Membaca Kearifan Wawan
Eka Budianta

“Kelaparan selalu membawa keperihan. Kekenyangan selalu membawa kemualan, lapar dan kenyang adalah penderitaan, miskin dan kaya hanya sebuah renungan.”

Senang sekali saya membaca dan menulis pengantar untuk kumpulan puisi Wawan Hamzah Arfan ini. Ada tiga hal yang menggembirakan dan satu hal yang menyedihkan. Pertama, puisi puisi ini ditulis dalam rentang waktu yang cukup panjang. Lebih dari 30 tahun.

Kami bersahabat sejak akhir 1980-an. Saya pernah berkunjung ke rumahnya di Cirebon, ketika cuti sebagai wartawan BBC World Service (1988-1991). Wawan langsung menyelenggarakan pembacaan puisi. Sekitar 30 orang datang ke rumahnya, mungkin karena tertarik mendengar saya datang langsung dari London. Yang jelas pertemuan hari itu memberi saya kenangan indah dan berharga.

Maka, ketika saya menerima puisi-puisi ini, rasanya seperti mendapat harta karun yang besar. Kedua, ternyata dalam rentang waktu yang panjang itu, Wawan menabung kearifan. Satu contohnya adalah kutipan yang saya sampaikan untuk membuka pengantar ini. Wawan memberi kita opini yang cukup bijak, bahwa “lapar dan kenyang adalah penderitaan/ miskin dan kaya hanya sebuah renungan.”

Hal ketiga yang menggembirakan adalah cinta Wawan terhadap kehidupan tetap berkobar. Saya teringat Wawan datang ke Jakarta, dan mampir ke rumah kami di Bintaro, pada awal 1990-an. Saya mengengenalnya sebagai pemuda yang ceria, penuh vitalitas dan tidak takut pada kesulitan. Sekadar informasi, tidak mudah mencari tempat tinggal kami. Kala itu, sopir taksi pun malas kalau diminta mengantar ke pelosok Jakarta Selatan.

Bagusnya, semangat dan keuletan Wawan itu senantiasa terasa pada saat kita membaca puisi-puisinya. Kalau tidak, mana mungkin ia ikut dalam serial Kebangkitan Nusantara, dari jilid pertama Wawan sampat ketiga! Itu terjadi 1994 hinga 1996. Selanjutnya, Wawan juga ikut menulis Cinta Mengubah Segalanya serta antologi Puisi Menolak Korupsi (2013).

Semangat yang selalu berkobar itu membuat saya banga. Wawan seorang yang berjiwa setia, melindungi dan menghargai masa lalu. Hal itu sangat jelas, kalau kita melihat rekam jejakma sebagai guru bahasa Indonesia. Ia menggunakan kliping, kumpulan artikel baru dan lama untuk memperkaya diskusi. Kalau kita cermat, pandangan hidup yang sangat dewasa itu juga tercermin dalam puisinya:

sendiri aku melebur waktu
pada ruang tak bernyawa
pada jam bicara
yang selalu memperhitungkan suara
bualan-bualan surat kabar hari ini

Sebagai penyair dan magister dalam bidang manajemen pendidikan, Wawan cukup piawai berbagi kebijaksanaan. Itulah hal ketiga yang bisa saya banggakan dan membuat saya bahagia. Tetapi saya perlu mencatat juga kekecewaan kecil yang tidak mungkin disembunyikan.

Saya kurang suka dengan judul buku “Perjalanan Berkarat” ini. Maklum, keyakinan saya masih terpaku pada idola zaman dulu. Saya diajar meyakini bahwa kuda yang paling kuat adalah yang telah menempuh perjalanan paling jauh. Jadi, kalau pun Wawan membayangkan dirinya sebagai mobil, kapal atau pesawat terbang, saya pikir ia tidak perlu menjadi berkarat.

Semakin jauh perjalanannya, dalam pikiran saya, jiwa manusia berbeda dengan mesin. Ia tidak menjadi berkarat, tetapi semakin bercahaya. Maaf-saya masih terbelenggu pada pikiran lama. Seorang guru sekolah menengah pertama (SMP) saya, Pak Sutikno, pernah bilang: manusia itu seperti batu akik, semakin bercahaya bila sering diupam.

Saya pikir, jiwa Wawan juga seperti batu permata. Semakin diupam (digosok) mestinya semakin bercahaya. Dan itu saya bisa tunjukin pada puisi-puisnya. Saya kagum karena ia bisa menelan semua perjalanan hidup yang tentunya juga penuh penderitaan. Misalnya, ketika ditinggalkan istri, menderita sakit dan menghadapi bermacam kesulitan.

Jadi, tidak mungkin kearifan yang ditawarkan lahir berkat perjalanan hidup yang mulus, enak-enak dan santai saja. Itulah yang saya hargai pada saat membaca sajak-sajak Wawan. Tidak mungkin ia membuat pembacanya dewasa, bila belum bebas berbagi pahit getir dan manisnya hidup ini.

Semoga Wawan menjadi semakin bersemangat dengan terbitnya kumpulan tunggal puisinya ini. Selamat mengolah hidup, dalam terang benderang kenangan di masa lalu: maupun dalam gelap gulita suasana pandemi saat ini. Saya percaya, dengan berbagi kearifan, Wawan tidak menawarkan sesuatu yang berkarat, melainkan bintang pengharapan.

Runtut Puisi dalam Perjalanan Berkarat Ulasan Antologi
Rg. Bagus Warsono

Membaca puisi-puisi Wawan Hamzah Arfan cukup singkat dan pendek-pendek. Sebetulnya tidaklah demikian. Ada sesuatu yang runtut dalam puisi-puisinya yang justru dibuat dalam perjalanan kepenyairannya. Ia mencatat demikian rajin dalam perjalanannya itu. Puisi-puisi yang seakan bersambung. Ibarat catatan peristiwa yang terjadi dalam dirinya terekam dalam perjalanan itu. Sangat beralasan jika antologi ini merupakan Perjalanan Berkarat. Dalam pengertian bebas merupakan catatan-catatan yang menahun.

Sebelum kita simak puisi-puisi itu ada baiknya kita tinjau beberapa puisi agar pembaca memahami sebuah runtut puisi perjalanan dari tahun-ketahun yang bersambung ini. Wawan Hamzah Arfan adalah kelahiran Cirebon, 8 Juni 1963. Di sebuah kota di Pantura Jawa Barat yang memiliki budaya khas dan karakter masyarakat pantura. Kesehariannya adalah orang yang dekat dengan dunia pendidikan dan tulis menulis. Demikian awal perjalanan itu kita mulai dari sebuah puisi berjudul PERJALANAN yang ditulisnya pada tahun 1986.

sejenak aku menatap jam dinding
jantungku berdetak
mengiringi tik tak jarum jam
berputar-putar
melewati angka satu sampai dua belas
melangkahi satu per satu hati
yang tertinggal kemarin
merebus perjalananku

Puisi yang berisi sebait ini tampak padat. Bahwa hidup di dunia itu diukur waktu. Hidup ini seperti melangkahi satu persatu hati yang tertinggal kemarin, merebus perjalanannya. Puisi pendek yang kaya makna dan mengingatkan kita bahwa selama ada detak jantung di dada selama itu juga hidup diukur waktu.

Di tahun 1988 Wawan pun menulis PERJALANAN DUSTA. Sebuah puisi yang mengutarakan kejujuran dalam hidup ini. Bahwa kita juga kadang mengikuti perjalanan dusta Sebuah pengalaman yang mau tidak mau mesti terjadi. Berikut cuplikannya:

perjalanan ini
tak terbilang panjangnya
terbentang
antara bayangan langit dan belum
darah dan peluh mengucur
di setiap jengkal harapan
yang terluka
menggaris dusta-dusta
yang tak terbaca

Demikian kehidupan pada sisi profesi apa pun kedustaan tak terhindarkan. Bahkan kita sulit mengingat dusta atau menghitung dusta atau mengira-ngira apakah dusta atau hanyalah sebuah perasaan dari seorang yang betul-betul memilik kearifan seperti dikatakan Eka Budianta terhadap antologi ini.

Hidup adalah sejarah siapa membuka sejarah akan membaca perjalanan meski meski perjalanan itu sudah berkarat. Dalam puisinya PERJALANAN BERKARAT Wawan Hamzah Arfan menegaskan perjalanan itu, bahwa manusia berada dalam perhitungan waktu. Pilihan kata yang manis tampak dalam puisi ini. Kita lihat:

sendiri aku melebur waktu
pada ruang tak bernyawa
pada jam bicara
yang selalu memperhitungkan suara
bualan-bualan surat kabar hari ini
 
haruskah kubentangkan jarum jam
pada langkahku?

Puisi-puisi Perjalanan berikutnya tampak memberi jelas catatan-catatan dalam perjalanan itu. Seperti PERJALANAN PENGEMBARA sebuah puisi pendek yang sangat manis untuk dinikmati:

ketika matahari jatuh di ubun-ubun
jalanan aspal meleleh
lengket di kakiku
yang mengembara di cakrawala
penuh gincu
mengarat dalam jejakmu

Kemudian Wawan Hamzah Arfan pun memberi perlambang kehidupan dalam puisi-puisinya seperti PERJALANAN MATAHARI dan puisi PERJALANAN CAHAYA. Ia mencatat bahwa Matahari dan Cahaya adalah saksi perjalanan itu. Bahwa orbitnya dan cahaya itu tak lain adalah menunjukan bahwa perjalanan itu telah ada yang mengatur.

Tuhan,
aku masih berjalan dengan tongkatMu
sebagai pejalan kaki
mengikuti jejak nabiMu

Pada JALAN PANJANG ia menceritakan liku perjalanan hingga KUBANGUN ARUS DERASNYA KEHIDUPAN.

jalan panjang yang kubentangkan
menggelinding dalam pelah
menyatu dengan asap dan debu

Di puisi yang lain tampak petikan kata yang menyentuh hati:

barangkali inilah kenyataan yang kubangun
di antara buih-buih sang berserakan
dari arus derasnya kehidupan

Akhirmya Wawan Hamzah Arfan pun menyadari bahwa perjalanan-perjalanan itu hanyalah puisi yang memiliki makna warna-warni bagi setiap pembacanya.

DALAM PUING-PUING RASA 

dan atas nama segala suasana
yang menari
di atas lembaran peristiwa
kubiarkan hasratku terdampar
dalam semak belukar
asalkan puisi-puisiku
masih bisa berbagi sepi
di setiap musim

itulah Perjalanan Berkarat sebuah antologi yang merupakan wisata Historis penyair yang patut kita ketahui sebagai pembanding. Namun harus diingat bahwa semuanya adalah puisi, yang hanya puisi:

HANYA PUISI

jika aku suka bikin puisi
hanya sebatas menyiasati mimpi
yang sering jadi teka-teki
sebuah misteri kemungkinan
namun bagiku mimpi itu puisi
yang bisa dinikmati
sambil minum kopi
dan makan sepotong roti
imajinasi yang penuh sensasi

Demikian Perjalanan Berkarat Wawan Hamzah Arfan penyair yang puisi-puisinya ramai dibicarakan di tahun-tahun 80-90-an di media koran-koran Indonesia pada saat itu. (Rg Bagus Warsono, penyair dan kurator Sastra di Lumbung Puisi. 2021)

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *