Last Blood, Rambo Tua dan Sylvester Stallone

Heryus Saputro Samhudi *)

Apa kabar Rambo atau John Rambo?  Empat puluh tujuh tahun silam ia dikisahkan pulang kampung ke Amerika Serikat (USA), dengan berbagai kenangan mengerikan yang dialaminya di kancah Perang Vietnam. Tapi tak mudah untuk hidup kembali sebagai warga sipil. Apalagi ia sekadar mantan prajurit rendahan. Siapa peduli?

Di tanah kelahirannya, penerima berbagai bintang jasa itu cenderung cuma dianggap sebagai sampah perang. Ia susah dapat kerja, luntang-lantung kesana kemari menghitung hari. Sampai kemudian terjadi insiden yang tak pernah ia harapkan…!

Seorang perwira polisi sebuah wilayah, terang-terangan menolak kehadirannya saat ia hendak masuk ke sebuah kota. Berkali-kali ia coba masuk kota, untuk menemui seorang kenalan yang diharapkan bisa memberinya kerja, tapi berkali-kali pula ia ‘dilempar’ ke luar batas kota. Bahkan tanpa alasan jelas, ia lantas dijebloskan ke ruang tahanan kota. Komunikasi buntu, karena perwira polisi itu ‘tutup kuping’.

[iklan]

Rambo bukan kucing atau anjing yang cuma bisa mengeong atau menggonggong saat dikurung. Ia adalah mantan prajurit komando dengan berbagai klasivikasi kemampuan. Karena diperlakukan sewenang-wenang, ia punya hak untuk melawan. Dengan mudah ia melumpuhkan para petugas jaga dan lolos dari tahanan.

Tapi kepala polisi itu bertindak kian sewenang-wenang. Rambo ditetapkan sebagai buron berbahaya bagi masyarakat. Berbagai kekuatan bersenjata dikerahkan. Rambo diburu untuk diringkus. Rambo seperti sengaja dikembalikan ke masa lalu, dimana pemegang senapan merangsek dari segala arah dengan satu tujuan: menangkap dan mengembalikannya ke balik jeruji tahanan, atau menembaknya mati di tempat.

Kesabarannya hilang. Sikap ‘liar dan brutal’ yang dialaminya di kancah perang dan tertoreh pedih dalam dirinya kembali mencuat. Rambo tak punya pilihan lain selain melawan, dan menunjukkan kepada negaranya bahwa sudah terjadi kesewenan-wenangan kekuasaan, Hasilnya? Tatanan dan instalasi kerja kepolisian yang dipimpin sosok perwira asosial itu porak-poranda dibuatnya.

John Rambo

Bukan yang pertama

Siapakah Rambo? Entah. Yang pasti kita sama membaca bahwa Rambo adalah sosok fantasi, karakter utama dalam novel action thriller bertajuk First Blood karya David Morrell yang terbit di USA tahun 1972. Seberapa laris novel itu? Berapa banyak publik sastra membacanya? Yang pasti di tahun 1982, sepuluh tahun setelah novel itu terbit, nama Rambo mendunia, melegenda sebagai sosok perlawanan atas kesewenang-wenangan pihak-pihak yang diberi kesempatan memegang senjata.

Popularitas Rambo terutama gegara Sylvester Stallone – aktor, penulis dan sutradara film Amerika Serikat yang akrab disapa Syl, yang dengan tak kalah kreatif lantas menjadikan novel tersebut sebagai dasar (base on story) menulis skenario film bertajuk sama: First Blood.

Sebuah skenario film (atau pun naskah drama panggung, atau bahkan sebuah novel) bisa hadir seutuhnya dari fantasi artistik si penulis, tapi juga bisa merupakan karya adaptasi atau yang terinspirasi dari karya tulis atau cerita yang pernah ada sebelumnya. Masyarakat ilmiah menyebut teknis penulisan yang terakhir ini sebagai karya berdasar karya, atau (sekali lagi) base on story.

Namun apapun dan dari manapun latar kisah didapat, sepanjang diakui jujur oleh si penulis, bentuk karya tersebut sah dan berdiri sendiri sebagai sebentuk karya yang mandiri. Juga skenario First Blood yang ditulis Syl, sah disebut karya Syl yang menulisnya berdasar novel bertajuk sama karya David Morrell.

Rambo

Syl memang tidak menulis skenarionya sebagai duplikat novel First Blood. Ada banyak karakter, kejadian dan alur kisah dalam novel diubahnya, dengan Rambo tetap sebagai karakter utama. Ending novel misalnya, sungguh menyedihkan. Nyaris semua tokoh mati, termasuk Rambo. Padahal menurut Syl, “Rambo tidak boleh mati. Ia harus tetap hidup, menjadi legenda, menjadi visi yang bisa menginspirasi siapa saja untuk tetap menyalakan semangat bela negara, berjuang mempertahankan dari segala bentuk ketidakadilan,” begitu ungkap Syl sebagaimana banyak dikutip pers.

Syl bukan penulis yang tukang omong doang, yang anak gaul milenial berseloroh menyebutnya sebagai “NATO” (No Action Take Only). Sama sekali tidak. Syl adalah pekerja keras. Selain merintis karir sebagai aktor, ia juga menulis sejak tahun 1970. Bahkan di tahun 1976, seri karya skenarionya bertajuk Rocky sudah difilmkan dan ia jadi pemeran utama (kemudian jadi sutradara) di seri film tersebut.

Demikian juga saat menggarap skenario First Blood. Ia manfaatkan segenap kemampuan dan fantasi artistiknya untuk mengembangkan kisah dan sosok Rambo. Beberapa karakter tokoh dan alur cerita dalam novel, ia ubah sesuai visinya. Perlu kitaran sepuluh tahun ia memperjuangkan penulisan skenario tersebut, sampai kemudian di tahun 1982 ada pemodal bersedia mewujudkan karya skenarionya menjadi film First Blood. Disutradarai Ted Kotcheff, nama Syl tak cuma dicatat sebagai Co-Writer tapi sekaligus juga sebagai pemeran Rambo yang kelak banyak diidentikan dengan dirinya.

Ada catatan menarik. Sebelum jatuh ke tangan Syl, peran Rambo sudah lebih dulu ditawarkan produser dan sutradara kepada aktor-aktor kondang Hollywood masa itu. Sebut misalnya Chuck Norris, Clint Eastwood, Dustin Hoffman, John Travolta, Robert DeNiro, dan Terence Hill. Tetapi mereka menolak karena menilai karakter Rambo terlalu kasar.

Al Pacino juga menolak saat ditawari. Namun berbeda dengan yang lain, Al Pacino menolak tawaran karena sosok Rambo dinilai kurang gila/kasar, dan tidak memiliki intensitas novel. Akhirnya sang co-writer (karena base on story David Morrell), Sylvester Stallone menawarkan diri memerankan Rambo.

Empat peran

Kita sama tahu, film First Blood lantas jadi acuan baru film-film action thriller kemudian, seiring suksesnya di pasaran. Dengan biaya produksi hanya sekitar 12 juta USD, sepak terjang Rambo di layar lebar box-office dan meraup sedikitnya 126, 2 USD. Sosok Rambo popular dimana-mana mengiringi sukses Sylvester Stallone sebagai aktor, penulis skenario, dan (belakangan) juga sebagai sutradara.

Dongeng tentang Rambo terus berlanjut. Berdasar karakter rekaan David Morell, sosok Rambo kembali hadir di tahun 1985 lewat film First Blood Part II (Rambo II) dengan sutradara George P Costamos, Kolonel Trautman (diperankan Richard Crenna) komandan Rambo di kesatuan Baret Hijau, memintanya kembali menyusup ke Vietnam untuk memotret camp-camp tahanan yang secara politik sudah dinyatakan kosong. Siapa mengira, dalam silence operation itu, Rambo menemukan sosok-sosok prajurit Amerika masih dalam keadaan hidup, teronggok di penjara ‘bawah tanah’. Sikap bela negaranya bangkit. Alih-alih sekadar memotret, Rambo terpanggil untuk menyelamatkan tubpara saudara sebangsa setanah air yang hidup enggan mati tak mau itu.

rambo

First Blood Part III (Rambo III) hadir tahun 1998 dengan sutradara Peter Mac Donald. Pihak militer diam-diam kembali minta bantuan veteran perang Vietnam bernama Rambo, kali ini untuk menyusup ke Afghanistan yang tengah dikecamuk perang saudara yang melibatkan anasir asing. Tugas Rambo sama, yakni untuk membawa pulang tentara Amerika yang tertangkap dan dipenjara oleh kelompok bersenjata di gua-gua di kawasan gurun Afghanistan. Tugas yang tanpa diminta pun akan akan dilakukan Rambo, karena yang harus ia evakuasi dan selamatkan adalah Kolonel Trautman, komandannya di Baret Hijau yang sudah seperti orangtuanya sendiri.

Ada yang menarik dari ketiga film Rambo di atas. Sejak film pertama, Syl sebetulnya juga bertindak sebagai bagian dari produser. Tapi dengan berbagai pertimbangan, dalam Credit Title namanya sengaja tak dicatat (uncreated). Baru pada film ke-2 dan ke-3 namanya resmi tercantum sebagai bagian dari jajaran produser.

Pada film ke-2 dan ke-3, selain perannya penulis skenario dan aktor utama (disamping sebagai produser bayangan), Syl juga berperan aktif membantu kerja sutradara. Tapi lagi-lagi namanya sebagai bagian dari sutradara, sengaja tidak dicatat. Baru pada film Rambo IV tahun 2008, Sylvester Stallone resmi tercatat sebagai bagian dari produser, penulis skenario, pemeran utama, dan juga sebagai sutradara. Dengan empat peran menentukan tersebut, engkap sudah kehadiran Syl di dunia perfileman.

Rambo IV masih berkisah ihwal permintaan diam-diam pihak militer Amerika Serikat kepada warganya yang bernama Rambo, veteran perang Vietnam dan sekaligus manta anggota kesatuan Baret Hijau yang memiliki berbagai kemampuan diri untuk menghadapi kancah perang gerilya. Kali ini Rambo diminta menyusup masuk ke Burma (menjelang berobah menjadi Myanmar) untuk menyelamatkan sekelompok misionaris Amerika Serikat yang terjebak di tengah perang yang tengah berkecamuk di negeri tersebut. Kali ini yang meminta Rambo bukan lagi Kolonel Trautman, melainkan petinggi militer lainnya, karena Richard Crenna, pemeran tokoh Kolene Trautman sudah wafat beberapa tahun lalu. Film ini sengaja dibuat Syl antara lain juga untuk mengenang almarhum Richard Crenna.

Last Blood

Sama seperti film-film sebelumnya, Rambo IV ini juga sukses besar di pasaran, walau dilarang tayang di Myanmar. Serial Rambo dipuji tapi sekaligus dicaci karena banyak adegan-adegannya yang dianggap berlebihan. Contoh misalnya adegan Rambo menghabisi sekian banyak musuh bersenjata yang dianggap tak masuk akal sehat. Atau adegan Rambo menembaki musuh dengan menggunakan dua buah senapan MT yang bobotnya masing-masing mencapai belasan kilogram. Uniknya adegan Rambo yang dianggap tak masuk akal itu, diam-diam banyak dipelajari dan dijadikan mata kuliah oleh satuan-satuan khusus militer dunia, ha…ha…ha…!

Syl kian menuai sukses, tak cuma sukses komersial, tapi juga raihan suksesnya sebagai pekerja total di bidang film. Berbagai penghargaan di bidang perfilman ia terima. Berbagai film baru juga ia buat dan kerjalan. Tapi keterikatan emosinya, dan obsesinya terhadap sosok Rambo nyatanya belum berakhir. Secara mengejutkan Syl kembali menggarap kisah Rambo lewat film bertajuk Last Blood, yang akan tayang serentak secara global pada tanggal 20 September 2019, menjadikan Sylvester Stallone meraih predikat sebagai aktor terlama yang memerankan sosok karakter yang sama sepanjang 37 tahun

Chu Chi Tunnel dan Home Alone

Apa kabar Rambo? Ia masih tampak sehat karena terbiasa menjaga tubuh, sebagaimana Syl yang rajin berolahraga. Tapi memang kini ia makin tua, sebagaimana Syl yang kini berusia 73 tahun. Itulah karakter Rambo dalam film RAMBO: Last Blood karya sutradara Adrian Grunberg. Kali ini Syl tak ikut campur dalam penyutradaraan. Ia berkonsentrasi penuh memerankan karakter Rambo tua, disamping menulis skenario bareng Matt Cirulnicen. Selebihnya ia bagian dari produser dalam konsorsium pemodal yang didukung Rumah Produksi Lionsgate, Millenium Media, dan Balboa Production.

Digarap dalam alur gambar-gambar wide-up shoot, plus imbuhan shot-shot hiper close-up karya Cinematographer Brendan Galvin, film aksi petualangan Rambo yang mengambil lokasi syuting  di Bulgaria, ini dibuka dengan adegan sore menjelang malam di sebuah hutan, dimana sekelompok petugas dan relawan sibuk mencari beberapa pendaki yang hilang, sedangkan hujan deras mulai turun di pucuk gunung, membuat semua orang lintang pukang menghindari banjir bandang yang membentuk sungai-sungai liar menerjang apa saja di bagian bawah. Dalam keadaan kacau itu, seorang penunggang kuda terus melacak jejak ke bagian atas dan menemukan dua dari anak yang hilang. Sayangnya, yang seorang tak berhasil ia selamatkan. Tubuhnya digelontor air turun ke bagian bawah. Lelaki itu cuma berhasil menyelamatkan seorang pendaki, yang tanpa berkata-kata serahkan ke pada petugas. Siapa dia?

“Ia orang sekitar sini. Orang baik. Seorang pelacak jejak,” ucap seorang penjaga hutan kepada orang-orang yang bertanya.

Lelaki berkuda itu adalah Rambo yang coba hidup tenang di rumah pertanian warisan sang ayah di Negara Bagian Arizona USA, yang berbatasan dengan negara Meksiko, jauh dari rumah-rumah penduduk lainnya, hingga seolah-olah rumah itu satu-satunya hunian di kawasan tersebut. Rambo tinggal bareng Maria Beltran (Adriana Bettaza), imigran asal Meksiko yang sejak ayah Rambo masih ada sudah bekerja di rumah perkebunan itu, dan Rambo sudah menganggap Maria seperti saudara perempuannya sendiri. Maria punya anak perempuan, Gabriele (Yvette Monreal) yang juga lahir di rumah itu, dan Rambo sudah mengangapnya seperti keponakan sendiri. Kehidupan dilalui Rambo dengan melatih dan berkuda bersama Gabrielle, dan membangun terowongan bawah tanah.

Terowongan bawah tanah seperti yang dibangun laskar Vietcong saat Perang Vietnam? Mirip lorong-lorong Chu Chi Tunnel di pinggir Ho Chi Mint City yang kini jadi obyek wisata Vietnam? Ya, mirip-mirip itu, karena Rambo hingga setua itu…tetap tak bisa lupa pada mimpi buruk yang pernah dialaminya di masa bertugas di Vietnam. “Aku hidup dalam dunia yang penuh kematian. Kulihat orang-orang yang kucintai mati. Ada yang karena peluru. Ada yang tidak cukup tersisa untuk dikubur,” gumam Rambo di saat-saat sepi. Mimpi buruk yang ingin ia kubur, sebagaimana ia selalu mengurung diri di lorong-lorong bawah tanah yang dibuatnya di bawah pekarangan rumahnya. Tak seoreang pun boleh masuk ke ruang bawah tanah itu, kecuali Gabrielle kecil yang bahkan gemar membantunya mengorek tanah.

Last Blood

Namun, masalah datang dimulai saat Gabrielle secara diam-diam pergi ke Meksiko untuk mencari ayah kandungnya yang tidak pernah menerimanya. Muntutnya, gadis berusia belasan tahun itu diculik mafia kartel perdagangan manusia dan raja obat bius yang keji. Rambo terpaksa berkelana melintasi perbatasan Amerika Serikat dan Meksiko untuk misi penyelamatan. Tapi ia justru terjebak dalam masalah besar.

Rambo harus berhadapan dengan sekelompok mafia kartel pimpinan Martinez Bersaudara, Hugo (Sergio Peris-Mencheta) dan Victor (Oscar Jaenada) di tempat Gabrielle disekap dan harus terima kenyataan pahit ia dikeroyok dan disiksa hingga tak sadarkan diri selama empat hari. Dibantu Carmen Delgado (Paz Vega) wartawan lepas Meksiko yang sedang coba membongkar kartel obat bius dan perdagangan manusia yang sudah membuat adik perempuannya tewas overdosis, Rambo berhasil menemukan Gebriele yang juga dalam keadaan overdosis dan lalu tewas.

Rambo pun harus menghadapi masa lalunya dan menggali keterampilan tempurnya, untuk membalas kekejaman Martinez Bersaudara dan komplotannya. “Aku ingin mereka juga tahu dan merasakan, betapa perihnya hati orang-orang yang sudah mereka jadikan korban. Aku ingin mereka tahu, bahwa saat maut datang kepada mereka, tak ada yang dapat menghentikannya,” gumam Rambo yang lantas mengubah rumahnya menjadi zona perang lengkap dengan perangkap mematikan untuk para musuh yang mencoba masuk ke dalam rumahnya.

Rambo memberi Maria sejumlah bekal buat hidup layak, dan meminta adik angkatnya itu menjauh sejenak dari rumah yang selama ini mereka tempati Berbekal sebilah pisau, ia menyusup balik ke Meksiko. Dengan sebuah kejutan yang tak mungkin bisa dilupakan, Rambo memancing semua komplotan kartel obat bius dan perdagangan manusia itu keluar dari sarangnya di Meksiko.

“Selama bertahun-tahun kusimpan rahasia kemampuanku bertarung. Tapi waktunya telah tiba untukku menghadapi masa lalu. Jika mereka datang mencariku, mereka cuma menjemput kematian,” gumam Rambo di rumahnya yang sudah ia ubah mirip perangkap besar ala Kevin McAllister dalam film Home Alone. Dengan pisau, pistol, senapan kokang dan busur, ia tunggu para penjahat itu datang menyerbu. “Pikiran adalah senjata terbaik buat membela diri,” kata Rambo sebagaimana tiap kali ia alami tekanan musuh yang datang bertubi-tubi.

Didukung tata musik apik karya Brian Tyler, dan alur gambar menegangkan garapan editor Todd E Miller dan Carsten Kurpanik, Rambo: Last Blood tetap kental dengan adegan-adegan adegan-adegan menegangkan, yang kadang bikin penonton (di bioskop kelas atas sekali pun) spontan bertepok tangan saat Sang Jagoan melumpuhkan lawan. Sebagaimana umumnya film-film Rambo (kecuali Firs Blood pertama, yang cuma ada satu karakter tokoh yang tewas, itu pun karena terjatuh dari helikopter), aksi seorang diri Rambo kali ini juga mampu menghabisi sekian banyak lawan, hal yang selama ini menjadi titik utama kritik banyak pihak.

Sebagaimana judulnya, inilah titik darah penghabisan seorang Rambo? Inikah film terakhir dari serial Rambo, mengingat sosoknya yang nyaris identik dengan Sylvester Stallone yang usianya juga kian tua? Saya tak hendak menjawab. Sebab fantasi artistik dan kreativitas seni bisa saja muncul dan eksis di bentuk-bentuk tua sekalipun.

*) Heryus Saputro Samhudi,

sastrawan dan wartawan Indonesia anggota PWI Jakarta, penulis masalah-masalah sosial-budaya, pariwisata dan lingkungan hidup.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *