan tata bahasa, di tangan penggoda seorang penyiar TV. Perkenankan aku membimbing tanganmu. Masuklah di sini yang di sana. Masakini yang di masalalu. Masuklah kalau kamu tak suka tata bahasa. Tolonglah. Kalau begitu, ganti bajumu dengan bajuku. Mesin cuci telah mencucinya setelah aku mabuk, setelah aku menangis, setelah aku bunuh diri 12 menit yang lalu. Bayangkan tubuhku dalam baju kekosongan itu. Tolonglah: bacakan kesedihan-kesedihanmu:

“Kemarin aku bosan, hari ini aku bosan, besok akan kembali lagi bosan yang kemarin.” Apa tata bahasa harus diubah menjadi museum es kelapa krim supaya kamu tidak bosan. Tolonglah. Semua yang dilakukan atas nama bahasa, adalah topeng api. Pasar yang mengganti tubuhmu menjadi mesin penghancur dokumen. Tolonglah, aku hanya seorang dalam prosa-prosa seperti ini, seorang pelancong yang meledak dalam sebuah kamus. Sebuah puisi murung dalam mulut mayat seorang penyair. Tolonglah, tidurkan aku dalam kesunyianmu yang tak terjemahkan. Mesin penghancur dokumen yang sendirian dalam kisah-kisahmu.

Puisi di atas menunjukkan betapa Afrizal terus berusaha mengerahkan dirinya untuk “memandikan tata bahasa” dengan kesadaran (… dan) ruang akan fenomena kontemporer di zamannya. Hal itu diungkapkan dengan sebuah ungkapan bahwa ia telah menyerahkan “intensi linguistiknya”, “di tangan penggoda seorang penyiar TV.” Kita masih ingat bahwa Afrizal pernah menulis dalam “Arsitektur Hujan (1995)” (buku yang lebih dulu terbit) secara gamblang mengenai proses terjadinya “penyerahan” kesadaran manusia kontemporer itu teradap teks yang berkeliaran di ruang luarnya dalam “Channel 00”: “Permisi,/ saya sedang bunuh diri sebentar,/ bunga dan bensin di halaman// Teruslah mengaji,/ dalam televisi berwarna itu,/ dada. (1983).

Afrizal seakan-akan terus menggunakan tubuhnya sebagai sebuah medium bagi kehadiran teks-teks yang berkeliaran di luarnya. Ia seakan tidak sedang benar-benar “membaca” situasi, tetapi ia–sebagaimana sebagai seorang perupa kontemprer, menampung situasi dalam sebuah instalasi (note: Afrizal pernah membuat satu pameran Seni Instalasi berjudul Hormat dan Sampah di Solo). Hal ini amat begitu mencolok dalam puisinya berjudul Daftar Index, dalam buku puisi Musium Pengancur Dokumen,

Daftar Indeks

dan berjalan. Dan tidur. Dan melupakan. Dan menyapu. Dan makan. Dan mengambil jemuran. Dan memotret pernikahan orang lain di sebuah kafe di Shanghai. Dan membaca. Dan memotong kuku. Dan memotret kucing kawin di rumah Lely. Dan menengok kuburan temanku di surabaya. Dan anaknya sudah kuliah. Dan anaknya mengirim sms, siapa bapakku? Dan anaknya tidak tidur dalam kamar ibunya. Dan namanya Dya Ginting. Dan membakar sampah. Dan memotong rumput. Dan mengambil kantong plastik yang dibuang orang di pinggir jalan. Dan mencium anak anjing. Dan menengok teman yang menangis di depan laptopnya. Dan ingin hidup dalam suara Maria Callas. Dan tak punya uang. Dan menunggu honor dari puisi. Dan bertemu mayat Caligula dalam bahasa. Dan mandi. Dan ingin mengatakan padamu bahwa aku sudah mengatakannya.

Bahkan dalam puisinya yang berjudul “Jembatan rempah-rempah” (dalam buku Arsitektur Hujan), Afrizal tidak hanya “mencacah” dan mematah-matahkan kronologi waktu dalam sebuah ruang instalasi dokumen, tetapi juga ia lebih jauh mencoba menghilangkan aspek sintaksis dalam gaya penulisan puisinya; sebagaimana mesin Shredder memotong kecil-kecil tumpukan kertas kerja di meja kantor.

Jembatan Rempah-Rempah

Adas manis – Akar wangi – Andaliman – Asam jawa – Asam kandis – Bangle – Bawang bombay – Bunga lawang – Bawang merah – Bawang putih – Cabe – Cengkeh – Cendana – Damar – Daun bawang – Daun pandan- Daun salam – Jembatan dari bumbu dapur ke darah Colombus – Gaharu – Gambir – Jahe – Jeruk limo – Jeruk nipis – Jeruk purut – Jintan – Kapulaga – Kayu manis – Kayu putih – Kayu mesoyi – Kecombrang – Kemenyan – Kemiri – Kenanga – Kencur – Kesumba – Ketumbar – Kopal – Kunyit – Lada – Jembatan dari parfum ke darah Vasco da Gama Tabasco – Laurel – Lempuyang – Leng-kuas – Mawar – Merica – Mustar – Pala – Pandan wangi -Secang – Selasih – Serai – Suji – Tarum – Temu giring – Temu hitam – Temu kunci – Temu lawak – Temu mangga – Temu putih – Temu putri – Temu rapet – Jembatan dari obat-obatan ke benteng perempuan berkalung mawar merah – Adas manis – Akar wangi – Andaliman – Asam jawa – Asam kandis – Bangle – Bunga lawang – Bawang putih – Cabe – Cengkeh – Cendana – Damar – Temu tis – Vanila – Wijen – Jembatan dari Diogo Lopes de Mesquita ke darah Ternate – Gaharu – Gambir – Jahe – Jeruk nipis – Jintan – Kapulaga – Kayu manis – Kayu putih – Kemenyan – Kemiri – Kenanga – Kencur – Kesumba – Ketumbar – Kunyit – Lada – Jembatan api.

Arsitektur Hujan (1995) mungkin memang adalah buku puisi paling tegas baik dari segi watak urban-kontemporernya maupun gaya estetika isntalasinya, ketimbang buku Musium Penghancur Dokumen (2013) yang acap lebih transendental, dan buku-buku sebelumnya yang seringkali seringkali masih skizofrenik seperti pada buku puisi pertamanya Abad Yang berlari (1984). Beberapa puidi yang memberikan kesan kuat itu di antaranya adalah puisi, Restoran Dari Bahasa Asing, Migrasi Dari Kamar Mandi, Dalam Gereja Munster, Antropologi Dari Kaleng-kaleng Coca-cola, Mikrophon Yang Pecah, Biografi Di Atas Meja Makan, Mitos-mitos Kecemasan, Masyarakat Rosa, hingga puisi berjudul “Warisan Kita (1989)” dan “Hujan di Pagi Hari (1987)” berikut,

Warisan Kita

Bicara lagi kambingku, pisauku, ladangku, komporku, rumahku, payungku, gergajiku, empang ikanku, genting kacaku, emberku, geretan gasku. Bicara lagi cerminku, kampakku, meja makanku, alat-alat tulisku, gelas minumku, album foto keluargaku, ayam-ayamku, lumbung berasku, ani-aniku. Bicara lagi suara nenek-moyangku, linggisku, kambingku, kitab-kitabku, piring makanku, pompa airku, paluku, paculku, gudangku, sangkar burungku, sepedaku, bunga-bungaku, talang airku, ranjang tidurku. Bicara lagi kerbauku, lampu senterku, para kerabat-tetanggaku, guntingku, pahatku, lemariku, gerobakku, sandal jepitku, penyerut kayuku, ani-aniku. Bicara lagi kursi tamuku, penggorenganku, tembakauku, pe-numbuk padiku, selimutku, baju dinginku, panci masakku, topiku. Bicara lagi kucing-kucingku… pisau.

1989

Hujan di Pagi Hari

Tidak seperti yang pernah dibayangkan, dunia tinggal satu-satunya alasan untuk menjelaskan keadaan kita. Kata-kata berlewatan, tanpa memerlukan seorang pembicara pun di situ. Kita menatap, kaca dalam diri sendiri basah. Kisah-kisah lampau tak lagi mengirim kabar, terbongkar dari ikatan-ikatannya. Semua yang dibuat, tak bisa lagi jadi penjelasan hari-hari kita. Membacakan lagi kisah-kisah: kita bukan pusat segala-galanya bukan. Kita mencium bau tubuh sendiri di situ, seperti mencium bau obat-obatan. Dan mengusik lagi satu cerita: Tak ada lagi darah yang mengalir, di lehermu. Kita pernah membuat rumah, sebuah dunia. Tetapi dengan merasa heran kita bertanya: Ke mana mau pulang? Segala yang bergerak diam-diam sedang mengubah dirinya sendiri, hanya untuk mengenali kembali, jalan-jalan yang pernah dilalui.

1987

Kalau kita pernah mendengar manifesto Humanisme Universal sastrawan angkatan 45 dalam Surat Kepercayaan Gelanggang (1950) yang menyatakan bahwa kita adalah pewaris sah dari kebudayaan dunia, dalam puisi “Warisan Kita” di atas seakan-akan Afrizal ingin mengatakan secara beradab pandangan kontemporernya mengenai dunia, bahwa benda-benda di sekitar kita–yang sudah terlepas dari narasi-narasi besarnya (“Kisah-kisah lampau tak lagi mengirim kabar, terbongkar dari ikatan-ikatannya.”), adalah sebuah “teks” yang telah diwariskan kepada [ruang tubuh] kita sebagaimana ia juga membaca hal tersebut secara eksplisit dalam pengantar buku Arsitektur Hujan, “…bahwa, puisi juga penandaan dari adanya ketegangan antara seseoang dengan massa. Kenyataan ini kemudian jadi semacam kerelaan baru, untuk melihat diri sendiri lebih sebagai ‘biografi teks’ ketimbang sebagai biografi seseorang’”; di mana kita sebagai seorang “penyair” tidak layak lagi berkeinginan (baca: ngotot) untuk menjadi “fasis” dengan kembali “memaksakan makna semantik” melalui struktur sintaksis yang terdapat pada struktur bahasa percakapan; Sebagai pelengkap baca juga kajian budaya Muhammad Fayyadl dalam tulisannya berjudul “Tiga Halaman Belakang untuk Puisi-puisi Afrizal Malna: Fasisme, Modernisme dan lirisisme (2015)”, mengenai anti-fasis Afrizal di hadapan situasi rezim (Orde Baru) di zamannya. Meskipun agaknya penulis kurang setuju ketika Fayyadl memberikan kesimpulan yang keliru dengan menyatakan bahwa Afrizal adalah titik balik dari modernisme puisi Indonesia, sekaligus pengeret gerbong “postmodernisme” puisi Indonesia melalui puisi Hujan Di Pagi Harinya. Fayyadl agaknya secara “tak sengaja” melewatkan begitu saja dengan tidak menyinggung Sutardji sama sekali dalam tulisannya. Okelah, jika memang Afrizallah yang mengeret gerbong tersebut, karena Sutardji nampaknya hanya “mampu” membunyikan lonceng kereta keras-keras di tengah-tengah kerumuman rang di peron yang sepi, tapi baiknya kita simak bagaimana pada puisi-puisi Afrizal yang lebih awal (pada buku Abad Yang Berlari), begitu terpengaruh oleh Sutardji.

Hutan Bambu

aku mati mengulang-ulang dunia mengulang-ulang bunga layu mengulang-ulang bunga tumbuh menatap segala yang bergerak tak boleh hidup lebih satu hari. duania mengulang-ku lagi tak habis mengulang

kemiskinan yang berputar kemiskinan yang berlari. aku bermimpi aku jadi manusia. dan aku mati dan aku lahir. dunia mengulangku matahari yang tak boleh habis.

aku ulang lingkaran yang berlari lingkaran yang mengejar menyembah orang-orang dalam satu tauhid, aku telah mati. tanah yang mengulangku angin yang mengulangku. rumput yang ditanam hanyalah tanaman yang tak berbuat. berdiam

dalam seribu tindakan
aku berdiri hanyalah ulangan-mu
aku berdiri hanyalah ulangan-mu

1983

Selain lamat-lamat transendental dari “pembicaraan gelapnya” dalam Mesin Penghancur Dokumen (“Masuklah di sini yang di sana. Masakini yang di masalalu. Masuklah kalau kamu tak suka tata bahasa,”), puisi “setengah mantra” di atas jelas sekali menunjukkan kepada kita, dari mana asal usul sikap anti-intensional Afrizal yang melandasi seluruh kerja estetiknya (terutama dalam bidang sastra) dari tahun 80an hingga pertengahan dekade kedua tahun 2000an. Hal tersebut akan sangat tak dapat dihindari lagi ketika kita membaca puisinya yang kontan menyolok mata menyebut nama Sutardji dalam puisiya berjudul “Matahari Bachri,”

Matahari Bachri

Hari semakin tua bachri. kambing telah mewarnai pakaian kita. mau kau jadikan laut mati berdebur di antara kegigilan rumput-rumput. mabukmu tak juga menyimpan maut jadi tenang dalam sajak. tak bisa bercakap matahari tak bisa bercakap tuhan. bau alkohol telah melukai langit, bachri. sampai ke kubur menulis-nilis manusia. membuka buku sajak yang perih membuka pintu yang perih. Segalanya dalam derit tawa, bachri. dunia hanyalah, pengejaran untuk mati di antara rumput yang terus berkibar.

Mabukmu membawa penyair kepada keperihan kamus-kamus, bachri. kepada siapa mengajari tuhan kepada siapa mengajari bintang-bintang. langit menurunkan mataharimu setangga-tangga. dan tanah terus berkibar menyimpan hidup dalam rahasia-rahasia.

Di kubur mabuk, lonceng oleng, kita hanya barisan kata-kata, bachri. siapkan rumput di padang-padang telanjang. aku pinjamkan sebait tuhan untukmu.

1983

Ya, Afrizal adalah satu perwujudan saja dalam tradisi perpuisian kontemporer kita semenjak Sutardji mendeklamasikan kredonya. Kalau Sutardji dianggap oleh Dami N. Toda sebagai “mata kiri” kesusastraan Indonesia, maka sebenarnya Afrizal adalah mata kiri pengganti ketika mata kiri kesusastraan Indonesia yang telah tua dan rabun.

Abad yang berlari

palu. waktu tak mau berhenti, palu. waktu tak mau berhenti. seribu jam menunjuk waktu yang berbeda-beda. semua berjalan sendiri-sendiri, palu.

orang-orang nonton televisi, palu. nonton kematian yang dibuka di jalan-jalan, telah bernyanyi bangku-bangku sekolah, telah bernyanyi di pasar-pasar, anak-anak kematian yang mau merubah sorga. manusia sunyi yang disimpan waktu.

palu. peta lari berlarian dari kota datang dari kota pergi, mengejar waktu, palu, dari tanah kerja dari laut kerja dari mesin kerja. kematian yang bekerja di jalan-jalan palu. kematian yang bekerja di jalan-jalan.

dada yang bekerja di dalam waktu.
dunia berlari. dunia berlari
seribu manusia dipacu tak habis mengejar.

(1984; p.12)

Menariknya adalah, di usianya yang semakin senja, pada puisi-puisinya yang paling belakangan, dengan sikap estetik yang terbuka dan menerima segala teks yang beredar di sekitar ruang tubuhnya itu, Afrizal sampai pada satu “situasi tubuh” di mana perpuisian Indonesia tengah mengalami dampak-dampak nyata dari revolusi teknologi informasi dan komunikasi sebagaimana kita lihat misalnya dalam sajak-sajaknya di Berlin Proposal yang berjudul Puisi Digital, Teritori Digital, Tektonik Digital, yang hanya memunculkan garis-garis seperti gelombang digital dan barcode sebuah produk, atau puisi Anonymox Aurat berikut yang seakan memberikan semacam “tata cara” meraih spiritualitas di era digital ini:

Anonymox Aurat

klik: anonymox
unduh >> add to firefox
instal
aplikasi sudah terpasang pada aurat kita
next
http://www.berangkat-ke-batas-sepi.com
tancap
doa-doa digital
<<->>
koyak
immaterial bahasa
tinggalkan makna
di luar batu nisanmu

Ini menunjukkan, sekali lagi, betapa Afrizal memiliki vitalitas kreatif (meskipun pada dasarnya ia menjadi “pengganti” Sutardji) yang jauh melampaui kapasitas pendahulunya. Namun, pertanyaannya adalah, andai kita melihat usia Afrizal saat menerbitkan Berlin Proposal (tahun 2015 dan Afrizal Lahir pada tahun 1957), dan dari sekumpulan karya penuh yang pernah diterbitkan oleh Afrizal, apakah ia akan dapat “menuntaskan” puisi-puisi digitalnya sebagaimana ia menuntaskan puisi-puisi “postmodern”nya? Hanya saja, di sini penulis agak sedikit ragu Afrizal akan sampai “ke sana”, melihat bagaimana ia sampai pada puisi digital tidak sebagai sebuah “konsep” estetik tetapi sebagai sebuah “penemuan tubuh”. Ya, Afrizal, adalah anak sebuah zaman, sebuah Abad, di mana Abad itu sudah berlari (sebagaimana ia menggambarakan gerak cepat abad dalam puisinya) tidak lagi seperti Abad di zamannya: Postmodernisme telah sampai pada tahap “millenial-lanjutan” dengan praktik digitalnya yang makin mengakar di seluruh penjuru planet (tahun 2008 IBM menelurkan project Smart Planet ke seleuruh negara), dan kredo Sutardji (dan teori-teori mengenai puisi yang telah ada) yang telah makin aus, agaknya mesti dibaca ulang agar mampu menangkap semangat perkembangan teknologi dan peradaban manusia di era millenial ini.

Jakata, 2017

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *