Sering kali setiap penyair tahu bahwa puisi adalah dunia lain dari kehidupan ini, dunia tersendiri, yakni dunia hasil khayal yang tidak ada kaitannya dengan realitas. Meskipun sumber idenya dari realitas, puisi tidak harus merujuk pada realitas yang menginspirasi itu. Namun, tidak bisa dipungkiri puisi sedikit banyaknya bisa merujuk pada realitas atau pada seseorang yang nyata, seperti puisi di bawah ini. Selamat membaca. (redaksi)

Tiga Kesedihan
Buat Arista

Maut sebagai suara dan kata yang paling dekat dengan kita selain diriNya
Garis nasib menorehkan khayal, juga berkalang samsara hati; barangkali
Aku tak tau; apa benar kebahagian adalah isyarat yang dikirim dari syurga oleh Bapa
Dan kesedihan ialah nyanyian bidadari yang terkubur sepinya bumi? Aku tak percaya

Bahkan apabila cinta menyentuh pelipisku, mataku takkan menyala terpejat pada parasmu yang mengenalkanku pada beberapa buah puisi yang dulu pernah kuziarahi

Ris, meski malam yang biru mampu mengubur kesedihanmu; aku tak pernah mempercayai keduanya. Sebab bintang dan awan adalah oase yang sedih, berjajar meninggi agar tangisnya tak terdengar lagi

2021

Paramita

Cinta yang terus memanjang seperti bayang-bayang. Sebelum tiba subuh yang tasbih
Tentang janji suci yang tergencet, ternoda rasa bimbang. Sebelum cahaya terampas malam-malam ganas
Jika engkau mengalir ke sungai-sungai kecil. Ajaklah aku agar kau tak sendiri. Ajaklah aku agar langit tak bisa membawa ku, selama-lamanya
Tentang wajah matahari buritan yang membiarkan laut bercinta dengan senjakala
Aku ingin menyusuri cemara di sana, dengan atau tanpa sesiapa. Barang sejenak saja

2021

Mengitari Tubuhmu
Ika Nur Setianingrum

Mengitari tubuhmu
Betapa harum kurasa. Udara sekitarnya seperti taman bunga, tubuhmu kebun anggur segar yang sedia menemui tuannya
Tiap jengkal tubuhmu menyimpan selaksa cahaya yang sewaktu-waktu dapat menyembur keluar dan menyihir jutaan mata
Kesunyian adalah jubah yang kau kenakan, perisai besi yang menghalau badai topan pergi

2021

Hisyam billya al-wajdi lahir di Yogyakarta, 11 februari 2002. Penulis mempelajari filsafat secara formal selama dua semester di UIN Sunankalijaga kemudian berhenti dan melanjutkan studi di Universitas Negeri Yogyakarta dengan mengambil Pendidikan Kewarganegaraan. Puisinya dimuat dalam berbagai antologi dan media baik cetak maupun online. Kini tengah menyibukkan diri merintis bisnis di kampung halaman.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *