Oleh Atik Bintoro

Profil Singkat Penyair Maman S. Mahayana

Biodata Penyair di buku Puisi puisi Maman S. Mahayana “JEJAK SEOUL”, dituliskan antara lain bahwa [1]: Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, Indonesia, pada tanggal 18 Agustus 1957.

Dia termasuk satu di antara penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005).

Kang Maman -demikian panggilan akrab Penyair Maman S. Mahayana dari sahabat sastra Indonesia- menyelesaikan pendidikan di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986. Sejak saat itu dia mengajar di almamater yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya – Universitas Indonesia (FIB-UI). Dia pun pernah mengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, di kota Seoul – Korea Selatan.

Maman S. Mahayana adalah seorang Kritikus sastra kenamaan Nasional Indonesia, sekaligus Penyair, dan penulis kondang. Kang Maman telah menerbitkan beberapa buku tentang: kritik sastra, puisi, esai, atau pun karya tulis ilmiah hasil penelitian. Karyanya banyak berserak di ranah media sastra Indonesia, bahkan telah tersedia di toko buku Online.

Adapun beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000).

Sekilas Tentang Buku /Puisi-Puisi Maman S. Mahayana “Jejak Seoul”/

Buku puisi Penyair Maman S. Mahayana berjudul “Puisi puisi Maman S. Mahayana, JEJAK SEOUL” terbit pada tahun 2016, Penerbit: Kosa Kata – Jakarta, ISBN : 9786028966948. Dalam artikel ini, selanjutnya buku puisi tersebut ditulis sebagai buku puisi  “JEJAK SEOUL”.

Buku puisi “JEJAK SEOUL” terdiri dari tiga bagian, yaitu:

JEJAK YANG BERSERAK

Bagian ini berisi 32 judul puisi.

LANGKAH MUSIM

Di bagian ini mengandung 46 judul puisi.

PERJALANAN PANJANG

Di bagian ini ditayangkan 13 Judul.puisi.

Pada kesempatan ini, Penulis sebagai penikmat puisi akan menikmati satu di antara puisi puisi yang ada di buku tersebut, yakni puisi yang relatif paling pendek dibandingkan dengan puisi puisi yang lain di buku ini. Puisi yang dimaksud adalah puisi yang ditayangkan di bagian pertama Jejak Yang Berserak, yaitu: Puisi nomor 17, Halaman ke 32, berjudul Pulang, seperti di bawah ini.

Pengertian kata pulang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah [2]: pergi ke rumah atau ke tempat asalnya. Dari judul puisi /Pulang/ dapat diendus adanya potensi tindakan yang akan mengaromai bait, dan atau baris puisi, dengan aroma yang bisa bikin penasaran, terutama terkait diksi Pulang.

Benarkah demikian?

Untuk mendapatkan jawabannya, mari memasuki pintu gerbang batang tubuh puisi. Ternyata di batang tubuh puisi ditemukan satu bait saja, sekaligus sebagai baris puisi yang cenderung bergaya pertanyaan adalah jawaban [3].

Untuk memperlancar penikmatan, puisi Pulang disusun menjadi satu bait saja, dan berisi dua baris, yakni:

PULANG

1.
Ke mana kau akan pulang, (1)
Jika hatimu tertinggal? (2)

Seoul, 1 Oktober 2012

Bait (1), menayangkan tokoh lirik (kau) di baris (1), dan /mu/ di baris (2). Tokoh lirik /kau/ dan /mu/ ini cenderung menjadi obyek atau sasaran pertanyaan dari Si Penanya yang masih abstrak, sehingga timbul pertanyaan misteri:

“Siapakah yang bertindak sebagai Si Penanya yang masih abstrak ini?”

Agar bisa menguak misteri jawaban, sepertinya si penikmat puisi perlu menelusuri bait 1 dan baris (1).

Di bait (1) ada diksi pertanyaan /kemana/? 

Pertanyaan ini bisa memberikan efek prediksi pada penikmat untuk memancing tawaran kenikmatan dari sisi kalimat tanya yang sebenarnya tidak perlu jawaban. Untuk orang yang terlibat pada penggunaan kalimat tanya biasanya terdiri dari: Si Penanya, dan Orang yang menerima pertanyaan.

Yang bertanya siapa, dan yang ditanya juga siapa?

Di puisi ini, keduanya masih abstrak, masih perlu ditelusuri lebih lanjut. Meskipun demikian, jika di dunia nyata, boleh-boleh saja berkomentar, misal dengan mengatakan bahwa Si Penanya cenderung menggunakan gaya komunikasi gaslighting, yakni ngegass dulu, untuk mencegah orang lain salting (salah tingkah), atau sebelum disodorkan jawaban yang tepat [4]. Komunikasi bergaya gaslighting ini bertujuan agar menimbulkan kesan bahwa Si Penanya seolah olah menjadi kurban atas tindakan lawan bicara, padahal lawan bicaralah yang justru menjadi kirban. Misalnya dalam kasus rencana sesuai judul puisi yaitu /Pulang/. Sepertinya mungkin Si Penanya yang masih abstrak itu, sejatinya belum ingin pulang, karena alasan yang tidak disampaikan di bait puisi. Sehingga dengan mengajukan pertanyaan seperti itu, keinginan ini tidak tampak benar, alias tersamarkan.

Atau bisa juga karena Si Penanya abstrak ingin mengikuti cara pemenangan dalam berdebat, yakni siapa yang bertanya terakhir, kemungkinan akan berpotensi keluar sebagai pemenang debat. Hal ini dicapai dengan cara memanfaatkan metode Socrates, yaitu membimbing lawan debat agar mengikuti kesimpulan yang diinginkannya, misal melalui pertanyaan yang tampaknya netral, tetapi justru mengarahkan

Si Penerima pertanyaan agar setuju dengan kesimpulan yang diinginkan oleh Si Penanya [5].

Dugaan komunikasi bergaya sebagai kurban menggunakan cara gaslighting dan atau pemenangan debat metode Socrates ini, akan semakin terasa, ketika penikmat puisi mulai membaca bait 1, baris (2).

Dari sini juga berpotensi timbul retorika melalui baris (2) yang diawali dengan kata konjungsi /jika/.

Kata konjungsi /jika/ ini pun berpotensi memperkuat kesan, bahwa Si Penanya masih berkeinginan belum akan pulang. Apalagi bila dilihat di bawah baris terakhir terdapat angka tahun yaitu tahun 2012, patut diduga bahwa angka ini adalah titi mangsa tahun lahir puisi. Tentu tahun ini sudah melewati masa awal internet masuk ke Indonesia, yaitu sekitar tahun 1994 [6].

Artinya Penyair yang melahirkan puisi sudah berpotensi mulai paham internet, karena mungkin sudah dapat informasi bahwa di tahun 2012 itu, internet sudah mewarnai berbagai macam kehidupan, termasuk di bidang sastra. Bahkan di tahun-tahun sebelumnya sudah ramai lancar adanya sastra millis internet; sebut saja yang pernah Penulis ikuti, yaitu: Millis Sastra Bunga Matahari (BuMa) di Yahoo! Groups yang dikawal oleh Grati Agusti Chananyarompas [7], ada juga semacam platform Group di internet yang bisa berinteraksi sesama anggota, semisal laman kemudian.com yang sudah tidak aktif lagi sejak 2019, dan tentu masih banyak lagi group sastra internet yang digawangi oleh admin di dalam negeri, maupun di luar negeri. Yang di luar negeri seperti Group Kapasitor dari Malaysia, dan Group Writescafe dari Eropa.

Melalui jaringan internet, semua terasa begitu mudah untuk bisa berinteraksi antar sesama anggota di dalam pemanfaatan platform internet. Sesama anggota bisa saling berkirim karya sastra, memberi komentar, dan sekaligus bisa mengunggah essay sastra, atau topik yang lain.

Benar-benar dengan mulai adanya internet, dunia sudah berpotensi tidak mengenal batas: ruang, waktu, dan peristiwa. Semua bisa menjadi warga dunia baru yaitu sebagai warga internet/Warganet/Netizen.

Jika sudah demikian, mestinya Penyair atau pun Si Penanya abstrak yang menulis di tahun-tahun setelah kemunculan internet, tidak lagi gamang atas pertanyaan /kemana akan pulang/, sebab melalui internet, sejatinya kepulangan itu sudah beralih dari rumah fisik ke rumah pikiran. Pikiranlah yang tidak lagi tergantung pada: ruang, waktu, dan peristiwa. Internet bisa menyambungkan rumah pikiran dengan si pemilik pikiran dalam bentuk: aksara, angka, gambar, suara, atau pun dalam bentuk lain. Hal ini bisa dilakukan: di manapun, kapan pun, dan dalam peristiwa apa pun.

Pikiran mampu menerobos serta melompat dari satu ruang ke ruang berikutnya, bahkan secara paralel bisa memasuki dua ruang berbeda atau lebih pada saat yang hampir sama. Demikian juga terkait waktu, pikiran bisa memasuki: waktu masa lalu, masa sekarang, dan mengandaikan masa yang akan datang.

Begitu juga peristiwa, pikiran akan sanggup menjelajah peristiwa, bahkan mampu melahirkan dan menghapus peristiwa masa lalu di dalam pikiran.

Maka tidak heran jika pikiran pun akan siap menerima kepulangan si pemilik pikiran, sebagaimana ungkapan yang sering terdengar di tengah masyarakat, bahwa semua berpulang pada pikiran masing-masing. Jadi dengan demikian dapat dipahami bahwa rumah sejati itu adalah pikiran; lebih-lebih ketika sudah berada di zaman internet seperti di masa kekinian ini.

Benarkah demikian?

Untuk menjawab pertanyaan ini, penikmat puisi meneruskan penikmatannya ke baris (2).

Ternyata di baris ke dua, Si Penanya abstrak justru menuliskan:

/Jika hatimu tertinggal? (2)/

atau sajak lengkapnya adalah:

/Ke mana kau akan pulang, (1)
Jika hatimu tertinggal? (2)/

Dari bait (2) diketahui bahwa Si Penanya abstrak memilih menggunakan diksi /hati/ dari pada diksi pikiran.

Kira-kira apa bedanya hati dan pikiran?

Pikiran merupakan hasil kerja otak, di antaranya melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) beserta turunannya. Iptek ini bisa bermanfaat di dalam membantu memudahkan hidup dan kehidupan manusia.

Sedangkan hasil kerja hati berupa perasaan. Di sisi lain, Hati (Liver) juga berarti organ dalam tubuh manusia yang berfungsi, di antaranya sebagai pembersih darah dari racun, agar aman untuk tubuh [8]. Darah membawa sari-sari makanan dan minuman yang berasal dari makanan dan minuman yang masuk ke tubuh; dimasukkan oleh manusia itu sendiri, dan atau disuapkan oleh orang lain.

Sari-sari makanan yang sudah aman tersebut, selanjutnya mengalir dipompa oleh jantung, kemudian beredar ke seluruh tubuh.

Ada pun hati yang melahirkan perasaan dikenal juga sebagai heart/jantung dalam bahasa Inggris, atau qolbu dalam bahasa Arab. Ketiganya mempunyai makna mirip yang mengacu pada perasaan [9].

Hati yang melahirkan perasaan ini terdiri dari dua jenis yaitu: Hati Sanubari, dan Hati Nurani.

  • Hati Sanubari

Penelusuran istilah sanubari adalah sebagai berikut [10]: istilah sanubari diyakini pertama kali dikenalkan oleh para santri nusantara pembelajar kitab Ihya Ulumuddin karya Syeh Imam Al-Ghazali pada abad ke 12. Kata sanubari berasal dari kata “shanaubar”dalam bahasa Arab yang berarti “kerucut pinus.”

Syeh Imam Al-Ghazali menyitir istilah ini dari uraian Ibnu Sina, di kitab Al-Qanun fi Al-Tibb, kitab klasik kedokteran karya Ibnu Sina. Namun jika ditelusuri lagi, ternyata Ibnu Sina juga mengutip dari ahli kedokteran Yunani kuno bernama Galenus yang hidup di abad ke 2. Galenus menyatakan bahwa bentuk jantung manusia seperti kerucut pinus. Gambar kerucut pinus ❤ ini pun pada gilirannya menjadi simbol jantung di masyarakat Eropa.

Pada akhirnya istilah sanubari berkembang menjadi Hati Sanubari, yang bermakna penggambaran perasaan lebih luas dan lebih universal, dalam arti belum tercampuri oleh paham keyakinan tertentu. Misalnya jika seseorang merasa lapar dan haus, maka dia pun akan segera berusaha mendapatkan makanan dan minuman. Demikian juga jika melihat ada orang terdzolimi, dia pun segera tergugah rasa untuk menolong, dan membantu orang tersebut dari tindakan dzolim, apapun paham keyakinannya.

  • Hati Nurani

Kata nurani berasal dari bahasa Arab yang berarti cahaya [11]. Sumber cahaya bisa berasal dari keyakinan agama dan kepercayaan masing masing, atau pun tradisi dan akal sehat yang berlaku pada ranah budaya suatu bangsa. Kadang bisa berbeda dalam implementasi perasaan, atau pun persepsi masing masing, meskipun sama sama berpedoman pada perasaan yang berasal dari keyakinan yang terkait dengan rasa Hati Nurani bagi setiap orang. Di Indonesia sudah dipayungi oleh khasanah nilai budaya nasional dalam bentuk Bhineka Tunggal Ika: Berbeda-beda tetapi tetap satu juga. Oleh karena itu, ranah perwujudan rasa dari Hati Nurani ini, diharapkan terjadi: moderasi, toleransi, dan saling menghargai; ketika seseorang dan atau beberapa orang menyatakan rasa Hati Nuraninya di hadapan orang lain, yang mungkin beragam nilai atau pun warna perasaannya;

Penggunaan kata Hati sanubari, dan atau Hati nurani di tengah masyarakat luas seringkali tidak dipisahkan, keduanya dipakai dengan istilah hati, saja. Artinya apabila menemukan diksi hati, yang dimaksud bisa berarti Hati Sanubari sekaligus Hati Nurani.

Oleh karena itu, dari uraian di atas, diketahui bahwa otak berakal sehat menghasilkan pikiran; sementara hati melahirkan perasaan. Jika keduanya terlatih bisa sinergi sekaligus berkolaborasi, maka tidak menutup kemungkinan akan melahirkan prediksi estimasi ke masa depan, atau pun bisa mengetahui peristiwa sebelum kejadian, artinya bisa bertansportasi lintas: ruang, waktu, dan peristiwa; baik melalui ranah iptek, maupun media rasa.

Kembali pada sajak: /Ke mana kau akan pulang, (1), Jika hatimu tertinggal? (2)/, sudah selayaknyalah Si Penanya abstrak tidak perlu gamang, dan juga tidak perlu bergaya gaslighting, apalagi menggunakan metode Socrates dalam pemenangan debat; cukup kembalikan saja ke akal sehat, dan perasaan di hati.

Melalui pikiran dan perasaan akan berpotensi segera diketahui bahwa pada saat ini, dan mungkin pada masa yang akan datang, bahwa pembelahan: ruang, waktu, dan peristiwa; cenderung sudah tidak ada lagi, semua tembus oleh kemajuan iptek, terutama dunia online: semua orang bisa pulang: kemana pun, kapan pun, dan dalam peristiwa apa pun. Minimal berpulang pada pikiran dan perasaan masing-masing.

Demikian juga, melalui keduanya akan mendapatkan jawaban bahwa siapa Si Penanya abstrak, dan Siapa pula Si Penerima pertanyaan yang berperan menjadi sasaran pertanyaan sebagai tokoh lirik /kau/, dan /mu/, kemungkinan tidak lain adalah diri sendiri yang menjadi Si Penanya sekaligus sebagai Si Penerima pertanyaan. Hal ini bisa berupa potret dari Sang Penyair, dan atau kisah orang lain yang diabadikan oleh Penyair dalam wujud monumen puisi.

Di sisi lain masih ada diksi /tertinggal/ di baris (2). Diksi ini bisa memperluas penikmatan puisi dengan cara memperhatikan rasa dan aromanya di rangkaian sajak: /Jika hatimu tertinggal? (2)/. Menurut KBBI diksi /tertinggal/ merupakan kata kerja yang mempunyai arti ditinggalkan, atau tercecer [12]. Dari makna ini, penikmat puisi dapat membayangkan tokoh lirik /mu/ sedang dikawatirkan oleh Si Penanya bahwa hatinya tertinggal atau tercecer: entah dimana, kapan, dan dalam peristiwa apa. Rasa dan aroma diksinya mulai menguar ke berbagai kelindan rasa, logika, dan makna sekaligus!

Benarkah yang demikian itu?

Sekali lagi semua berpulang pada pikiran dan perasaan masing masing.

Selamat berpuisi, dan Teruslah berpuisi!

 

Daftar Pustaka

  1. Maman S. Mahayana, 2016, Puisi-puisi Maman S. Mahayana “Jejak Seoul”, Kosa Kata Kita, Jakarta
  2. –, —, Arti Kata Pulang, https://kbbi.web.id/pulang
  3. ALLAN PEASE, Questions Are the Answer(edisi terjemahan: Pertanyaan Merupakan Jawaban), 2002, Network Tweenty One Indonesia
  4. Sevilla Nouval, —, Memahami Gaslighting dan Contoh Perilakunya yang Paling Umum!, Gramedia.com ttps://www.gramedia.com/literasi/gaslighting/ srsltid=AfmBOoqLUQPgmK8Tbw6edH6zf3fFZNunQqSRU5pmglegcxXpDr6788Ix#google_vignette
  5. Mellyna Putri Diniar, 2024, Taklukkan Setiap Debat: 6 Trik Psikologis Rahasia untuk Memenangkan Argumen dan Memengaruhi Orang Lain, JawaPos.com https://www.jawapos.com/lifestyle/015037129/taklukkan-setiap-debat-6-trik-psikologis-rahasia-untuk-memenangkan-argumen-dan-memengaruhi-orang-lain
  6. Meilani Teniwu, 2022, Sejarah Internet, Kapan Mulai Masuk Indonesia?, Media Indonesia https://mediaindonesia.com/teknologi/531578/sejarah-internet-kapan-mulai-masuk-indonesia
  7. —, –, Sejarah BungaMatahari: 2000 – 2012, Komunitas Bunga Matahari https://komunitasbuma.com/kegiatan-kami/sejarah-bungamatahari-2000-2012/
  8. dr. Fadhli Rizal Makarim, 2024, Kenali 10 Fungsi Hati untuk Kesehatan Tubuh, halodoc https://www.halodoc.com/artikel/kenali-10-fungsi-hati-untuk-kesehatan-tubuh?srsltid=AfmBOopKZapCjxDTmqkBkPGlBwHHgodwZ7Og1sRESp_RrqTaG0KGxagG
  9. Zahra Aini Muthmainnah, 2024, Pemahaman Qalbu Pada Hadis Imam Al-Bukhari N0.52 dan Pengaruhnya Terhadap Kesehatan Mental, Dirayah : Jurnal Ilmu Hadis P-ISSN : 2746-1203, E-ISSN: 2746-119X
  10. Sawyer Martin French, 2020, Dari Mana Kata Sanubari Mulai Masuk ke dalam Bahasa Indonesia?, Bincang Syariah https://bincangsyariah.com/khazanah/dari-mana-kata-sanubari-dalam-bahasa-indonesia-berasal/
  11. Sukron Abdilah, 2013,Memegang Teguh Hati Nurani, Republika       https://khazanah.republika.co.id/berita/mpr9jh/memegang-teguh-hati-nurani
  12. —, –, Arti kata tertinggal, Kamus Besar Bahasa Indonesia, https://kbbi.web.id/tinggal

 

Penulis: Atik Bintoro atau sering dikenal sebagai Kek Atek.
Penikmat Puisi tinggal di Rumpin, Kab. Bogor, Jawa Barat, Indonesia.
Pegiat Komunitas Dapoer Sastra Tjisaoek.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *