Mengenal Gurindam

Maman S Mahayana

Gurindam secara umum, semula dipahami sebagai dua baris perkataan yang menjadi peribahasa atau pepatah. Mengingat pesan yang dikandungnya berisi nasihat atau peringatan, maka dalam  masyara­kat Melayu, gurindam sering dianggap sejenis dengan kata mutiara. Ia ditulis di halaman buku atau ditempel di dinding sebagai penghias. Kadang kala diucapkan oleh para tetua desa pada acara-acara tertentu sebagai nasihat atau peringatan. Mereka menganggap bahwa nasihat seperti itu sebagai sesuatu yang patut disampaikan dan diresapi pendengarnya. Perhatikan contoh gurindam berikut ini:

Kurang pikir kurang siasat,

Tentu dirimu kelak tersesat.

Kalau mulut tajam dan kasar,

Boleh ditimpa bahaya besar.

Bagi masyarakat Melayu khususnya, kedua gurindam itu niscaya sudah tidak asing lagi. Banyak di antara anggota masyarakat yang sengaja membuat gurindam sekadar untuk memberi nasihat atau peringatan kepada orang lain. Ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak hanya sudah akrab dengan jenis puisi ini, tetapi juga sangat peduli pada sesamanya, yang diwujudkan dengan sikap saling menasi­hati. Itulah sebabnya, betapapun syair dan pantun pada mulanya lebih dikenal luas, gurindam tetap saja banyak ditulis atau diucapkan sebagai salah satu sarana untuk menyampaikan nasihat.

[iklan]

“Pamor” gurindam kemudian meningkat dan boleh dikatakan sejajar dengan pantun atau syair, setelah Raja Ali Haji memperke­nalkan karyanya Gurindam Dua Belas. Orang pun lalu lebih banyak mengutip karya Raja Ali Haji itu dalam menyampaikan nasihatnya. Sedangkan tradisi penulisan gurindam sejak Raja Ali Haji, tidak banyak diketahui, bagaimana perkembangannya. Apakah sampai kini gurindam masih ditulis orang atau tidak, juga sulit untuk menja­wabnya. Yang pasti, Gurindam Dua Belas masih tetap dibaca orang dan diteliti oleh para sarjana berbagai bangsa.

***

Gurindam berasal dari bahasa Sansekerta. Namun ada juga yang  berpendapat berasal dari bahasa Tamil. Yang menjadi ciri  khasnya adalah  bentuknya yang terdiri dari dua larik (baris) yang rima akhirnya sama. Larik pertama berupa isyarat, peringatan atau semacam soal, dan larik kedua berupa akibat atau jawabannya.

Lalu, apa yang sesungguhnya disebut gurindam? Wilkinson, seorang sarjana Inggris, menyebut gurindam sebagai “sesuatu pepatah berangkap yang disebutkan berpadan dengan tempatnya” Sedangkan Van Ronkel, sarjana Belanda menyebut gurindam sebagai spreukdicht (seloka). Sebenarnya, masih banyak definisi yang dikemukakan para sarjana. Namun, yang paling mula membuat definisi mengenai gurin­dam adalah Raja Ali Haji (1809-1870); Pujangga Riau yang terkenal dengan karyanya Gurindam Dua Belas.

Menurut Raja Ali Haji, “gurindam adalah perkataan yang bersajak pada akhir pasangannya (:rima akhir), tetapi sempurna perkataannya dengan syarat dan sajak yang kedua itu seperti  jawab.” Dalam hal ini, berapa jumlah kata dalam setiap barisnya, tak dipersoalkan. Yang penting adalah kesamaan rima akhir. Jadi, jika dikatakan “bersajak pada akhir pasangannya,” ini berarti setiap pasangannya itu terdiri dari dua baris. Baris pertama  sebagai syarat dan baris yang kedua sebagai akibat atau jawabannya.

Adapun dalam setiap baitnya, yang oleh Raja Ali Haji disebut sebagai Fasal, tidak pula dikatakan jumlah barisnya. Jadi seperti juga jumlah kata dalam setiap barisnya, jumlah baris dalam setiap pasalnya (bait) pun, tak ada ketentuannya yang pasti. Dengan perkataan lain, satu rangkap gurindam hanya terdapat dua baris, dan tidak empat baris, seperti pantun atau syair.

Walaupun begitu, mengenai jumlah kata dalam setiap  barisnya kebanyakan terdiri atas empat atau lima kata. Tetapi, sering pula tidak terikat oleh jumlah kata, karena kesamaan rima akhirnya itulah yang diutamakan. Karena tidak adanya keseragaman mengenai jumlah kata dalam setiap barisnya, tidak seperti pantun atau syair, maka definisi yang kemukakan sebagian besar sarjana menyebut gurindam sebagai bentuk puisi lama yang tidak tetap ukuran jumlah kata dan jumlah barisnya. Perhatikan gurindam berikut  ini yang diambil dari Gurindam Dua Belas karya Raja Ali:

Pasal Kesepuluh:          Pasal Kesebelas:

Dengan bapa jangan durhaka   

Hendaklah berjasa

Supaya Allah tidak murka                           

Kepada yang sebangsa

Dengan ibu hendaklah hormat

Hendaklah jadi kepala

Supaya badan dapat selamat                         

Buang perangai yang cela

Dengan anak janganlah alpa                 

Hendaklah memegang amanat

Supaya malu jangan menimpa           

Buanglah khianat

Dengan kawan hendaklah adil             

Hendaklah mulai

Supaya tangan jadi kepil                         

Jangan melalui

***

Dari  hampir semua gurindam yang ada, yang menonjol adalah pesan yang terkadung dalam nasihatnya. Sebagian besar menyangkut ajaran agama, etika, moral dan adat, baik yang disampaikan secara langsung, maupun secara kiasan. Mengingat nasihat-nasihat yang disampaikannya menyangkut peri kehidupan manusia di dunia ini, maka selama manusia mempunyai penyakit akhlak dalam batinnya, selama itu pula nasihatnya akan tetap relevan sesuai dengan perkembangan zaman.

Demikianlah, sungguh pun sekarang ini, gurindam lebih banyak dibicarakan sebagai pengetahuan mengenai kesusastraan Melayu klasik, nasihat-nasihat yang dikandungnya perlulah menjadi bahan renungan kita agar kehidupan kita di dunia ini, tetap sejalan dengan ajaran agama, sesuai dengan etika yang berlaku, serta tetap menjunjung tinggi moral kemanusiaan. Maka, tidaklah mubazir  jika kita masih terus mau menyimak dan meresapi kedalaman  nasihat-nasihat dalam karya sastra lama itu.

Sebagai penutup, renungkanlah perkataan Raja Ali Haji  berikut ini: “Hati itu kerajaan di dalam tubuh/ jikalau zalim segala anggota pun rubuh.”

 

Tulisan ini telah dibukukan di buku Jalan Puisi, Dari Nusantara ke Negeri Poci

Maman S Mahayana, Kritikus Sastra Indonesia dan Staf Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya UI

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *