Garut
Garut adalah kota kelahiran saya. Kedua orang tua saya asli orang Garut dan saya sendiri lahir di kota itu dibantu paraji atau dukun beranak buta pada satu subuh di bulan desember. Kami pindah ke Jakarta ketika usia saya 3 tahun dan adik saya Rima baru saja berusia 40 hari.
Ah… Garut. Kenangan saya tentang kota ini begitu indah. Saya lupa persisnya, pokoknya saat itu gunung Galunggung belum meletus. Awal tahun delapan puluhan, ketika usia saya mungkin baru 8-9 tahun, waktu itu saya ingat di ajak liburan ke Garut dan menginap di rumah nenek kala libur sekolah tiba. Saat itu jalan menuju Garut hanya lewat puncak. Belum ada tol Cikampek atau Padaleunyi. Rasanya Puncak jaman itu adalah harus serius menyetir ketika hendak melewatinya. Papa saya menyalakan lampu hazaard dan tanda waspada. Area puncak masih gelap dan berkabut meski pada siang hari. Sebelum ke Garut, kami harus melewati dulu Cianjur, Padalarang lalu Bandung, Rancaekek, Kadungora, Leles dan Tarogong. Pokoknya jika belum 10 jam, kami belum sampai ke Garut.
Pemandangan di Daerah Cikajang
Garut terletak diatas ketinggian 700 meter di atas permukaan laut. Dikelilingi gunung-gunung, baik yang sudah tidak aktif ataupun yang masih aktif. Cikuray, Guntur dan Gunung Papandayan.
[iklan]
Kenangan saya tentang Garut saat masih kanak-kanak adalah delman, dengan bunyi bel dan suara sepatu kudanya. Gunung- gunung yang biru dikejauhan. Padi-padi yang telah menguning di sawah. Ladang-ladang. Sungai yang jernih dan mengalir depan rumah nenek. Bisa mengambil udang dan ikan kecil hanya dengan bermodalkan saringan yang terbuat dari bambu. Juga kolam-kolam ikan disamping kanan-kiri dan belakang rumah nenek. Oh ya, rumah nenek terletak di sebuah area yang luas di salah satu desa di Garut. Aneka pohon buah-buahan ditanam nenek dan tumbuh subur. Pohon kelapa berjejer rapi. Pohon jambu batu dan mangga bacang juga ada di taman kecil belakang rumah. Di depan samping kanan berderet pohon-pohon jambu air. Dan taman mawar juga, bambu- bambu kuning dihalaman depan sebelah kiri. Di belakang, antara sawah dan kolam-kolam ikan itu ada pematang yang ditumbuhi pohon-pohon herbal dan rempah. Pohon daun sirih merah, kunyit, jahe, pohon jeruk nipis hingga pohon bunga kecombrang. Tak usah pula terpana dengan daun kuping gajah dan wijaya kesuma atau pohon-pohon lain yang saya tak paham namanya, namun bunganya sangat indah karena berwarna merah muda. Ada bagian tertentu di halaman belakang, di mana Kandang ayam dan bebek berjejer rapi. Saya pernah tak sengaja menginjak telur-telurnya, kala itu saat bangun tidur, saya terburu-buru hendak ke kamar mandi, yang letaknya di belakang rumah. Dan itu adalah kamar mandi yang tak tertutup, tapi tak usah khawatir, karena itu area privat. Tak akan ada yang bisa masuk ke area rumah nenek, kecuali dia mau menyeberangi kolam-kolam ikan yang dalam terlebih dahulu. Daku suka bagian belakang rumah nenek. Ada pohon jambu biji merah yang manis dan pohon kelapa hijau pendek yang tak sulit di ambil buahnya. Sambil makan jambu, saya bisa mendengar bunyi gemericik kucuran air terjun mini dari gelondong-gelondong pipa bambu yang berasal dari aliran sungai ke kolam. Burung-burung kuntul terlihat dari jauh sedang mencari makan ikan-ikan kecil yang berenang di bawah pohon-pohon teratai. Sungguh, pengalaman itu masih terbayang dibenak saya hingga saat ini.
Yang saya ingat hal lainya adalah, kami bisa menikmati pemandangan gunung yang bernuansa biru dari kejauhan sambil mandi. Betapa tinggi selera nenekku pada jaman itu. Kamar mandi terbuka dengan pohon-pohon seperti menyatu dengan alam. Batu- batu sungai yang menjadi lantainya. Ah, beliau tentu masih cantik pada usianya dulu. Berkebaya selalu dan punya koleksi kain-kain batik cantik yang konon hasil koleksi pemberian dari istri-istri wedana di karesidenan.
Oh… sungguh beruntung saya dahulu… karena pernah mengalami masa-masa kenangan indah liburan di rumah nenek kala masih kecil. Saat-saat tertentu saya disuruh nenek menunggu kakek muncul ditikungan dengan sepeda onthelnya. Ketika beliau muncul, saya selalu akan berteriak, “Eniiin… Itu Aki… Aki udah datang !“ Seperti itulah teriakku, kala melihat kakekku muncul dari kejauhan. Meski Aki adalah kakek sambung-ku, tapi aku sangat menyayanginya, karena beliau baik. Kakek asliku wafat disembelih orang-orang jahat pada era kemerdekaan. Saat itu negara Indonesia baru merdeka sebulan, keadaan genting dan kacau di beberapa daerah. Polisi dan tentara belum terbentuk. Bahkan negara Indonesia pun baru merdeka kurang sebulan. Tidak seperti jaman sekarang yang mana informasi bisa beredar dalam hitungan detik, entah benar atau tidak dengan semua berita yang dibagikan? Yang pasti jaman kini adalah jaman dimana manusia mudah menerima informasi. Jaman dahulu, walau negeri ini sudah merdeka, namun berita simpang siur sulit divalidasi kebenarannya. Sedikit orang yang memiliki radio. Televisi tentu saja belum ada.
Yang pasti, dulu kakek kandungku adalah seorang tokoh terkenal dan pintar yang bekerja di karesidenan. Dulu belum ada pemerintahan atau yang namanya Presiden. Entah bagaimana, pokoknya, kakekku adalah salah satu tokoh intelek yang mereka incar. Semua orang yang berhubungan dekat dengan wedana atau Belanda, mungkin dianggap penghianat? Ada juga yang mengatakan bahwa kakekku dibunuh oleh orang dekat, karena mereka ingin menguasai hartanya. Kebetulan kakekku adalah anak orang kaya. Buyutku bernama Mama Haji Nur. Tak banyak saya tahu story tentang buyutku, yang pasti, kakek buyutku sudah pergi haji pada tahun 1920-an. Jika bukan manusia sembarangan, adalah hal tak mungkin seseorang bisa berangkat ke haji pada jaman itu. Berlanjut ke story kakekku. Kakek kandungku disembelih. Lehernya digorok, tepat pada malam Idul Adha pada akhir bulan Agustus tahun 1945. Serombongan manusia begal menerobos rumah kakekku. Mereka tak hanya menjarah namun juga melukai kakekku. Saat itu Papaku masih berusia 8 tahun. Kakekku tidak juga mau wafat, padahal lehernya nyaris putus. Gerombolan biadab itu sudah pergi, keadaan dianggap aman. Papaku di gendong muncul dari persembunyiannya, lalu di dekatkan ke wajah kakekku yang sedang meregang nyawa. Aku membayangkan rasa ketakutan dan kengerian papaku saat itu. Kakekku baru menghembuskan nafasnya manakala beliau selesai membisikkan sesuatu ke telinga papaku sambil menatap papaku meski tak sampai lima menit. Papaku tak pernah bercerita apa yang diucapkan kakekku. Ada saatnya di malam-malam Idul Adha, ayahku hanya mengurung diri di kamar. Mungkin teringat kakek? Mungkin karena ayahku adalah anak sulung? Anak yang ditunggu-tunggu? Karena kakekku menikah dengan nenekku pada usia 60 tahun, setelah istri pertamanya wafat. Beliau menikahi nenekku yang notabene adalah anak kandung dari sahabatnya. Well, seperti itulah hidup.
Baiklah.. kembali bicara tentang kota Garut yang bak surga bagiku. Tapi lalu ada masa ditahun berikutnya adalah kelam. Itu liburan di tahun berikutnya. Bermula pada satu malam, kami semua dibangunkan nenek. Berlarian orang-orang keluar rumah sambil berteriak, “Lini… Liniii…!” Pada satu dini hari. Ada beberapa bagian dari rumah nenek yang retak-retak temboknya. Beberapa hari kemudian tiba-tiba semua seperti berkabut. Dan hari menjadi gelap padahal sudah pukul 11 siang. Kenapa? Gunung Galunggung meletus. Itu jaman yang suram untukku. Tidak ada lagi hijau dedaunan. Semua pohon layu dan dipenuhi debu. Ternak-ternak seperti kuda, sapi, kambing dan domba di jual murah karena tak ada lagi rumput hijau tersisa. Atau hewan-hewan disembelih segera karena mereka akan mati, jika tak mau mubazir, karena sebentar lagi menjadi bangkai. Saat itu adalah masa depresi. Jalanan berdebu. Debu tebal dimana-manapun. Rumah-rumah banyak yang rubuh karena tak kuat atapnya menahan beratnya debu. Sungai-sungai menjadi dangkal dan hitam. Debu bahkan merendam hingga batas mata kaki meski di dalam rumah. Itu debu yang panas campur belerang yang berkilat-kilat. Semua orang sibuk menyapu, memakai penutup kepala dan masker buatan sendiri, yang terbuat dari kain ataupun popok bayi jika ingin bisa bernafas. Herannya, dulu aku malah bahagia dan bermain-main dengan debu-debu berbahaya itu. Duh, ampun.
Garut dalam kenangan saya? Rumah nenek. Mandi di kali yang jernih. Ikan mas dan gurame yang sebesar-besar bayi. Memetik buah tomat. Melihat pertama kali tanaman buncis dan kacang panjang yang ternyata tumbuh menjalar. Saya juga baru ngeh, jika pohon semangka dan ketimun menjalar di tanah. Hal yang saya tidak suka? Saya tidak suka jika nenek memasak sayur kacang merah. Apalagi nasinya juga beras merah. Rasanya susah sekali menelannya, bahkan sedikit tak bisa nafas. Hihihi. Saya juga heran mengapa nenek tidak pernah menyediakan air putih? Mengapa selalu air teh yang ada di teko? Dan saya tak akan meminumnya jika rasa haus nya tak parah- parah amat. Hahaha…
Hal lain yang mengganggu kebahagiaanku, ketika Aki di rumah. Itu berarti saya tak bisa tidur bersama nenek. Saya harus tidur diruang tamu yang besar, bersama sepupu-sepupu lain yang menemani. Dalam seminggu Aki beberapa hari di rumah nenek, beberapa hari pulang ke rumahnya di desa lain. Saya tersiksa mendengarkan dongeng Sunda dari radio. Karena itu tandanya malam sudah tiba dan sepupu yang lain sudah mendengkur. Lalu saya akan melihat jendela, juga suara air yang terdengar mengalir dari gelonggong saluran sungai. Oh, Tuhan… betapa tersiksanya saya tiap mau tidur jika tidak di kasur nenek. Menjelang dini hari, biasanya saya dibangunkan nenek, berbelanja ke pasar untuk membeli keperluan warungnya. Dengan menaiki delman. Menunggu nenek belanja biasanya beliau meminta saya duduk menunggu di atas delman, karena ada saat-saat tertentu, pasar terlalu becek untuk saya turun. Pulang dari pasar saya boleh membantu nenek mengatur dagangan dan melayani pembeli. Oh, indahnya…
Lulus SD, saya tidak masuk ke SMPN favorit dekat rumah. Lalu papa memutuskan saya untuk bersekolah di Garut. Saya terkejut.
“Papa, mengapa saya harus bersekolah di Garut?” Protesku waktu itu.
“Kamu kan orang Sunda. Dengan bersekolah disana, kamu akan belajar dan mengerti bahasa Sunda”. Itu kata ayahku dulu, manakala daku mulai menangis. Maka berangkatlah saya diantar papa mama ke Garut beberapa hari kemudian. Papa mendaftarkan saya di Yayasan Salib Suci, sekolah katolik terbaik di Garut. Pemilik Yayasan tersebut ayahnya kawan papa. Keluarga itu memang mendedikasikan hidupnya untuk dunia pendidikan sejak jaman Belanda. Om George, om Geovani, dan tante Sri adalah anak-anak pemilik Yayasan tersebut. Mereka kawan-kawan Papa. Papa pernah tinggal bersama mereka. Di Jakarta mereka juga punya Link dengan sekolah Pangudi Luhur jika tak salah. Rumah mereka adalah di sekitar Haji Nawi bertetangga dengan Koes Plus. Beberapa saat kemudian kawan- kawan papa itu ada yang menjadi anggota dewan terhormat pada era pak Harto.
So, sekolah menengah pertama saya adalah di Garut dan tinggal di rumah nenek. Sayangnya rumah nenek sudah tak seperti dulu. Nenek sudah sakit-sakitan. Kakakku nomor dua sudah menikah dan kebetulan tinggal di Garut bersama nenek. Saya menangis meraung- raung ketika Papa dan Mama pulang ke Jakarta. Itu menyakitkan. Karena mama bahkan tidak memeluk saya dulu. Mungkin mama tak ingin saya sedih? Yang pasti saya dipeluk, tante, kakak dan semua orang yang menyaksikan agar saya menjadi tenang. Dua hari itu saya seperti frustasi. Bagaimana mungkin saya bisa tahan selama 3 tahun di kota itu? Liburan seminggu dua minggu adalah beda dengan 3 tahun. Berminggu setelahnya saya masih sering menangis. Di belakang rumah nenek, sambil memandangi gunung yang tinggi dan biru. Saya bernyanyi lagu-lagu sedih, membayangkan sedang apakah mereka-mereka semua yang saya sayangi di Jakarta? Saya bernyanyi sambil menangis. Padahal jika dilihat dari letak geografis? Gunung yang saya percaya bahwa kota Jakarta ada di baliknya itu adalah salah? Karena kota di belakang gunung yang sering saya lihat dan tangisi adalah kota Tasikmalaya. Hihihi.
Suasana Garut sudah berubah. Ikan-ikan kecil sudah tak banyak lagi berenang di sungai. Orang-orang sana mulai mengenal detergen bubuk dan hasil bilasan kotornya dibuang ke sungai. Mau kemana lagi? Di Indonesia orang bebas buang kotoran dan saluran got pembuangan rumahnya ke sungai. Membuang sampah atau bangkai hewan pun? Boleh ke sungai. Meski ada larangan, hey… siapa yang mau memberikan sanksi? Tak ada pengawasan.
Baiklah.. saya akan bicara soal Garut dari hal lain.
Tahu kah kamu bahwa Garut itu terkenal dengan domba- dombanya? Kualitas domba Garut adalah terbaik se Indonesia, selain dagingnya sedikit lemak juga tanduk-tanduknya yang keren. Memelihara domba- domba jenis ini bisa jadi simbol gengsi karena harganya yang tak murah. Bisa belasan bahkan puluhan juta rupiah per-ekor nya.
Garut juga terkenal dengan penyamakan kulitnya yang tak kalah bagus dengan produk-produk luar. Kamu bisa pergi ke daerah Sukaregang dimana kamu bisa dapatkan jaket kulit, tas, hingga sarung-tangan. Jangan sungkan menawar. Dan masuklah ke banyak toko untuk perbandingan harga.
Ada sepuluh pantai-pantai yang indah di Garut : Pantai Santolo, Pantai Sayang Heulang, Pantai Manalusu, Pantai Cijeruk Indah, Pantai Karang Papak, Pantai Puncak Guha, Pantai Cicalobak, Pantai Rancabuaya dan Pantai Gunung Geder.
Kamu harus mengunjunginya sekali dalam seumur hidup kamu setidaknya. Pemandangan pesisir selatan Jawa Barat ini memanjang sekitar 120 km dari Cianjur hingga Tasikmalaya dan menjadikannya bentangan terpanjang se-Jawa. Dari dan menuju ke pesisir-pesisir pantai itu adalah speechless. Elok, cantik… Seolah menyimpan suatu misteri yang tak terpecahkan. Sayangnya, karena sekarang musim medsos yang kurang diimbangi kesadaran pengunjung? Kamu tak boleh sakit hati melihat sampah- sampah plastik terlihat dimana saja. Ironi? Sangat.
Garut juga terkenal dengan pemandian air panas belerangnya yang menyehatkan. Meski untuk berkunjung ke sana juga tak murah. Karena hotel-hotel di sana harganya kadang tak terjangkau. Kamu bisa melihat matahari terbit dari gunung Guntur yang tak jauh dari area pemandian air panas itu berada. Untuk melihat dan menikmati pemandangan lain kota Garut, kamu bisa ke gunung Papandayan sebagai alternatif. Itu juga area yang bagus untuk kemping. Cuma sayangnya, masuk ke sana itu sudah seperti dikuasai oknum-oknum tertentu. Banyak pungutan liar kanan-kiri, sementara sampah masih terlihat dimana-mana. Entah kemana pungutan uang-uang itu pergi berlari?
Candi Cangkuang
Garut juga punya peninggalan bersejarah lainnya yaitu Candi Cangkuang. Ditemukan oleh Drs. Uka Tjandrasasmita beserta tim peneliti Prof. Harsoyo pada tahun 1966 berdasarkan buku Notulen Bataviaach Genotscahap yang diterbitkan di Belanda pada tahun 1893 berdasarkan catatan Vordermen. Disitu tertulis bahwa terdapat candi yang sudah mulai rusak serta makam kuno di sekitar Pulo Leles.
Candi Cangkuang
Kemudian diadakan penelitian. Dan memang benar ditemukan Candi Syiwa yang sudah rusak hingga hanya tersisa 40 persen, dan makam kuno Arief Muhammad yang dipercaya sebagai salah satu tokoh yang menyebarkan agama Islam di Tanah Priangan di mana sebelumnya penduduk sekitar dipercaya pemeluk agama Hindu. Arief Muhammad merupakan salah satu Senopati atau Komandan dari Kerajaan Mataram Islam yang ditugaskan oleh Sultan untuk mengusir Belanda dari tanah Batavia. Namun karena mengalami kekalahan, beliau gagal dalam misinya, lalu memilih bertahan di tanah Priangan daripada kembali ke kerajaan Mataram.
Mengapa disebut Candi Cangkuang? Karena disekitar situ banyak ditumbuhi pohon cangkuang/mending atau Pandanus Fircatus yang daunnya bisa kuat ketika dibuat alas atau tikar pandan. Candi ini disebut berada di sebuah Pulau Leles oleh orang Belanda. Kenyataannya, memang Candi itu terletak di tengah danau dan kita harus menaiki rakit untuk menuju. Tidak sulit berkunjung Candi Cangkuang. Area parkir luas, juga tiket masuk yang tidak mahal. Menaiki rakit? Semua harga seragam. Kamu bisa ikut rombongan atau menyewa rakit sendiri, terserah.
Garut juga punya kain batik. Namanya batik Garutan. Kamu bisa mendapatkannya di daerah Kampung Sisir, Garut Kota. Dijual dengan harga mulai 150 ribu hingga jutaan rupiah, dengan motif-motif yang indah. Tahukah kamu bahwa Charlie Chaplin pernah kunjungi Garut sebanyak dua kali, yaitu pada tahun 1927 dan 1936. Naik kereta dan turun di Cibatu untuk menikmati pemandangan alam kota Garut yang indah.
Jaman saya SMP dan bersekolah di Garut, jalur-jalur kereta api di itu sudah menghilang. Orang-orang seenaknya saja membangun toko atau rumah diatas tanah PJKA. Waktu tulisan ini dibuat, sebentar lagi jalur-jalur kereta api menuju Garut akan diresmikan kembali, dan ini bukan proses yang mudah. Negara harus mengganti kerugian cukup besar sebagai kompensasi, padahal secara hukum itu tanah negara. Tetapi apa mau di kata? Tahun lalu ada kejadian tetangga kawannya keponakan saya di Garut yang ayahnya meninggal karena stroke. Kenapa? Belum dua bulan dia kelar membangun ruko yang menghabiskan dana 700 juta, tiba-tiba ada surat edaran bahwa lahan itu akan diambil karena memang milik negara. Ayahnya itu konon langsung meriang. Malamnya demam dan muntah-muntah lalu tak sadarkan diri hingga koma dan wafat dua hari kemudian. Mungkin kepikiran uang 700 juta nya? I don’t know. Salah siapa? Saya bilang itu kesalahan sendiri.
Garut adalah Swiss Van Java… itu yang tertuang dalam ensklopedia Hindia-Belanda 1917. Kecantikan Garut yang memukau dengan suhu sekitar 21 derajat celcius adalah suhu sempurna bagi mereka. Tak heran jika Garut adalah tempat liburan para Meneer atau tuan-tuan kaya raya asal Eropa. Jaman dulu bahkan sudah ada 3 hotel di Garut. Hotel Padang Boelan, salah satunya. Sayangnya saat ini tidak satupun gedung-gedung bekas hotel itu terlihat bekasnya. Entah mengapa? Apakah banyak orang Garut yang tak cinta sejarah? Dan tak perduli atau kurang menghargai dengan peninggalan masa lalu yang penting? Entahlah. Yang pasti, di Garut dahulu terdapat pabrik tekstil terbesar se Asia Tenggara bernama Pabrik Tenun Garut disingkat PTG. Awalnya berdiri pada tahun 1933 bernama Preanger Bontweveij (PBW). Anak-anak jaman sekarang tak akan mengerti bahwa Garut dulunya adalah kota yang dipilih untuk didirikan pabrik bergengsi. Jaman itu Garut sering diberitakan oleh Koran-koran di Eropa sebagai satu kota yang bernilai ekonomi tinggi. Garut menghasilkan kain katun terbaik yang digemari oleh orang-orang Eropa. Selain kain sarung, mereka juga membuat handuk dengan bahan kwalitas super. Jika ingin meilhat foto-foto tentang Garut dan lain- lain, kita bisa melihatnya di salah satu perpusatakaan museum di Belanda. Mereka memiliki dokumentasi lumayan lengkap. Pabrik itu didirikan dengan modal awal 1.000.000 gulden. Dengan luas awal adalah 3500 m2 diatas lahan 25000 m2. Di awal berdiri pabrik itu baru memiliki 250 mesin tenun dan 76 alat yang digerakan tangan dengan 600 pekerja. Lalu dalam dua tahun, ada 484 mesin dan pekerja yang bertambah menjadi 1200 orang. Setiap tahun produksi meningkat karena kualitasnya. Bahkan pihak perusahaan akan meningkatkan perluasan pabrik, pembelian alat-alat dan mesin baru, juga perekrutan pegawai baru, karena akan dibutuhkan setidaknya 2000-2500 karyawan untuk memenuhi kebutuhan. Namun itu semua tak terjadi. Karena perang dunia ke-dua meletus. Dan pengusaha Eropa banyak yang dilanda krisis juga kekacauan ekonomi. Kemudian perang berlanjut. Jepang masuk Indonesia dan mengambil alih semua aset milik Hindia Belanda termasuk pabrik tersebut dan segera merubah namanya menjadi Garoet Syokoho Kozyo.
Indonesia mengambil alih pabrik tersebut pada tahun 1958 dan mengganti namanya menjadi PTG atau Pabrik Tenun Garut. Dahulu, suara sirene dari pabrik ini terdengar hingga radius 10 km. Itu juga sebagai tanda bagi masyarakat sekitar untuk beraktifitas. Jam mulai masuk sekolah, adalah dimana sebetulnya karyawan pabrik masuk. Jam makan siang lalu diartikan untuk sholat Dzuhur. Dll. Kini PTG tinggal kenangan. Awal tahun 90-an pabrik bersejarah itu beralih tangan ke swasta. Bahkan lorong bersejarah jalan bawah tanah tempat para petinggi itu lewat dan bisa tembus ke daerah Padang Bulan pun konon ditutup. Entahlah siapa atau pihak mana yang memindahtangankan dan memperjualbelikan? Yang pasti, pabrik yang jaman keemasanya dulu menghasilkan jutaan meter kain terbaik kelas dunia dan terbesar se Asia Tenggara itu, sekarang berganti menjadi pusat perbelanjaan, di mana makanan siap saji, semisal fried chicken dan makanan ala Eropa kelas abal-abal seolah sudah membuat warganya lupa bahwa satu bangunan sejarah sudah dihancurkan demi budaya baru kongkow-kongkow dan pengisi perut meski makanan yang dijual adalah kebanyakan junk food..
Oh ya.. jangan lupa ya.. produk teh hijau asal Garut juga disenangi Kaisar Jepang. Mengapa? Pasti karena jaman Perang Tempo dulu. Bukankah setelah oleh Belanda, kita kemudian sempat di jajah Jepang. Garut juga punya kopi kelas dunia terbaik, namanya Sadakeuling. Sungguh, tanah Priangan mungkin diciptakan Tuhan kala sedang tersenyum dan Garut adalah termasuk salah satunya.
Garut adalah daerah pilihan meneer-meneer Belanda untuk tetirah. Alamnya nan elok, suhu udara yang sempurna bagi mereka tentu menjadi alasan untuk mereka membuat tempat peristirahatan. Bahkan pada tahun 1912, Garut sudah memiliki lapangan golf bernama Flamboyan yang dibangun atas inisiatif dokter asal belanda bernama Denis Gerald Mulder. Sekarang bekas reruntuhan bangunan itu konon sudah tidak ada. Tetapi jika kamu ingin melihat padang rumput nan hijau dimana dulu pernah menjadi sanatorium, kamu bisa menuju daerah Ngamplang. Itu julukan orang-orang Garut saat ini kepada bekas lapangan golf yang dulu membanggakan.
Oh ya, tak ketinggalan, karena Garut juga punya Kawah Putih bernama Talaga Bodas. Terletak di desa Sukamenak, Wanaraja Garut, yang juga adalah objek wisata indah yang sayang jika dilewatkan. Pemandangan alamnya sungguh menawan. Terletak diketinggian 1500 meter dengan suhu 24-26 derajat celcius dan berada di area seluas 24 hektar.
Kawah Talaga Bodas
Adalah Gubernur Jendral Hindia Belanda yang pada tanggal 4 Februari 1924 mengukuhkan daerah Talaga Bodas sebagai Taman Wisata. Hingga kemudian tempat ini sohor dan menjadi tempat orang-orang Eropa berlibur dan melakukan aktifitas bergengsi. Berkuda salah satunya. Hal lain yang mengukuhkan kemashyuran daerah ini, adalah seorang fotographer Jerman keturunan Belanda bernama Thilly Weissenborn yang mengabadikan kawasan ini pada tahun 1932. Hingga kawasan Talaga Bodas ini menghiasi gambar-gambar kartu pos di Eropa. Membanggakan bukan? Kemudian makin ramai lah orang-orang Eropa yang datang berkunjung. Termasuk keponakan ratu Juliana. Mengapa dinamakan Talaga Bodas? Karena telaga ini berwarna putih atau bodas dalam Bahasa Sunda. Mengandung kadar belerang yang sangat tinggi, maka tidak dianjurkan untuk meminumnya. Termasuk meminum air yang jatuh dari air terjun atau curug yang tak jauh. Aktifitas berendam pun harus dilakukan hati- hati, karena suhu panas airnya bisa mencapai 50 derajat celcius atau setengah mendidih. Tetapi berkunjung ke sana tetap saja sesuatu yang bermakna dalam mengingat betapa menakjubkan keindahan yang Tuhan ciptakan.
Di Garut juga punya Babancong. Yaitu bale besar dan megah tempat petinggi Belanda minum teh bersama keluarga atau mengundang tamu-tamunya untuk berbincang. Atau menonton film layar-tancap tanpa bercampur dengan masyarakat pribumi. Di Babancong pula pertama kali Presiden Soekarno memberi nama Garut kota Intan yang artinya Indah, Tertib, Aman dan Nyaman. Meski sekarang Garut buat saya tak lagi nyaman. Waktu saya SMP, Garut adalah kota seliweran angkot yang perlahan menggusur keberadaan sepeda- sepeda onthel dan delman-delman pujaan. Orang-orang menjadi begitu gengsi dan alergi kepada sepeda dan delman. Lalu angkot adalah jadi andalan. Dulu, punya angkot itu adalah hal yang gengsi. Memiliki lebih dari dua angkot adalah idaman, karena akan disebut juragan angkot. Bagaimana tidak? Selain mencicil mobilnya juga sudah mahal, ijin trayeknya juga bisa membeli sehektar sawah. Orang-orang berebut dan tak keberataan naik angkot meski akhirnya ongkos menjadi mahal karena beda rute beda trayek seperti dipermainkan organisasi tertentu? Seperti saya dulu, menuju ke sekolah meski jarak dekat, tetapi harus mengganti dua kali naik angkot. Mahal di ongkos. Yang kaya raya siapa? Tak tau. Pokoknya dulu, naik angkot merk Sujukri model tuyul saja, rasanya sudah bangga. Ampun. Hilanglah budaya naik sepeda nan sehat.
Saat ini? Garut lebih parah. Para ibu-ibunya sudah mirip orang Jakarte. Pada pake mobil sendiri. Kacamata hitam. Hijab senada. Ngebut wara- wiri dan selfie. Naik motor sudah dimana-mana. Kan cicilan mudah. Cuma foto copy KTP lalu uang sejuta dua juta, siaplah motor dibawa pulang. Jadi, Garut khususnya di Garut kota itu jika sore jelang malam apalagi malam libur bukan lagi terdengar pengajian tetapi deru kendaraan bermotor di kanan-kiri terdengar bising di telinga.
Saat ini Garut sudah panas. Hutan-hutannya tandus. Dulu yang namanya Gunung Gelap di daerah Garut selatan itu adalah tempat yang angker untuk dilewati. Masih ditemui kelelawar sebesar daun pintu berterbangan. Kini? Jalan ke sana sering longsor karena hutan- hutan dilereng gunungnya banyak yang gundul karena ditebangi pohonnya, di curi kayunya kala bangsa ini sibuk melewati jaman reformasi.
Garut sekarang lebih membingungkan buat saya. Toko pakaian dan butik-butik mungkin jumlahnya ribuan, tapi tak terlihat satupun toko buku. Salon dimana-mana, toko handphone, bengkel motor, tapi tak kulihat satupun sanggar anak yang mengajarkan tari tradisional. Café banyak. Karaoke ada. Studio musik pun ada, tetapi tak kulihat satupun sanggar musik tradisional.
Sampah berserakan dimana-mana, terutama plastik. Budaya praktis dengan alasan membungkus sesuatu, yang menggantikan budaya daun pisang tetapi amat sangat merusak alam. Saya rindu Garut yang dulu. Garut nan menentramkan di mana padi- padi menguning di sawah. Ladang yang penuh dengan tanaman palawija. Garut yang terdengar pengajian di masjid-masjidnya. Bahkan pukul 3 subuh sudah terdengar adzan awal di desa ku. Semoga Garut ku tidak tenggelam. Tidak hanya terdengar mantan bupatinya yang menikah siri atau lebih banyak orang menggoogling tentang perempuan bernama Vina yang bercinta dengan beberapa pria sekaligus, lebih banyak keluar, ketika saya searching tentang Garut. Saya ingin Garut yang dulu. (Cikeu)
Matahari di Pantai Santolo
Nice story bu cikeu.. Slm sayang dr jogja
Good job …subhanallah alam Garut kita fure indah banget sist ?