Oleh

Atik Bintoro

 

Sekilas Tentang Penyair Sihar Ramses Sakti Simatupang

Menurut majalah PojokTim [1] diketahui bahwa Sastrawan yang bernama Sihar Ramses Sakti Simatupang, dan atau Sihar Ramses Simatupang dari laman https://festival.borobudurwriters.id/bio/sihar-ramses-simatupang/; merupakan lulusan Fakultas Sastra – Universitas Airlangga, dan Pascasarjana Pengkajian Seni – Institut Kesenian Jakarta.

Beberapa pengalaman profesionalnya antara lain sebagai: Redaktur Budaya di Harian Umum Sinar Harapan, Pengajar di SMA Erudio School of Art, serta dosen di Fakultas Komunikasi – Universitas Multimedia Nusantara.

Perkumpulan yang diikiuti antara lain: Penulis ALINEA, Indonesian Writers Inc (IWI), dan Ikatan Wartawan Online (IWO).

Adapun karya tulis sastra sebagai Penulis tunggal antara lain buku: Kumpulan puisi Metafora Para Pendosa (Rumpun Jerami, 2004), Kumpulan cerpen Narasi Seorang Pembunuh (Dewata Publishing, 2004), Kumpulan puisi Manifesto (Q Publisher, 2009), Kumpulan puisi Semadi Akar Angin (Q Publisher, 2014), dan Kabar Burung Pecah di Jendela (Tarebooks, 2020), Beberapa Novelnya adalah berjudul:

Lorca – Memoar Penjahat tak Dikenal (Melibas, 2005), Bulan Lebam di Tepian Toba (Penerbit Kakilangit Kencana – Prenada Media Group terbit tahun 2009 dan meraih nominasi di Khatulistiwa Literary Award 2009 juga penghargaan dari penerbit Italia, Metropoli d’Asia), Misteri Lukisan Nabila (Penerbit Nuansa Cendekia, Bandung, 2013), dan Lorca Inocencio(2017).

Puisi “Sebising Stasiun Itu” di Majalah Pojok TIM

Puisi yang berjudul “Sebising Stasiun Itu” karya Penyair Sihar Ramses Sakti Simatupang berhasil tayang di Majalah Pojok Tim, Volume 1/2025. Tampilan cetakan Puisi tersusun rapi, terdiri dari hanya satu bait dengan narasi isi batang tubuh puisi, seolah berbaris sambung menyambung dalam satu paragraf. Jika boleh dihitung, semuanya berjumlah sebelas baris.

Judul Puisi “Sebising Stasiun Itu” terdiri dari tiga kata yaitu: /Sebising/, Stasiun/, dan /Itu/. Pengertian dari tiga kata ini bisa menjadi titik pijak untuk mengawali menikmati puisi, dengan asumsi bahwa Judul puisi bisa mewakili gambaran isi puisi.

Sebagaimana kata Sastrawan Maman S. Mahayana bahwa sebagian Penyair dalam membuat judul puisi, masih terkait dengan isi puisi, meski pun tidak harus demikian. Di sisi lain, isi puisi tergantung pada tema yang telah dipilih oleh Penyair.

Tema ini kadang menyangkut: perkara pribadi, fenomena alam, dan peristiwa sosial-budaya, dan atau kritik sosial untuk menyatakan perlawanan [2 dari 3].

Demikian juga puisi /Sebising Stasiun Itu/, bisa jadi merupakan pilihan tema penyair untuk mewujudkannya menjadi puisi, kemudian dipilihnya menjadi judul puisi. Jika asumsi ini bisa dimaklumi, maka puisi ini layak untuk dinikmati. Beberapa pertimbangan, di antaranya karena mengandung tema yang menarik, penuh misteri, dan bisa menimbulkan tanya, yaitu:

“Bolehkah dalam mengartikan diksi judul /Sebising Stasiun Itu/, dengan cara memperkirakan tema yang terkait tiga kata, yaitu: /Sebising/, Stasiun/, dan /Itu/?, Kemudian menelusuri secara sekilas kenikmatan Puisi tersebut.

Jika dibolehkan, maka secara sekilas penelusuran penikmatan puisi /Sebising Stasiun Itu/, menguarkan aroma misteri, terkait: Surealis, Realisitis, Polisemi, Intertekstual tipis tipis, dan tentu saja makna kata di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), atau pun fenomena alam yang terkait dengan kata yang ada di puisi.

Oleh karena itu semua peralatan pisau bedah penikmatan yang terkait dengan penguaran aroma misteri tersebut perlu digunakan, dengan tujuan agar diperoleh prediksi: makna, logika, dan rasa yang mendekati terkuaknya misteri dari puisi /Sebising Stasiun Itu/ besutan Penyair Sihar Ramses Sakti Simatupang.

Adapun tampilan Puisi /Sebising Stasiun Itu/, seperti di bawah ini [4].

Memindai Judul Puisi “Sebising Stasiun Itu” Sebagai langkah awal untuk membongkar aroma misteri, dan menikmati puisi /Sebising Stasiun Itu/ guritan Penyair Sihar Ramses Sakti Simatupang, akan disusun ulang. Hal ini untuk mempermudah penelusuran: makna, logika, dan rasa puisi.

Penyusunan ulang puisi tersebut menjadi seperti di bawah ini.

/Sebising Stasiun Itu/

daun daun mulai menguning di depan pintu gerbang hauptbahnhof, (1)
bersama sejarah perang, kebebasan dan perdamaian yang terbaring di pojok, (2)
melantai dan mengerang meningkahi suara biola pengamen jalanan: (3)
di tangannya tergenggam koin koin sen dan sedikit uang euro. (4)
melepas para pejalan kaki dengan mata liar; (5)

malam ini semua pengunjung sibuk bertukar busana mimpi, (6)
sibuk berjudi dengan nasib – meski kebanalan telah tertoreh di dinding stasiun, (7)
dengan suara ceracau dan air mata yang mungkin tak terdengar (8)
dan tak akan pernah sampai ke telinga pengunjung yang lain. (9)

udara bacin dengan paduan gelap dan terang. (10)
semacam kesunyian yang selalu hadir dari terowongan luas (11)
dihajar kereta melata (12)
membawa semua resah dan bahagia dunia.(13)

Sebagaimana yang telah disampaikan di atas bahwa Judul Puisi “Sebising Stasiun Itu” terdiri dari tiga kata yaitu: /Sebising/, /Stasiun/, dan /Itu/. Makna, logika, dan rasa dari tiga kata ini bisa menjadi titik pijak permulaan menelusuri kenikmatan puisi.

Kata /Sebising itu/ berasal dari kata bising, yang menurut KBBI, berarti [5]:1 Ramai hingga menyebabkan telinga seperti pekak. 2 Hiruk-pikuk, dan 3 Berasa pada telinga seakan-akan pekak. Sedangkan menurut fenomena alam, bising ditimbulkan oleh suara yang bisa diukur dengan satuan desibel (dB). Bising merupakan suara yang tidak dikehendaki, bisa berasal dari suara manusia, suara alam, maupun suara hasil dari operasional mesin. Pada ukuran tertentu semisal 85 dB, bising ini bisa menyebabkan kerusakan pada pendengaran, semisal menjadi penyebab terjadinya tuli pada manusia [6].

Demikian juga, untuk diksi /stasiun/, menurut KBBI adalah [7]: tempat menunggu bagi calon penumpang kereta api dan atau tempat perhentian kereta api. Sedang diksi/Itu/ adalah kata penunjuk bagi benda yang jauh dari pembicara [8]. Sehingga dengan mengacu pada diksi Judul pada kata /Stasiun Itu/ akan mengundang tanya:

“Stasiun mana ya?”

Bisa dijawab /Stasiun Itu/ dalam arti jawabannya sudah dikunci oleh kata /itu/, bukan kata ini. Sementara itu, di kalimat judul tidak memberikan batasan atau pun penjelasan di stasiun tertentu di mana. Judul puisi ini relatif terbuka untuk diprediksi di stasiun mana, boleh jadi di stasiun mana pun, yang penting masih pada kawasan /Stasiun Itu/.

Bisa jadi ketika melahirkan puisi ini, Sang Penyair tidak berada di lokasi terjadinya bising yang dijadikan standard bising tersebut, alias berada di luar /Stasiun itu/. Sejatinya Sang Penyair sedang berada di mana? Jawabannya masih penuh misteri.Tentu untuk menjawabnya, akan memerlukan langkah pembongkaran misteri dengan menelusuri isi batang tubuh puisi. Meskipun sebenarnya dalam menikmati puisi, si penikmat mempunyai kebebasan untuk menentukan sendiri, di sisi mana, puisi akan dinikmati, dan tidak harus sesuai dengan maksud pikiran Penyairnya [9].

Bisa juga penikmat atau pun pembaca puisi, sekadar menikmati susunan kata, dan suara ketika dibacakan, selayaknya seorang deklamator. Cukup membacakan saja, tanpa perlu repot mengerti: makna, logika, atau pun cita rasa puisi. Hal ini 100% hak penikmat puisi.

Kembali pada kalimat judul /Sebising Stasiun Itu/ bisa dipandang sebagai satu kesatuan utuh, dan pembaca pun akan mengendus adanya kesebandingan, tatkala membaca diksi /Sebising/ yang bermakna level bisingnya dianggap sebagai acuan standard terjadinya fenomena bising. Adapun standard-nya mengacu pada bising yang terjadi di /Stasiun itu/. Subyek apa yang dibandingkan bisingnya dengan obyek pembanding yakni /Stasiun Itu/, tidak disampaikan di judul puisi. Hal ini sebagai akibat dari judul puisi yang patut diduga merupakan kalimat tidak sempurna, dalam arti tidak ada Subyeknya. Dapat dikatakan bahwa judul puisi ini termasuk kategori kesalahan sintaksis yang disengaja oleh Sang Penyair. Kesalahan sintaksis ini dilakukan dengan tujuan agar didapatkan efek yang menarik dari banyak sisi, dan masih menjadi otoritas Penyair [10].

Di sisi lain, seorang penikmat puisi bisa juga melakukan pertanyaan terkait judul puisi, misalnya: “Kira kira dari mana ide lahirnya kosa kata judul /Sebising Stasiun Itu/, apakah murni hasil dari kreativitas Sang Penyair ataukah terilhami dari diksi terdahulu yang terkait judul /Sebising Stasiun Itu/?”.Untuk menjawabnya, di zaman kekinian tinggal melakukan telisik tipis tipis tentang adanya intertekstual dari puisi-puisi yang lain [11]. Melalui mesin pencari yang tersedia di internet, diketahui bahwa kosa kata /sebising/ pernah digunakan oleh lirik lagu, maupun diksi puisi, semisal di:

  1. Lirik Lagu Penyangkalan [12], liriknya /sebising derau/
  2. Judul puisi /Sebising Hati/ [13]

Dari kedua contoh pencarian adanya tanda tanda intertekstual, dapat diketahui bahwa diksi /Sebising/ yang dipakai di judul puisi karya Penyair Sihar Ramses Simatupang, ternyata pernah juga dipakai di lirik lagu, atau judul puisi orang lain, Bagaimana hubungan intertekstualnya, dapat ditelusuri, minimal melalui titi mangsa dari masing-masing diksi tersebut. Namun demikian, kali ini, hanya fokus pada menikmati puisi /Sebising Stasiun Itu/.

Terlepas dari hak-hak seorang penikmat puisi, tentu ada benarnya juga, jika seorang penikmat puisi perlu menelusuri nikmat lanjut puisi. Untuk itu perlu juga bergeser dari judul puisi ke isi batang tubuh puisi, seperti uraian berikut ini.

Menelusuri Batang Tubuh Puisi Sebising Stasiun Itu

Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa langkah awal menikmati puisi /Sebising Stasiun Itu/, dengan cara memberi nomor urut pada bagian yang dipandang sebagai baris puisi. Nomor urut tersebut tertulis dari nomor urut (1) sampai dengan (13).

Untuk baris bernomor urut (1) sampai dengan (5), ditulis ulang menjadi:

daun daun mulai menguning di depan pintu gerbang hauptbahnhof, (1)
bersama sejarah perang, kebebasan dan perdamaian yang terbaring di pojok, (2)
melantai dan mengerang meningkahi suara biola pengamen jalanan: (3)
di tangannya tergenggam koin koin sen dan sedikit uang euro. (4)
melepas para pejalan kaki dengan mata liar; (5)

Baris ke (1) sajak di atas menampilkan kalimat berita yang cenderung realistis apa adanya tentang /daun daun mulai menguning di depan pintu gerbang hauptbahnhof/. Dari mesin pencari di internet didapatkan informasi bahwa hauptbahnhof adalah istilah untuk stasiun besar/utama kereta api yang berada di Eropa, misalnya di kota Berlin – Jerman, yang mirip  dengan Stasiun Kereta Api Gambir di Jakarta [14]. Baris (1) ini juga memberi isyarat bahwa kejadian berlangsung /di depan pintu gerbang hauptbahnhof/ yang bisa diasumsikan di hauptbahnhof Stasiun kereta api Kota Berlin – Jerman. Sehingga penikmat puisi bisa membayangkan adanya tanda-tanda musim gugur telah tiba, yakni /daun daun mulai menguning/, biasanya berlangsung setiap tahun di bulan September, Oktober, dan November. Di baris (1) ini pula, penikmat puisi bisa merasakan bahwa tidak menutup kemungkinan akan hadirnya makna polisemi yang mengandung arti ganda dari seuntai diksi [15], yakni berupa metafora melalui simbol /daun daun mulai menguning/ yang bisa bermakna sudah mulai menua, dan sebentar lagi berguguran, bersiap memasuki musim berikutnya, setelah itu, berganti generasi yang muda perkasa, daun pun kembali bersemi.

Melanjutkan penikmatan ke baris (2) sampai dengan (5) dapat informasi bahwa kejadian  /daun daun mulai menguning/ tersebut, ternyata  /bersama sejarah perang, kebebasan dan perdamaian yang terbaring di pojok (2)/,  /melantai dan mengerang meningkahi suara biola pengamen jalanan: (3)/. di tangannya tergenggam koin koin sen dan sedikit uang euro. (4) melepas para pejalan kaki dengan mata liar;(5).

Baris-baris tersebut berpotensi terjadinya fenomena surealis [16] sekaligus realistis [17], terutama dengan adanya baris ke (2) yang mengabarkan /bersama sejarah perang, kebebasan dan perdamaian yang terbaring di pojok (2), melantai dan mengerang meningkahi suara biola pengamen jalanan: (3)/.

Sejarah, termasuk /sejarah perang, kebebasan dan perdamaian yang terbaring di pojok/ semua berlakunya di masa lalu. Untuk zaman sekarang, sejarah itu berlangsung di pikiran, atau pun di catatan sejarah, bukan di dunia nyata saat ini.

Di sisi lain /sejarah perang/ itu /meningkahi suara biola pengamen jalanan/. Fenomena kabar /suara biola pengamen jalanan/ berpotensi menjadi berita realistis yang ditimpa oleh cerita sejarah yang berlangsung kembali hanya di pikiran. Fenomena surealis bercampur realistis ini cenderung tertuangkan sampai ke baris (9), yaitu /dan tak akan pernah sampai ke telinga pengunjung yang lain.(9)/.

Sedangkan dari baris ke (10) sampai dengan terakhir ke (13) menguarkan aroma realistis, sambil menyembunyikan metafora di pikiran pembaca, sekaligus penikmat puisi. Begini sajaknya: /udara bacin dengan paduan gelap dan terang. (10), semacam kesunyian yang selalu hadir dari terowongan luas (11), dihajar kereta melata (12), membawa semua resah dan bahagia dunia.(13)/.

Metafora tersembunyi ini mampu memantik rasa penasaran, sekaligus mengaduk-aduk logika bahasa, ditambah makna yang kian penuh misteri, ditambah dengan struktur bahasa panjang dengan tanda baca yang tak lazim, semisal : dan atau :. Semua ini masih di ranah otoritas Sang Penyair, mau melahirkan pikiran, dan atau perasaan seperti apa dalam wujud puisi, tiada yang bisa mempengaruhinya, kecuali diri pribadi Sang Penyair!

Dalam puisi ini seolah Penyair berlaku sebagai wartawan menyampaikan berita apa adanya, sekaligus sebagai sejarawan yang mengungkap fakta sejarah, sambil tak lupa menyisipkan misteri bagai penyair yang sedang meracau karena menjiwai setiap kata. Di sini terendus adanya letak kepiawaian Sang Penyair, sekaligus kedahsyatan Puisi /Sebising Stasiun Itu/.

Selamat berpuisi, dan teruslah berpuis!

Daftar Pustaka

  1. Sihar Ramses Sakti Simatupang, 2025, Bionarasi,Majalah Pojok Tim, Volume 1/2025
  2. Maman S. Mahayana, 2025, Puisi-Puisi Roket yang Unik, mbludus.com https://mbludus.com/puisi-puisi-roket-yang-unik/
  3. Maman S. Mahayana, 2025, Puisi-Puisi Roket yang Unik”, Ulasan Pengantar Buku Kumpulan Puisi “Roket Bersarung Menjelajah Dirgantara, Hyang Pustaka, Cirebon
  4. Sihar Ramses Sakti Simatupang, 2025, Puisi /Sebising Stasiun Itu/ , Majalah Pojok Tim, Volume 1/2025
  5. —, Arti bising, KBBI; https://kbbi.web.id/bising
  6. Rara Marisdayana, Suhartono, Nurjazuli, 2016, Hubungan Intensitas paparan Bising dan Masa Kerja dengan Gangguan Pendengaran Pada Karyawan PT. X, Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia
  7. —, Artistasiun, kbbi; https://kbbi.web.id/stasiun
  8. —, Artiitu, kbbi; https://kbbi.web.id/itu
  9. Fadhil Rafi’ Uddin, 2019, Rahim Ayat, Sebagai Umat Saya Menggugat, Genta FKIP Universitas Jambi, 22 November 2019, https://genta.fkip.unja.ac.id/2019/11/22/rahim-ayat-sebagai-umat-saya-menggugat/
  10. Dra Henilia, M.Hum, 2021, Penyimpangan Bahasa Dalam Sebuah Puisi, Juripol, Volume 4 Nomor 2 September 2021, Jurnal Insitusi Politeknik Ganesha Medan
  11. Sari Wahyu Utami, 2017, Analisis Intertekstual Puisi Berjudul Dans L’ombre (1870)Karya Victor Hugo Dan Puisi Berjudul Le Déluge (1874) Karya Louise Ackermann, Skrisi Program Studi Pendidikan Bahasa Prancis Fakultas Bahasa Dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta, http://eprints.uny.ac.id/51120/1/SKRIPSI%20%20SARI.pdf
  12. Nika Afriliam 2024,2024, Arti Lagu Penyangkalan For Revenge, Lirik: Sesunyi Rumah yang Kuhuni Sebising Derau di Ujung Hari, TribunPadang.com https://padang.tribunnews.com/2024/10/19/arti-lagu-penyangkalan-for-revenge-lirik-sesunyi-rumah-yang-kuhuni-sebising-derau-di-ujung-hari.
  13. Narani_ink, —, Sebising hati, Wattpad App, https://www.wattpad.com/amp/793898074
  14. —, 2012, Membandingkan Gambir dan Berlin Hauptbahnhof, Detikcom https://travel.detik.com/destination/d-1973035/membandingkan-gambir-dan-berlin-hauptbahnhof.
  15. Regina Riamoriska Kolin, I Putu Dewa Wijana, 2025, Polisemi Leksem Heart: Kajian Semantik, Jurnal Pendidikan Indonesia, p-ISSN : 2745-7141 e-ISSN : 2746-1920 Vol. 6 No. 4 April 2025
  16. —, —, Pengertian Surealisme: Sejarah, Unsur, Ciri Jenis, dan Tokohnya, Gramedia Blog https://www.gramedia.com/literasi/pengertian-surealisme/
  17. Asria Fera Nurnazilia, Humairah Zahrah Nasution, Rahmawati, 2022, Analisis Makna Pada Puisi “Percakapan Malam Hujan” Karya Sapardi Djoko Damono Dengan Menggunakan Pendekatan Mimetik,JURRIBAH Vol 1 No. 1 April 2022| pISSN: 2829-0151, eISSN: 2829-0143Jurnal Bahasa, Sastra, Budaya, dan Pengajarannya (Protasis), Amik Veteran Porwokerto

 

Rumpin, Agustus 2025
Penulis: Atik Bintoro biasa dipanggil Kek Atek.
Penikmat Puisi, sekaligus Pegiat Dapoer Sastra Tjisaoek.
Tinggal di Rumpin, Kab. Bogor, Jawa Barat, Indonesia.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *