Pagi hari tadi saya pergi olah raga. Sendirian. Saya mampir ke Super Market membeli minum, Yogurt dan Permen Karet. Saya hanya membawa uang selembar seratus ribuan, ada sisa kembalian sekitar 62 ribu waktu saya lihat pedagang sayur gerobak. Itu jauh dari komplek tempat saya tinggal. Pasti harganya sedikit miring (mungkin) dibandingkan pedagang sayur keliling yang memakai motor ditempat kami tinggal.

Kemudian saya berpikir tentang bagaimana menjadi seorang ibu rumah tangga yang dengan uang seadanya harus bisa mengolah/masak dan makan untuk sekeluarga? Punya 3 anak seperti saya misalnya dengan uang terbatas.

Hasilnya? Lumayan. Mungkin akting saya bagus dengan mengatakan ke pedagang bahwa saya tidak bawa uang tunai banyak… Jadi saya hanya akan belanja secukupnya.

Dengan uang 62 ribu saya mendapatkan separuh dari seekor ayam seharga 18 ribu, dipotong 6. Sekotak tempe yang jadi 10 potong. Tahu Bandung isi 10. Daun bawang 3ribu. Kol yang entah berapa karena saya hanya minta sebelah. Sawi saya minta beberapa batang dan saya suka bagian muda. Karena saya suka masak mie memakai itu. Jagung manis karena saya masih punya bayam di kulkas. Paria plus ikan cumi asin yang perbungkus Rp. 7.500,- yang tentu saja nanti akan saya masak dengan cabe rawit pedas.

Lalu ada bumbu ayam. Harganya hanya Rp.2.500,- kata si abang… ” ini bumbu yang gurih dan enak. Sebungkus bisa untuk seekor ayam.” Karena ayam saya hanya setengah… maka tahu dan tempe akan sekalian saya ungkep, pikir saya.

[iklan]

Saya dapat melinjo juga, untuk besok jika saya mau bikin sayur lodeh. Melinjo merah tanda sudah mantap tentu menggemaskan.

Entahlah… mungkin si Abang kasian… saya diberi 1 bonggol bawang putih dan beberapa siung bawang merah plus rawit. Jeruk nipis dan tomat masing-masing satu buah.Tentu akan cukup untuk memasak tumis atau sambel sekalipun… dengan hanya 5 ribu rupiah saja.

Total jumlah belanjaan saya hanya 58 ribu. Tetapi saya ingin kerupuk yang per bungkusnya 5 ribu. Kata Abangnya boleh. “Tapi kurang seribu, Bang… ini uang saya 62ribu… “

” Iya… Nggak apa-apa, Bu…”

“Abang beneran ikhlas? Saya minta aja ya seribu… saya ngga mau ngutang… takut besok-besok ngga ketemu…”

“Iya Ibu… saya ikhlas,” kata si Abang sambil senyum-senyum. Ada dua ibu yang juga sedang belanja ikutan senyum.

Saya pulang ke rumah dengan bahagia. Tak apa sedikit ribed bawa sekeresek belanjaan. Namun saya bahagia serasa menang lotre. Karena jika masuk supermarket… apalah arti uang 62 ribu? Apalagi ke Mall? Secangkir kopi pun… biaya parkirnya sudah mahal.

Saya semangat sekali untuk langsung memasak. Sungguh murah karena kami berlima akan kenyang hingga malam dengan belanjaan sebanyak ini.

Kemudian saya berpikir… jika hanya sekali-sekali belanja murah dan makan tempe tahu masihlah tak apa. Tetapi jika setiap hari? Belanja pun bukan hanya sayur mayur dan tempe tahu saja. Urusan minyak sayurnya bagaimana? Bumbu-bumbu lain semisal kecap. Nggak mungkin juga tiap hari makan tempe tahu ungkep? Bagaimana dengan Gas? Tak mungkin memasak memakai kompor atau kayu bakar. Lalu membayar Lisrtik? Pulsa untuk sekeluarga? Susu anak? Makan buah-buahan? Shampo, sabun mandi, sikat gigi dan odolnya? Pembalut, Pembersih cairan untuk mencuci piring, pencuci pakaian, pembersih lantai? Bensin motor… dll… dll… belum lagi rokok. Jika suami/anak kita ada yang merokok. Lalu bagaimana dengan undangan hajatan?  Ulang tahun kawannya anak-anak. Sepatu dan pakaian anak2. Buku. Seragam. Hasilnya? Wasalam. Saya lieur mengurai semuanya. Hidup ini memang akan menyakitkan jika nalar dibawa-bawa. Secara… saat inipun tak ada satu negara pun jadi jaminan setiap warganya akan bahagia.

Sama dengan Indonesia. Beberapa hari belakangan Demo malah heboh kembali. Di saat seluruh dunia sedang krisis dan Pandemi. Semua orang bermimpi ingin hidup bahagia. Dan selalu ada yang disalahkan. Bahkan bila perlu ganti Presiden yang tentu saja tak akan semudah itu.

Tetapi lalu mengapa sekarang ini masyarakat seperti mudah terhasut? Entahlah. Beban hidup yang tinggi… tidak berpikir jernih dan keimanan yang terkikis plus kenyataan hidup yang jauh dari hayalan. Pekerjaan tak mencukupi kebutuhan atau bahkan malah tak memiliki pekerjaan dan penghasilan sama sekali.

Akhirnya? Orang jadi mudah terhasut. Padahal… Demo itu rentan sayang. Kamu kehausan… kelaparan… panas… tak cuci tangan andaipun ada kiriman nasi bungkus. Jika kamu tertangkap? Babak belur dan panjang urusan. Kasihan dong sama orang tua? Jadi Repot. Pun nama kamu ada catatan di kepolisian.

Well… tapi tak ada banyak yang bisa saya tulis lagi. Andaikan saya jadi manusia yang seperti itu… terbatas biaya dan kendala lain kala akan melakukan sesuatu. Sementara setiap hari disuguhi toksin-toksin di Media sosial. Atau melihat baliho-baliho sebesar lemari 3 pintu. Gambar diri calon pejabat yang bakal digaji rakyat tersenyum penuh muslihat. (Cikeu Bidadewi)

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *